
(CAKAPLAH) - “Tingginya harga komoditas energi dan terganggunya rantai pasok (supply chain disrupstion) pasca pulihnya ekonomi global, menyebabkan risiko inflasi tinggi di berbagai belahan dunia tak terkecuali di negeri Lancang Kuning, Riau. Apakah kondisi ini membawa dampak terhadap perekonomian Riau?”
Inflasi Riau pada Oktober 2022 lalu secara year on year diumumkan 6,17 persen. Di tengah beratnya inflasi yang membayangi pendapatan riil masyarakat, ekonomi Riau tercatat masih tumbuh, jauh dari stigma resesi. Hal ini sebagaimana yang disampaikan dalam rilis Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Riau, bahwa ekonomi Riau triwulan III 2022 tumbuh 4,63 persen.
Ekonomi Riau di triwulan ini didorong oleh tiga lapangan usaha dengan pertumbuhan tertinggi yaitu: Transportasi dan Pergudangan yang tumbuh 23,50 persen, Pengadaan Listrik dan Gas tumbuh 19,65 persen, serta Administrasi Pemerintahan yang tumbuh 15,41 persen. Lagi-lagi Transportasi dan Pergudangan tumbuh cukup tinggi, dimana pada triwulan sebelumnya tumbuh di angka 29,88 persen.
Jika mengulik inflasi lebih dalam, inflasi saat ini didominasi oleh kenaikan harga dari kelompok pengeluaran Transportasi. Tingkat inflasi Oktober 2022 secara year on year yang bersumber dari kelompok pengeluaran Transportasi mencapai 15,46 persen dengan andil 1,75 persen. Tingginya inflasi kelompok ini sejalan dengan penyesuaian harga BBM yang diumumkan pada 3 September lalu, dimana Pertalite naik 30,72 persen, Solar naik 32,04 persen, dan Pertamax naik 16,00 persen. Meski Pertamax sempat turun 4,14 persen pada 1 Oktober lalu. Menarik untuk dianalisa, apakah Transportasi dan Pergudangan tidak terdampak inflasi?
Mengamati berbagai teori yang berkembang, Transportasi dan Pergudangan adalah lapangan usaha yang akan paling terdampak akibat penyesuaian harga BBM. Sebab, sebagian besar ongkos produksi lapangan usaha ini berupa pengeluaran untuk membeli BBM. Sederhananya, untuk tetap bertahan saja, pelaku usaha yang bekerja di Transportasi dan Pergudangan tersebut terpaksa menaikkan harga/tarif dan hal ini akan menyebabkan menurunnya permintaan sehingga menekan laju pertumbuhannya.
Namun apa yang terjadi? Tansportasi dan Pergudangan tumbuh dengan performa terbaiknya. Mobilitas masyarakat yang begitu tinggi memberi sinyal bahwa masih berlanjutnya tren pemulihan ekonomi pasca pandemi. Aktivitas masyarakat di terminal/bandara/pelabuhan terpantau jauh diatas normal, sementara jika dibandingkan secara year on year, masih berada dibawah normal karena adanya Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada waktu itu (sumber data: Google Mobility Index).
Jumlah penumpang juga tercatat jauh meningkat di berbagai moda transportasi. Dibukanya kembali rute Pelayaran Internasional Dumai-Melaka (Malaysia) serta penerbangan Internasional Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II turut menambah trafik mobilitas masyarakat di triwulan III 2022 ini.
Jika Transportasi dan Pergudangan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dari sisi produksi, maka Ekspor menjadi pendorong utama dari sisi permintaan. Komponen ini tumbuh 30,43 persen setelah melambat pada triwulan sebelumnya yang tumbuh hanya 2,59 persen. Penyebab utamanya dikarenakan meningkatnya ekspor CPO secara signifikan setelah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2022.
PMK ini mengakomodir penurunan pajak ekspor menjadi nol persen hingga Oktober 2022. Dampaknya, beban ekspor yang ditanggung pelaku usaha menjadi berkurang sehingga mendorong peningkatan ekspor. Kebijakan ini digelontorkan sebagai upaya mengurangi stok dalam negeri dan mengoptimalkan kembali harga Tandan Buah Segar (TBS) yang sempat terpukul saat diberlakukannya kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya pada 28 April - 23 Mei lalu.
