
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Dr. Gulat ME Manurung, MP., C.IMA,. menanggapi situasi terakhir kondisi petani sawit.
Kepada CAKAPLAH.com, Gulat mengatakan, semua petani sawit pasti mengingat tanggal 28 April, karena tanggal tersebut merupakan tanggal keramat, tanggal dihentikannya (dilarang) ekspor CPO dan berbagai turunannya. Larangan ini secara resmi disampaikan Presiden Jokowi.
Awal mengapa kebijakan yang tidak lazim ini dilakukan oleh Pemerintah adalah karena dianggap tidak patuhnya korporasi sawit dan refinery terhadap regulasi pemerintah untuk mengedepankan ketersediaan minyak goreng dan bahan bakunya dalam negeri. Sehingga kelangkaan dan mahalnya minyak goreng sawit (MGS) dalam negeri tidak kunjung terselesaikan. Lalu, kata Gulat Presiden Jokowi tepatnya tanggal 19 Mei mencabut larangan ekspor karena memikirkan nasib 17 juta petani sawit dan pekerja sawit.
"Hari ini, genap sudah 3,5 bulan berlalu peristiwa tidak biasa tersebut, dan dampaknya masih sangat berbekas dan menganga, terkhusus kepada petani sawit. Meskipun umur dari larangan ekspor tersebut hanya 21 hari, bukan berarti semua persoalan sebagai dampaknya hilang seketika. Mengamati laporan keuangan triwulan pertama dan kedua dari beberapa perusahaan kelapa sawit, diketahui bahwa semuanya melaporkan kenaikan keuntungan dengan persentase yang variatif. Bagaimana dengan nasib petani sawit?," kata Gulat, Ahad (14/8/2022).
Gulat menguraikan curhatan Suheri, Petani sawit di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, yang bercerita panjang lebar tentang nasib petani sawit, tersirat penderitaan yang sangat mendalam kepadanya.
“Kami di Mukomuko seperti bukan bagian dari NKRI, semua Perusahaan PKS tidak ada yang patuh terhadap himbauan pemerintah. Kami sudah kesana-kemari mengadukan nasib, gak ada yang perduli. Sepengetahuan saya, hanya Apkasindo yang memperjuangkan nasib petani sawit, yang lainnya hanya menonton saja, NGO yang selama ini lantang bicara keberlanjutan juga lenyap tak bicara," kata Gulat mengulang curhatan Suheri.
Harga TBS di Mukomuko sebelum larangan ekspor berkisar Rp2.800-Rp3.800, namun saat ini tidak lebih dari Rp1.400/kg. Itupun jika petani menjualnya ke PKS, padahal di Mukomuko 90% petani yang luasnya 2-8 ha menjual hasil panen sawitnya ke pedagang pengumpul yang harganya kisaran Rp650-750/kg.
"Apa yang dikatakan Suheri dan petani sawit dari Aceh sampai Papua yang setiap hari ribuan petani curhat langsung ke saya adalah benar adanya. Hal ini karena harga TBS yang masih belum selaras dengan kenaikan harga CPO terkhusus sejak di nol kannya pungutan ekspor sesuai PMK 115/2022," lanjut Gulat.
Masih anjloknya harga TBS berlaku sama terhadap petani sawit diwilayah pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, Papua Barat dan Pulau Jawa (Banten).
"Banyak petani sawit yang bertanya kepada saya mengapa perusahaan sawit dilaporan keuangannya semester II tahun ini justru keuntungannya naik, sementara petani sawit pada merugi semua? Bukankah kita satu keluarga dan satu perahu dengan mereka? Saya menjawab bahwa teori ekonomi memang memungkinkan itu terjadi, karena tiga hal, pertama pada situasi larangan ekspor dan pasca larangan ekspor korporasi lebih elastis, karena 2.511 korporasi sawit (Ditjenbun, 2020), terkhusus PKS maupun refinery bisa menahan CPO 3-4 bulan dan refinery bisa sampai 1 tahun, sementara TBS kami petani hanya bisa bertahan dua hari," kata Gulat.
Kedua, karena perusahaan eksportir pada umumnya tergabung (terkoneksi) dengan sektor hulu, tengah dan hilir. Jadi produk hulu (TBS) yang membeli PKS mereka juga dan perusahaan hilir nya membeli CPO dari PKS mereka juga dan produk hilirnya mereka juga yang meng ekspor.
Ketiga, karena memang faktanya CPO dunia sejak larangan ekspor sampai bulan Juni sangat tinggi, lalu Juli turun sikit dan Kembali Agustus naik Kembali. Laporan keuangan di triwulan ke II korporasi tersebut terjadi disaat beban CPO cukup tinggi ($688/ton CPO).
