Ade Hartati.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Setelah disampaikan secara langsung di rapat paripurna DPRD Riau dalam MoU KUA-PPAS APBD 2022 kemarin, Ade Hartati kembali mengkritik pembahasan APBD Riau 2022.
Kepada CAKAPLAH.com, Ade Hartai mengungkap beberapa hal pandangannya dalam pembahasan APBD 2022.
"Yang pertama, pembahasan APBD 2022 terkesan tarik ulur tanpa satu alasan yang jelas. Hal ini terlihat dari adanya perubahan KUA-PPAS dan rapat rapat yang tertunda," kata Ade Hartati, Selasa (23/11/2021).
Kemudian, Ade mengatakan, adanya interpretasi yang dalam hal memaknai logika konstitusi menimbulkan kerancuan dan keraguan dalam tahapan dan mekanisme pembahasan APBD 2022.
Logika konstitusi yang menyebabkan kerancuan dan keraguan tersebut adalah terkait tidak singkronnya Tatib DPRD, menurut pimpinan dari hasil konsultasi ke Kemendagri, dengan PP 12 tahun 2018 tentang Penyusunan Tatib DPRD.
"Dimana Tatib DPRD menyatakan bahwa Rancangan APBD dibahas, bukan dikonsultasikan ke Komisi, sementara PP 12 tahun 2022 mengatur bahwa Badan Anggaran "dapat" mengkonsultasikan. Selama ini kata "dapat" tersebut diartikan dilakukan pembahasan di tingkat komisi/tahun sebelumnya dilakukan pembahasan di tingkat komisi," kata Ade.
PP 12 tahun 2018 juga, sambung Ade Hartati, tidak mengatur waktu kapan dilakukan pembahasan di komisi. Dalam artian bisa sebelum KUA-PPAS atau setelah KUA-PPAS.
Sementara dalam aturan di atasnya, yakni UU 23 thn 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa, Hak dan Kewajiban Anggota DPRD salah satunya terkait dengan Hak Budgeting.
"Dikarenakan ada interpretasi logika konstitusi seperti point 2 di atas, maka hal ini menyebabkan pembahasan APBD tidak lagi melibatkan Komisi yang pada akhirnya akan memfokuskan pembahasan Rancangan APBD melalui Badan Anggaran dan TAPD. Kita ketahui bersama ada 40 Organisasi Perangkat Daerah dengan total anggaran Rp8 triliun lebih. Kita semua berharap, apa yang tertuang dalam Rancangan APBD tersebut merupakan program dan kegiatan yang fokus pada visi misi Gubernur selaku keala daerah," cakapnya lagi.
Di tengah waktu dan mekanisme yang singkat tersebut sambung politisi PAN ini dalam pembahasan APBD, bagaimanapun pola dan mekanisme pembahasan, pilihannya jelas, kualitas perencanaan anggaran yang lebih baik dari tahun sebelumnya dengan memperhatikan kebutuhan prioritas dimasyarakat (menyentuh substansi) atau pembahasan yang sekedar memenuhi mekanisme prosuderal saja.
"Maka saya ada beberapa pandangan, yakni Program dan Kegiatan fokus pada masa pemulihan pasca bencana covid-19 (bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan)," ujarnya.
"Dalam rapat dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa beberapa waktu yang lalu saya menyampaikan, agar mengukur dampak bantuan keuangan orovinsi terhadap ketimpangan nyata di masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan hubungan keuangan pusat dan daerah/agar tidak tumpang tindih). Ketimpangan tersebut dalam hal, angka putus sekolah, angka lama sekolah, gizi buruk, stunting, kesulitan air bersih, akses pendidikan menengah, akses pelayanan kesehatan. Bankeu provinsi yang diperuntukan bagi Bumdes, sudah seharusnya dapat mengurangi ketimpangan tersebut dengan menggerakan ekonomi kecil yang pada akhirnya dapat membantu ekonomi keluarga untuk menyekolahkan anaknya, memberi asupan gizi yang baik dan meningkatkan kualitas hidup keluarga," ungkapnya.
Selanjutnya, dalam Bidang Pendidikan, pemetaan kondisi pendidikan menengah menjadi keharusan agar Pemerintah dapat mewujudkan capaian dan target yang diinginkan. Angka lama Sekolah yang singkat di Riau (anak lama sekolah 8 tahun sebesar 40 % / artinya 40% anak hanya baru bisa lulus SMP), menjadikan Riau harus benar-benar fokus untuk menyiapkan akses pendikan untuk anak usia Sekolah Menengah, dalam hal ini menyiapkan Unit Sekolah Baru, Ruang Kelas Baru, tenaga pendidik dan inovasi serta strategi dalam meningkatkan kualitas SDM Guru maupun Siswa / termasuk di dalamnya kesejahteraan guru dan menyiapkan Bosda, tidak hanya anak di Sekolah Negeri tapi juga di Sekolah Swasta.
Politisi Dapil Pekambaru ini mengatakan, dalam kondisi bencana pendemi Covid-19, tentu saja bidang kesehatan menjadi ordinat dari seluruh upaya pengendalian pendemi. Yakmi vaksinasi yang harus terus digesa, pengendalian melalui 4 M dan kesiapan kita dlm menghadapi lonjakan varian baru Covid-19.
"Untuk itu harus ada sinergisitas antara Dinkes dan RS. Saran saya, anggaran BLUD yang ada di RS dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan/jangan lagi disimpan atau didepositokan," cakap Ade.
Kemudian, kesiapan Riau dalam hal menyiapkan anggaran jaring pengaman sosial juga perlu diperhatikan. Anggaran bantuan iuran kesehatan dan anggaran kemitigasian bencana melalui validasi pendataan dengan kordinasi intensif ke kab/kota.
Selanjutnya, keberpihakan Pemerintah pada anggaran yang responsif gender, dengan menginisiasi pelatihan pemberdayaan perempuan, pemberian bantuan stimulan bagi perempuan pelaku UMKM, dan program kegiatan perempuan yang dilakukan secara swadaya/penguatan gerakan PKK, Pos Yandu, Majelis Taklim, dan lainnya.
Kemudian, dalam hak keberpihakan pemerintah dalam hal keagamaan untuk menjadikan Riau Negeri Agamis dan menciptakan kerukunan umat beragama, dalam hal ini bantuan bagi rumah ibadah harus juga diperhatikan.
"Dalam hal Program Bantuan Iuran (antara Provinsi dan kab/kota), tetap diperlukan ruang bagi kondisi tertentu yang secara dinamis terjadi di tengah masyarakat. Contohnya, masyarakat yang dengan keterbatasan informasinya, selama ini mengikuti BPJS Mandiri, namun di tengah jalan karena kesulitan ekonomi tidak lagi mampu membayar BPJS nya secara mandiri, dan tidak lagi mampu melanjutkan pembayaran mandiri tersebut, sementara mereka butuh pengobatan dan layanan kesehatan. Sudah seharusnya Program PBI tetap memberikan ruang sesuai mekanisme dan syarat yang berpihak pada kondisi kondisi tersebut," cakapnya lagi.
"Semoga pandangan saya ini dapat menjadi perhatian bersama," tukasnya.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Pemerintahan, Riau |