PEKANBARU (CAKAPLAH) - Hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa Negara Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara dalam tingkat literasi.
Standar UNESCO mengatakan minimal setiap orang menunggu 3 buku pertahun, namun di Indonesia satu buah buku ditunggu 90 orang pertahun dan menjadikan Indonesia memiliki minat baca yang rendah.
Ditanya mengenai hal ini, Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia UIN Suska Riau, Vera Sardila menuturkan salah satu faktornya adalah motivasi.
“Kalau kita lihat faktor motivasi sih sebetulnya. Karena kalau kita lihat fasilitas buku-buku sudah banyak. Jadi kalau kita lihat ke faktor ya di dalam diri, yakni kesadaran membaca,” jelasnya kepada CAKAPLAH.com, Rabu (3/11/2021).
Meski minat membaca warga Indonesia termasuk rendah, namun masih banyak label buku Indonesia yang menjadi best seller. Mengenai hal ini, Vera mengatakan minat baca di Indonesia itu ada, hanya saja tidak semua orang membaca secara kritis.
“Sebetulnya keinginan minat baca kita itu sudah banyak. Buktinya kita buka Facebook, kita baca. Kita buka koran kita baca, nampak majalah kita baca. Mungkin minat baca yang termasuk di sini itu kita yang kurang kritis dalam membaca. Hanya sekedar baca saja. Mungkin dari penelitian yang ranking peringkat 10 terbawah dari 70 negara adalah minat membaca kritis. Mungkin saja,” ujarnya.
Ia mengatakan bacaan kritis yang mungkin agak rendah di masyarakat. Padahal dengan membaca kritis maka terkadang seseorang mempunyai ide untuk melahirkan buku-buku baru.
“Kita hanya menjadi konsumen baca tapi tapi tidak produsen buku-buku. Jadi ini mungkin kondisi kita yang akhirnya dirangkingkan jadi peringkat 8 dari bawah. Soalnya kalau saya perhatikan ketika kuliah, itu mahasiswa ada saja yang disampaikannya, pasti tahunya dari membaca, tapi sekedar baca dan menyampaikan, tidak mengkritisi atau baca kritis,” katanya.
Selain itu, ditanyakan mengenai istilah book shaming yang tidak asing di kalangan peminat buku. Book shaming merupakan istilah menyudutkan bacaan seseorang tentang buku dan genre yang ia baca. Hal ini sering dialami oleh para pembaca buku fiksi.
Dosen UIN ini mengatakan apapun yang dibaca sebenarnya tidak ada masalah. Membaca buku sastra maupun novel bukan berarti tidak ada ilmu pengetahuan di dalamnya.
“Misal kita membaca sastra, sebenarnya justru sastra itu banyak ilmunya. Kita misal baca novel, kalau anda suka baca novel itu bukan berarti tidak ada pengetahuan didalamnya. Kadang orang mengetahui sesuatu lalu disampaikannya kedalam bentuk novel,” urainya.
Vera mencontohkan bahwasannya novel tidak hanya menomor satukan cerita namun juga memberikan informasi di dalam bacaannya yang dapat diterima oleh pembacanya.
“Contoh kita tidak pernah ke luar negeri, tapi di suatu buku mendeskripsikan luar negeri itu seperti apa. Bukankah ini suatu pengetahuan. Jadi dituangkannya ke dalam novel walaupun pada dasarnya novel itu bercerita, tapi sebenarnya dia sarang informasi. Menyampaikan informasi itu bisa lewat novel itulah, makanya menulis itu jangan langsung mulai dari ilmiah-ilmiah yang sulit, karena keilmuan itu tidak harus dikemas dalam bentuk-bentuk ilmiah. Kita bisa sampaikan dan masukkan didalam novel itu,” urainya lagi.
Dia pun menuturkan bagus-bagus saja membaca buku fiksi, karena yang beda adalah kemasan bahasa dan cara mengemas suatu informasi menjadi sebuah tulisan, apalagi untuk meningkatkan literasi membaca.
Ia pun turut mengajak masyarakat Indonesia untuk membaca dimulai dari bacaan-bacaan yang ringan.
“Kayaknya sudah stigma kita kalau baca buku ilmiah itu rasanya berat. Sebenarnya apapun yang kita baca itu yang kita ambil maknanya dan apa maksud yang disampaikan. Daya paham baca kita semuanya sama. Mampu kita menangkap apa yang menjadi esensi bacaan itu. Esensi dari apa yang dibicarakan itu adalah subjek. Mengapa itu prediket. Karena terkadang kita sulit menangkap esensinya itu membuat malas membaca ilmiah. Di bacaan fiksi sebenarnya esensinya sama, ada subjek dan prediket, tapi ditambah dengan adanya gaya-gaya Bahasa manis,” jelasnya.
Sebelum ditutup, Vera menambahkan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga bukan menjadi alasan malas membaca.
“Kalau dibilang malas baca karena rasa ingin tahu yang kurang, saya rasa tinggi juga rasa ingin tahu orang Indonesia ini. Daya baca harus ditingkatkan, minat baca juga. Kadang kita tidak memahami apa yang kita baca jadi kurang kritis, hanya melafalkan sebuah tulisan saja,” pungkasnya.
Penulis | : | Winne Febrianisa/Rindi Ariska |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Kampus |