(CAKAPLAH) - Kapal coast guard (penjaga pantai) Cina akhirnya berhasil diusir dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Indonesia di Laut Natuna Utara. Sebelumnya kapal otoritas Cina tersebut dengan nomor 5204 berada di Natuna sejak akhir pekan dan menolak meninggalkan wilayah tersebut dengan klaim wilayah bahwa wilayah tersebut sebagai bagian dari wilayah laut Cina. Klaim Cina menganggap bahwa wilayah Natuna Utara tersebut sebagai kawasan dan wilayahnya dengan sebutan "nine dash line (sembilan garis putus-putus). Indonesia menolak atas klaim tersebut dan menegaskan kembali bahwa wilayah tersebut masuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan diakui dalam Hukum Laut Internasional tahun 1982.
Secara batas wilayah dan teritorial, Indonesia dan Cina sebenarnya tidak memiliki sengketa atas wilayah di Laut Cina Selatan, namun masalahnya Peta Cina masih memuat 9 garis putus putus ke dalam peta wilayahnya yang bersentuhan dengan 200 mil wilayah ZEE Indonesia yang berpotensi disengketakan. Persinggungan 9 garis putus-putus di Peta Cina dengan wilayah ZEE Indonesia tersebut, itulah yang menjadi awal dari perselisihan dan perbedaan pendapat oleh kedua negara. Indonesia menolak klaim Cina tersebut dan sebaliknya pula, Cina masih memasukkan 9 garis putus putus (nine dash line) dalam Peta wilayahnya dan berpotensi memasuki wilayah ZEE Indonesia. Kapal Cina sudah 2 kali memasuki wilayah ZEE Indonesia.
Mengutip pendapat Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. DR. Hikmahanto Juwana menyebut sengketa antara Indonesia dengan Cina di Laut Utara Natuna tak akan pernah selesai. Pasalnya baik Indonesia maupun Cina sama-sama ngotot dan enggan mengakui klaim masing-masing atas perairan Utara Natuna tersebut. Indonesia mengklaim bahwa Laut Utara Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif atas dasar Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Laut Internasional tahun 1982 atau United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi tersebut melalui UU No. 17 Tahun 1985. Sementara Cina mengakui bahwa pihaknya berhak atas sumber daya alam di Laut Natuna Utara tersebut berdasarkan sembilan garis putus-putus (nine dash line) versi Cina. Masalah itu tidak akan selesai sampai akhir zaman, lanjut Hikmahanto.
Cina tidak tegas untuk mengakui Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia terbukti bahwa Cina masih akan terus mempertentangkan menurut peta wilayahnya. Seperti diberitakan oleh Washington Times, sebelumnya, Indonesia dan Cina telah sepakat tidak bersengketa di wilayah dalam area yang diklaim oleh Cina sebagai 9 garis putus-putus. Cina secara tegas menyatakan kepada Indonesia bahwa tidak akan meragukan kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna. Tetapi, mereka sengaja menghindari untuk membicarakan mengenai wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang bersentuhan dengan 9 garis putus-putus yang dimuat dalam peta tersebut. Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 (The United Nations Convention on the Law of the Sea = UNCLOS) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, Indonesia diakui sebagai sebuah negara Kepulauan (Archipelagic State).
Menurut pasal 47 ayat (1) UNCLOS, negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal Kepulauan (Archipelagic Base-Line), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dan titik-titik terluar dan pualu-pulau terluarnya. Penarikan garis tersebut mencakup lebar (batas) Laut Territorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen. Garis pangkal Kepulauan merupakan garis pangkal lurus yang ditarik menghubungkan titik titik terluar dari pulau-pulau dan karang-karang terluar yang digunakan untuk menutup seluruh atau sebagian dari negara Kepulauan.
Dalam Bab IV, Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 yang berisikan tentang negara Kepulauan selain mengatur ketentuan-ketentuan yang memperluas kedaulatan dan yurisdiksi suatu negara Kepulauan, juga diimbangi dengan kewajiban negara Kepulauan untuk mengakomodasikan kepentingan Internasional dalam bentuk hak hak lintas yang agak bebas bagi segala jenis kapal dan pesawat udara asing, termasuk kapal dan pesawat udara militer.
Penarikan garis pangkal lurus Kepulauan dilakukan dengan memperhatikan tatanan letak Kepulauan atau kelompok pulau-pulau yang letaknya berurutan dan bersambungan secara beraturan. Maka penarikan garis pangkal lurus Kepulauan tidak dapat dilakukan menyimpang dari arah konfigurasi umum Kepulauan. Apa yang dilakukan oleh Cina dengan membuat 9 garis putus-putus dan kecenderungannya bersentuhan dengan ZEE Indonesia sangat tidak beralasan dan klaim tersebut lemah di lihat dari konteks Hukum Laut Internasional tahun 1982.
Ini artinya bahwa, Indonesia sebagai negara Kepulauan dibolehkan menarik atau menetapkan untuk pengukuran perairan Teritorial, ZEE dan Landasan Kontinental. Dan pihak Cina mengetahui bahwa Kepulauan Natuna milik Indonesia yang kalau diukur sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982. Kepulauan Natuna posisinya memang berada jauh dari Gugusan Laut Cina Selatan dan Gugusan Kepulauan Spratly yang disengketakan oleh pemerintah Cina dengan negara negara seperti Vietnam, Malaysia, Brunai Darussalam, Philipina serta Taiwan.
Penulis | : | Hasrul Sani Siregar MA, Alumni Ekonomi-Politik Internasional IKMAS UKM, Malaysia |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Internasional, Cakap Rakyat |