Ilustrasi.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Gubernur Riau Syamsuar menunjuk Joni Irwan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris DPRD Provinsi Riau dan M Job Kurniawan sebagai Plt Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Riau.
Hal itu dilakukan karena Muflihun yang sebelumnya menjabat sebagai Sekwan dan Kamsol sebagai Kadisdik Riau telah dilantik masing-masing sebagai Penjabat (Pj) Walikota Pekanbaru dan Pj Bupati Kampar.
Keputusan ini terbilang langka atau tidak biasa karena merunut pada penunjukan Pj kepala daerah sebelum-sebelumnya, tetap bisa merangkap sebagai kepala dinas di Eselon II dan jabatan sebelumnya hanya di-Plh-kan. Hal ini tentu memancing kecurigaan banyak pihak, karena baik Kamsol maupun Mufilihun bukan nama yang diusulkan Gubernur Riau ke Mendagri sebagai calon Pj Kepala Daerah.
Belakangan, BK DPRD Riau mempertanyakan penunjukan Plt Sekwan yang disebut tanpa koordinasi dengan fraksi - fraksi di DPRD Riau.
Manajer Advokasi Forum Indonesia Untuk Transparansi anggaran (Fitra) Riau, Taufik mengatakan, dari acuan yang dipelajarinya, memang tidak dijelaskan secara rinci apakah menjadi persoalan gubernur mengambil langkah mem-Plt-kan kedua pejabat tersebut.
Namun, katanya, bicara analisa, secara tak langsung proses mem-Plt- kan Muflihun dan Kamsol, secara keabsahan itu telah menggugurkan mereka sebagai Pj. Karena syarat menjadi Pj kepala daerah adalah pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.
"Kalau kita lihat posisi Pak Gubernur untuk menempatkan Plt itu, adalah sebuah terobosan yang baik untuk mencegah rangkap jabatan. Tapi apakah Pak Gubernur mem-Plt-kan ini untuk mencegah rangkap jabatan atau bentuk perlawanan, itu dari sisi lain," kata Taufik kepada CAKAPLAH.com.
Fitra Riau, kata Taufik, dalam prinsipnya mendukung langkah yang diambil gubernur tersebut. Jika dalam Permendagri disebutkan 1 tahun evaluasi, namun, tanpa evaluasi pun, gubernur bisa melakukan proses pergantian tersebut sebelum 1 tahun pertama.
"Dari sisi birokrasi, Gubernur gak salah, tapi dari etika, itu jadi persoalan (mem-Plt-kan). Kalau ada nama lain yang nanti yang diusulkan Gubernur ke pusat, itu etika gubernur ditanyakan juga. Secara analisa itu simpang siur juga," kata Taufik.
Selain itu, kata Taufik, seharusnya, sedari awal, bisa saja gubernur tak melantik, namun, gubernur tidak tegas, tapi melakukan perlawanan dengan mem-Plt- kan pejabat yang bersangkutan.
"Makanya, kalau Gubri mau kedudukannya kuat, bangun koordinasi ke konsolidasi di pusat. Di bangun dimana daerah yang tak sepakat, gugat itu, sengketakan. Itu kalau mau posisinya kuat," cakapnya lagi.
Disinggung mengenai apakah nantinya jika hal tersebut dilakukan gubernur, Muflihun dan Kamsol bisa melakukan perlawanan, Taufik mengatakan dimungkinkan.
"Mungkin saja, ke PTUN dia nanti. Sama-sama adu di mahkamah pengadilan, kalau ada perdebatan bisa, namun nanti problem nya kan panjang," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, menurut akademisi dari Universitas Riau yang juga merupakan pengamat politik, Tito Handoko, mengatakan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, memberikan atribusi kepada pemerintah untuk mengangkat Pejabat Kepala Daerah (PKD) provinsi yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, PKD kabupaten/kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama (Pasal 201 Ayat 10 dan 11), sampai dengan dilantiknya gubernur, bupati, dan walikota hasil pilkada serentak 2024.
Pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai Penjabat kepala daerah, tentu saja dilatarbelakangi alasan bahwa PNS memiliki pengalaman, profesionalisme dalam kebijakan publik dan manajemen publik. Hal ini diasumsikan akan menjamin berjalannya roda pemerintahan, pelayanan publik, dan pembangunan.
Ia menjelaskan, PNS dalam status dan kedudukannya sebagai aparatur sipil negara (ASN) adalah pejabat karir (career appointee) yang lazimnya menduduki jabatan berdasarkan jenjang karier, profesionalisme, dan sistem birokrasi.
Sementara PKD karena kedudukannya sebagai kepala daerah otonom adalah pejabat politik (political appointee) yang memiliki kewenangan politik dan pemerintahan di daerah. Perbedaan status kedudukan PNS dan PKD dapat menimbulkan polemik mengenai legitimasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bagaimana legitimasi seorang PNS yang diangkat menjadi PKD, sementara di sisi lain anggota DPRD adalah pejabat politik yang dipilih secara langsung oleh masyarakat.
"Menyoal diberhentikan atau di-Plt-kannya kedua pejabat dari jabatan sebelumnya, maka otomatis penjabat tidak memenuhi syarat untuk menjadi Pj setelah evaluasi dilaksanakan," kata Tito.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Pemerintahan, Riau |