"Hal yang cukup menarik adalah bahwa sejak tanggal 15 Juli praktis Pungungan Ekspor (PE) sebesar $200/ton CPO sudah dikesampingkan sementara, dan per tanggal 31 Juli berakhir Flush Out (FO) sebesar $200/ton CPO tidak diperpanjang. Jadi praktis beban CPO yang semula $688/ton CPO berkurang hanya tinggal Bea Keluar (BK) sebesar $288. Dan per tanggal 8 Agustus, seiring dengan terbitnya Permendag 1157/2022 tentang harga Referensi CPO sebesar $872,27/ton CPO mengakibatkan BK turun dari $288 menjadi $52/ton CPO, hal ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 123/2022," cakapnya.
Meskipun tanggal 31 Agustus adalah batas akhir dikesampingkannya PE, sambung Gulat, namun pemerintah pasti bijak mengambil keputusan terbaik untuk petani sawit Indonesia.
Ketidakadilan (tidak merdeka) harga TBS Petani ini, kata Gulat, dapat di mulai urai dari tiga patokan harga CPO terkini. Diketahui untuk memproses TBS menjadi CPO tentu dibutuhkan biaya prosesing, seperti biaya pemasaran, angkutan ke pelabuhan, biaya pengolaha, penyusutan dan BOTL (biaya operasional tidak langsung) yang totalnya Rp458,58/kg.
Pertama, jika Per tanggal 11 Agustus, harga CPO CIF Rotterdam $1.090 yang artinya setelah dikurangi beban CPO domestic (BK) menjadi $1.030, lalu dikurang biaya prosesing TBS ke CPO Rp458,58/kg CPO, jadi harga bersih CPO Rotterdam menjadi Rp14.991/kg CPO (belum dikurang biaya pengapalan).
Kedua, jika kita berdasarkan harga CPO Referensi Kemendag $872,27/ton, setelah dikurang beban BK dan biaya prosesing, maka harga bersih CPO Kemendag menjadi Rp11.841/kg. Ketiga, jika kita melihat hasil tender CPO di KPBN (12/8) diketahui Rp11.425/kg CPO, setelah dikurangi biaya olah TBS menjadi CPO, maka harga bersih CPO KPBN menjadi Rp10.966/kg.
Jika Ketiga patokan harga CPO ini kita jadikan sebagai rujukan penetapan harga TBS Petani maka dari harga Rotterdam menjadi Rp3.071/kg TBS, Harga CPO Kemendag menjadi Rp2.427. Sementara harga TBS jika rujukannya harga CPO KPBN menjadi Rp2.247/kg TBS.
"Untung saja Pemerintah telah mengesampingkan PE dan tidak memperpanjang FO. Lalu kenapa harga Pembelian TBS Petani dari Posko Harga TBS 22 Provinsi Apkasindo per tanggal 13 Agustus masih rata-rata dikisaran Rp1.600-1.800/kg ?. Kalaupun di PKS ada yang sudah Rp1.900-2.200/kg, itu hanya dinikmati gak lebih dari 7% petani sawit yang bermitra, sisanya 93% dipikul petani swadaya mandiri di kisaran Rp1.600-1.800 tadi," ujarnya
"Lantas mungkinkah harapan Zulhas harga TBS akhir Agustus sudah diatas Rp2.400/kg?. Sangat mungkin. Apalagi setelah berlakunya Permendag 1117/2022 per 1 Agustus tentang rasio DMO 1 : 9, yang sebelumnya 1 : 7," ujar Gulat.
Dengan 1 : 9 volume ekspor CPO ekspor dan turunannya akan semakin besar yaitu mencapai 4 juta ton. Angka ini sudah diatas rata-rata ekspor bulanan CPO dan turunannya tahun lalu.
"Bertambahnya keyakinan Zulhas akan tergereknya harga TBS Petani Rp2.400, seiring dikesampingkannya PE dan tidak berlakunya lagi FE. Bagi kami petani sawit, meskipun diawal menjabat Mendag kami meragukannya, ternyata strategi dobrak Pak Zulhas sangat ampuh mendongkrak harga TBS, tinggal pemerataannya saja di 1.118 PKS dari Aceh sampai Papua.
Tentu harga Zulhas ini bisa terjadi jika korporasi mengatakan “He ain’t heavy…he’s my Brother”. Implementasi dari ungkapan ini adalah “berbagi beban”, supaya beban di hilir berbagi ke hulu, bukan seperti selama ini, semua beban di hilir, ditimpakan ke hulu (TBS). Semoga," tukasnya.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Serantau |





















01
02
03
04
05


