Pernyataan Politik
Menarik juga membaca pernyataan politik Gubernur Riau pada sidang istimewa DPRD Riau sempena Ulang Tahun Provinsi Riau ke 60 bahwa “berkeinginan untuk membuat peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan penggunaan Bahasa Melayu dalam pergaulan resmi di Provinsi Riau.”
Mengapa saya sebut pernyataan politik; pertama, pernyataan tersebut disampaikan secara mengejutkan di area politis sidang paripurna DPRD apalagi belum pernah terdengar ada upaya sebelumnya, di ruang yang lebih teknis. Misalnya sudah ada upaya akademis untuk mengkaji kemungkinan penerapan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi di Riau. Baru keinginan politis, kemungkinan bisa direalisasikan dan tidak realisasikan sama besarnya.
Kedua, diperkirakan memelukan waktu lama bahkan sampai lebih dari setahun prosesnya sehingga keinginan tersebut menjadi peraturan daerah (Perda), di saat draf perda ini mulai dibahas di DPRD Riau bersamaan dengan proses suksesi gubernurpun berlangsung. Sangat dekat hubungannya antara pembahasan perda bahasa Melayu dengan suksesi gubernur sehingga bagi lawan politik Perda Bahasa Melayu sangat mudah menjadi isu politik.
Waktu yang Panjang
Menurut hemat saya menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi memerlukan waktu yang agak panjang, bisa setahun, dua tahun bisa juga tidak terlaksana. Mengapa demikian? Saya mempunyai beberapa alasan. Pertama, alasan politis. Secara geografi budaya, Riau terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu Riau pesisir dan Riau daratan. Riau pesisirpun memiliki beberapa corak bahasa Siak, Bengkalis, Meranti memiliki dialek yang sama. Begitu ke Rokan Hilir dan Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir mempunyai dialek bahasa yang berbeda pula.
Sedangkan Riau daratan, meliputi Pekanbaru, Kampar, Pelalawan dan Kuansing memiliki corak bahasa yang sangat berbeda dengan Riau pesisir. Antara Pekanbaru dengan Kampar dan Kuansing mempunyai dialek yang berbeda pula. Jika disederhanakan pilihannya maka pilihannya bahasa Melayu Riau Pesisir dan bahasa Melayu Riau Daratan. Penetapan bahasa menjadi bahasa resmi merupakan penetapan politis, sementara konstelasi politik di Riau sangat diperangi oleh politik geografis tadi, yaitu Riau daratan dan Riau pesisir. Sebab itu, pergulatan politiknya pasti panjang untuk menentukan bahasa Melayu yang mana yang dimaksud?;
Kedua, secara akademis. Di Indonesia terdapat 746 bahasa daerah, dari 746 tersebut terdapat 726 bahasa daerah terancam punah dan hanya 13 bahasa daerah yang penuturnya lebih dari satu juta. Dari 13 bahasa daerah tersebut tidak bahasa-bahasa Melayu di dalamnya. Bahkan Adi Saputera (2009) melaporkan hasil Riset tentang bahasa Melayu Langkat di Stabat Sumatera Utara hasilnya sangat mengejutkan bahwa 47,4% menyatakan bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu; 64,8% tidak paham dan tidak lancar menggunakan bahasa Melayu. Padahal lokasi penelitiannya merupakan wilayah dominan Melayu. Penelitian ini juga melaporkan bahwa pada keluarga Melayu mengggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di rumahnya.
Selain itu, penelitian Budhiono (2009) melaporkan bahwa bahasa Banjar mampu bertahan disebabkan tiga hal, pertama, faktor sosial karena bahasa diwariskan oleh orang tua mereka sehingga bahasa Banjar dipakai oleh semua umur. Kedua, faktor ekonomi, bahasa Banjar dipakai karena Bahasa Banjar merupakan bahasa yang dipakai oleh pelaku ekonomi terbesar di Palangkaraya. Ketiga, faktor politik, di mana pemerintah menjadikan Bahasa Banjar sebagai kurikulum pendidikan di daerah. Namun pada poin ketiga ini tidak berlaku di Gorontalo, di mana Bahasa Gorontalo masuk di kurikulum tetapi tetap tidak bisa bertahan. Poin ketiga ini menggambarkan bahwa keputusan politik saja belum mempunyai kekuatan memaksa diikuti tanpa diikuti penguasaan ekonomi dan perwarisan bahasanya.
Prospek Perda Melayu
Sebagai keputusan Politik Perda Bahasa Melayu sebagai bahasa Resmi di Riau bisa saja dihasilkan asal ada kemauan politik dari Gubri dan anggota DPRD Provinsi Riau. Titik pentingnya adalah implemetasi perda tersebut. Menurut saya prospek penerapan perda bahasa Melayu tersebut memerlukan usaha yang sangat maksimal. Mengapa, pertama, kekuatan utama perda ini hanya kekuatan politik, belum diikuti oleh kekuatan ekonomi dan masih diragukan adanya kekuatan perwarisan. Di segi politikpun Perda ini mengalami tekanan dari geografi politik yang terkait langsung dengan penutur bahasa. Sedangkan ekonomi bisa diyakini bukan milik penutur bahasa Melayu, melain Bahasa Minang dan bahasa Indonesia;
Kedua, Riau merupakan provinsi pendatang, suku bangsa “Melayu” hanya 37% dari jumlah penduduk, setelah Melayu diikuti suku Jawa, Suku Minang, Batak, Banjar, Bugis dan Tionghoa. Pada masyarakat yang mayoritasnya pendatang komunikasi antar etnis cenderung menggunakan bahasa yang bisa dimengerti semua etnis dalam hal ini bahasa Indonesia. Bisa dilihat di Pasar Pekanbaru bahasa yang dipakai bahasa Minang bukan bahasa Kampar apalagi bahasa Melayu. Di Rohil Bagansiapiapi bahasa yang dipakai di pasar justeru bahasa Tionghoa. Ketiga, bahasa tinggi adalah bahasa Inggris, bahasa Inggris ini sistem perwarisannya bukan dari ayah dan ibu tetapi dari kursus bahasa Inggris yang diwajibkan oleh ayah dan ibu. Jadi tekanan dari Inggris dan bahasa Indonesia membuat bahasa Melayu menjadi semakin kesulitan untuk hadir dalam kehidupan sehari-hari;
Jadi menurut saya, implementasi Perda Bahasa Melayu lebih mudah diterapkan untuk percakapan resmi antar pegawai di jam kerja. Sebab mengimplentasi perda tersebut ke masyarakat luas, khususnya dunia binis masih kurang realistis.
Penulis | : | M.Rawa El Amady, Antropologis. |
Kategori | : | Cakap Rakyat |