Di berbagai wilayah, masjid-masjid dan langgar-langgar mulai menggelar kegiatan i’tikaf. Sebagaimana diketahui, i’tikaf salah satu amalan bernilai istimewa di bulan Ramadhan. Ritual dimana seseorang tinggal atau berdiam serta mengisolasi diri di dalam masjid di sepuluh hari terakhir Ramadan, jauh dari hingar-bingar kehidupan dunia luar. Tujuannya fokus dan konsentrasi beribadah, refleksi dan evaluasi. I’tikaf anjuran agama yang dipesankan melalui Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.
Namun ditilik jauh ke belakangan, I’tikaf juga telah ditempuh oleh nabi dan generasi terdahulu yaitu Nabi Ibrahim as, dan Ismail as. Firman Allah SWT: “Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku (ini) untuk orang-orang yang melakukan tawaf, yang beriktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (Q.S. al-Baqarah: 125). Adapun anjuran I’tikaf dalam sunnah diantaranya diriwayatkan Anas bin Malik: “Jika tiba bulan Ramadhan dan berada di Madinah, maka Rasulullah saw beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan jika beliau sedang bepergian (musafir), maka beliau akan melakukan i’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari” (Kanz al-Ummal, no. 18091).
Kendati I’tikaf anjuran personal, namun output di balik penguatan spiritual yang berlangsung selama fase terakhir Ramadan ini tidak semata mengarah pada pembentukan kesalehan pribadi. Ajaran Islam secara konsisten menghendaki penganutnya menempuh ihtisab atau self-examination. Maknanya, suatu perbuatan yang sengaja dilakukan guna meningkatkan kualitas diri, dengan selalu mempertanyakan pribadi: siapa dan mau ke mana tujuan hidup; sudah memberi manfaat atau justru sebaliknya menghadirkan mudharat.
Melalui ihtisab kita selalu mawas, jaga diri dan waspada. Seiring terbukanya pintu rahmat dan petunjuk, maka diharapkan terbuka pula pemahaman terhadap esensi ajaran Islam. Ajaran yang tidak hanya memandang agama di lingkup privasi. Tetapi setiap kalangan manusia berhak mendapatkan kabar gembira dan merasakan kemaslahatan ajaran yang penuh kebaikan. Oleh karena itulah sebagian besar ibadah dalam Islam berorientasi sosial. Sebut saja zakat, sedekah dan keharusan berbagi ke sesama dan yang membutuhkan. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. (At-Taubah: 71).
Introspeksi Menyeluruh
Jika kita membaca Sirah Nabawiyah, pada dasarnya i’tikaf mempunyai kesamaan dari tahannuts yang selalu dilakukan oleh Nabi sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Yang mana beliau suka berdiam di Gua Hira. Di sana beliau beribadah beberapa malam lalu kembali mengambil bekal dan terus secara berulang-ulang. Sampai akhirnya, wahyu datang kepada beliau ketika sedang di Gua Hira. Di kalangan para sufi ajaran ini dikenal dengan uzlah dan khalwat. Proses berdiamnya Rasul di gua Hira menjadi pondasi penting dalam sejarah berkembangnya ajaran Islam. Bukan sebatas di daratan Arab tetapi ke seluruh penjuru dunia. Tidak semata bicara mengenai ritual ibadah akan tetapi juga mencakup bidang lainnya mulai politik, sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Dari sini diperoleh kesimpulan bahwa proses kontemplasi diri seharusnya memotivasi seorang muslim untuk menjadi lebih baik. Baik bagi dirinya sendiri hingga dirasakan oleh sesama dan lingkungan sekitar. Jadi bukan sebaliknya, menjadikan seorang muslim introvert dan menutup diri dari kenyataan dunia. Dalam konteks baik buruk, manakala seorang berilmu, saleh dan mengetahui kebenaran memilih untuk diam, maka ketahuilah kebathilan yang akan berkuasa.
Seorang beri’tikaf disamping memperbaiki kedekatan dengan Tuhan juga hubungan ke sesama manusia (habluminannas). Orang beri’tikaf akan mengevaluasi amalan yang telah dilakukan dan merencanakan amalan selanjutnya. Termasuk kesalahan ke sesama. I'tikaf sarana ampuh mendeteksi kekurangan kita selaku individu dan dalam hidup bermasyarakat. Jika setiap pribadi muslim menempuhnya, niscaya Allah SWT akan memberkahi negeri dengan keadaan lebih baik. Bahkan saking tingginya perhatian ajaran Islam terhadap aspek sosial, adakalanya kemuliaan i’tikaf boleh ditinggalkan atau dibatalkan.
Hal ini pernah yang dicontohkan oleh Imam Hasan RA, cucu Rasulullah SAW dalam riwayat Syaikh Shaduq dalam al-Faqih, dari Maimun bin Mihran yang berkata, “Aku duduk bersama Imam Hasan. Tiba-tiba ada seseorang datang mengadu kepada beliau, “Wahai putra Rasulullah! Aku mempunyai hutang pada si Fulan dan dia akan memenjarakanku.” Beliau berkata, “Demi Allah! Aku tidak memiliki apapun untuk bisa digunakan melunasi hutangmu itu”. “Kalau begitu, berbicaralah kepadanya”, pinta laki-laki tersebut. Imam Hasan pun mengenakan terompahnya. Aku bertanya kepadanya, “Apakah yang mulia lupa bahwa kita sedang ber-i’tikaf? “Tidak,” jawab Imam Hasan, “Namun aku mendengar dari ayahku, bahwa kakekku, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh saudaranya, maka dia seperti beribadah kepada Allah selama sembilan ribu tahun, yang dilalui dengan berpuasa pada siang harinya dan beribadah di malam harinya.”
Penulis | : | Prof. Dr. (H.C) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Olahraga |