Tumbuh Melambat
Sebagai mesin pertumbuhan, Ekspor Riau mempunyai porsi terbesar yang mencapai 42,78 persen. Meski tumbuh tinggi, ekonomi Riau ternyata melambat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 4,88 persen. Salah satu penyebabnya, konsumsi rumahtangga yang tumbuh 4,53 persen sementara triwulan lalu mencapai 5,15 persen. Jika dihitung andil komponen ini sebesar 1,53 persen, melambat dari triwulan sebelumnya 1,82 persen.
Melambatnya konsumsi rumahtangga di triwulan ini dapat disebabkan: Pertama, karena pola konsumsi yang melambat pasca Lebaran. Kedua, menurunnya daya beli yang disebabkan inflasi. Mengingat PDRB Provinsi Riau yang ditopang 33,90 persen oleh konsumsi rumahtangga, maka perlambatan komponen ini perlu diwaspadai karena dapat berdampak pada perekonomian Riau.
Dari kedua poin di atas, yang dapat menjadi pilihan kebijakan penting adalah meredam inflasi. Inflasi yang naik terus menerus dapat menekan daya beli dan menyebabkan penurunan permintaan barang dan jasa yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan produksi. Pada kondisi yang berlangsung lama, ekonomi dapat kembali resesi seperti yang pernah kita rasakan saat pandemi lalu. Produksi yang menurun juga berakibat serius pada menurunnya penyerapan tenaga kerja, meningkatnya penggangguran, bahkan meningkatnya kemiskinan.
Inflasi melonjak-pertumbuhan ekonomi menurun-angka pengangguran meningkat, kondisi stagflasi yang sangat mengkhawatirkan. Untuk itu, meredam inflasi harus menjadi perhatian serius pemerintah. Mengutip informasi dari Kementerian Dalam Negeri, upaya pengendalian inflasi yang diupayakan pemerintah pusat dan daerah diantaranya: pengendalian pasokan, subsidi transportasi, operasi pasar, dan Gerakan Masyarakat (Germas) seperti Gerakan Tanam Pangan Cepat Panen.
Penawar Resesi
Meredam inflasi bukan pekerjaan rumah yang mudah dilakukan. Meningkatnya inflasi saat ini tidak saja terjadi di sekitar kita, namun juga melanda negara-negara maju di berbagai belahan dunia. Inflasi September secara year on year Amerika Serikat (AS) tercatat 8,20 persen sementara Uni Eropa mencapai 10,9 persen. Bahkan inflasi global di akhir tahun 2022 diproyeksi 8,3 persen. Diantara penyebabnya adalah tingginya inflasi global ini dikarenakan harga komoditas energi yang tinggi akibat pengaruh konflik antara Rusia dan Ukraina, serta gangguan rantai pasok (supply chain disrupstion) pasca pemulihan ekonomi global.
Menanggapi hal ini, Bank Sentral di AS dan Eropa beberapa kali mengeluarkan kebijakan menaikkan suku bunga guna menekan inflasi. Sayangnya, kenaikan suku bunga akan memukul investasi dan konsumsi sehingga berdampak pada terkontraksinya pertumbuhan ekonomi dan memunculkan kekhawatiran baru, resesi global. Jika resesi ekonomi di AS dan Eropa benar-benar terjadi, permintaan ekspor global hampir dipastikan menurun. Bagi Indonesia tidak terkecuali Riau, jika permintaan ekspor menurun ditambah inflasi domestik yang masih tinggi, maka bayang-bayang resesi semakin nyata akan dihadapi. Tidak bisa dipungkiri, efek global akan lebih terasa gejolaknya bagi ekonomi Riau dibandingkan nasional sebab porsi ekspor Riau yang jauh lebih besar.
Menyadari hal ini, maka untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Riau, komponen sisi permintaan yang dianggap dapat menjadi penawar resesi adalah konsumsi rumahtangga. Jika dibandingkan dengan nasional dimana porsi konsumsi rumahtangga lebih 50 persen, maka daya dorong ekonomi Riau yang bersumber dari konsumsi rumahtangga tentu tidak sekuat nasional. Meski demikian, kita boleh saja berharap, selagi ada permintaan maka penawaran akan merespon dan produksi akan tetap tumbuh, upah akan meningkat, daya beli perlahan bisa segera kembali pulih, inflasipun akan kembali terkendali. Mendongkrak konsumsi rumahtangga dapat menjadi pilihan yang bijak guna menahan efek goncangan resesi global. Sembari berharap ekspor tetap memberi kabar yang menggembirakan.
Penulis | : | Sri Mulyani, SST, M.Stat: Statistisi pada BPS Provinsi Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Serantau |























01
02
03
04
05


