Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) tahun ini akan menjadi sejarah perpolitikan Negeri Seribu Suluk. Bagaimana tidak, disaat pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) yang mengancam keselamatan warga, Pemerintah justru ngotot melanjutkan Pilkada Serentak.
Sejumlah politisi dan tokoh masyarakat pun ramai-ramai ikut "bertarung" lewat partai politik. Alasan mereka maju pun beragam. Ada yang ingin melanjutkan pembangunan, bertekad ingin memajukan Rohul, dan sederetan alasan lainnya.
Semangat tersebut tentunya harus diapresiasi. Namun yang jelas, itu semua tidak lepas dari kepentingan politik elit yang ingin berkuasa.
Apa yang salah jika Pilkada ini ditunda? Banyak opsi yang bisa diambil di tengah situasi upnormal seperti ini. Tapi mengapa melanjutkan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 jadi harga mati? Bukankah Pemerintah sendiri yang berkoar-koar bahwa keselamatan rakyat adalah yang paling utama. Lantas, siapa yang bisa menjamin Pilkada ini tidak memunculkan klaster baru?
Ujung-ujungnya masyarakat juga yang harus dihadapkan pada kecemasan, ancaman kesehatan di tengah Pandemi Covid-19. Meski tidak ada lagi panggung dangdut, namun para kandidat terus bergerilya mencari suara, meskipun harus menyesuaikan dengan aturan protokol kesehatan.
Penolakan disampaikan para aktivis. Mereka menilai kebijakan meneruskan helat Pilkada sangat berisiko memunculkan klaster baru penyebaran Covid-19.
Situasi saat pandemi Covid -19 mungkin saja menyebabkan partisipasi pemilih berkurang karena adanya kekhawatiran penularan Covid -19. Namun, yang paling serius adalah praktik politik uang yang bisa dimainkan politisi di tengah pandemi, di tengah kondisi rakyat yang kelaparan, di tengah resesi ekonomi.
Penulis | : | Resi Elfina (Mahasiswi Universitas Rokaniah, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Kampus |
01
02
03
04
05
Indeks Berita