

JAKARTA (CAKAPLAH) - Pemerintah Uni Eropa (UE) secara khusus mengunjungi Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) untuk menjelaskan undang - undang deforestasi dalam mengklarifikasi isu pelarangan ekspor sawit Indonesia ke EU.
Kantor pusat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apkasindo di Thamrin City, Jakarta menjadi saksi momen bersejarah ketika rombongan Duta Besar UE, Vincent Piket, yang didampingi konselor pertama untuk lingkungan dan aksi Iklim, Henriette Faegermann, berkunjung.
Rombongan diterima langsung oleh Ketua Umum DPP Apkasindo, Dr. Ir. Gulat Manurung, MP.,C.IMA.,C.APO, didampingi Sekretaris Jenderal, Dr cn Rino Afrino, ST,MM, anggota dewan pakar, Dr. Tri Candra Apriyanto, Qayuum Amri, SS, Waketum Bidang Komunikasi dan departemen komunikasi, Goldameir Mektania, B.Com.
Tidak perlu pengantar panjang, langsung berdiskusi mengenai undang-undang deforestasi UE yang berdampak gaduh bagi berbagai stakeholder sawit Indonesia, khususnya petani sawit.
Membuka diskusi, Duta Besar, Vincent Piket, menjelaskan bahwa pemerintah UE melihat banyaknya pemberitaan yang tidak benar mengenai undang - undang ini, yang menggambarkan UE sebagai pihak yang anti sawit Indonesia.
Karenanya, Duta Besar ingin meluruskan informasi ini, khususnya kepada petani sawit Indonesia dan Apkasindo, sebagai organisasi petani terbesar.
“UU ini tidak pernah melarang sawit Indonesia masuk Eropa karena kami butuh sawit. 60% produk pangan di Eropa mengandung minyak sawit. Kami cinta sawit Indonesia, terkhusus petani sawit,” kata Henriette.
Ia menjelaskan, bahwa yang diminta dari UU ini adalah agar minyak sawit turut menjaga keberlanjutan dengan tidak terlibat dalam aksi deforestasi cut off date 2020 ke bawah.
Dan dengan semangat ini, UE tidak bermaksud mengganggu penghidupan petani sawit, karenanya tidak akan mengganggu sejarah deforestasi berkepanjangan dan menetapkan tanggal cut off pada 31 Desember 2020.
“Jadi tanaman yang sebelum 31 Desember 2020 akan lebih mudah masuk pasar UE, karena kami tidak mempermasalahkannya” terangnya.
Undang-undang baru ini, sambungnya akan meminta administrasi untuk dapat menunjukan dua hal penting, bahwa sawit ini tidak terlibat dalam deforestasi dan legal mulai tahun 2021 ke atas. Itu tegas dan tidak ada embel-embel, jadi jangan salah mengartikan.
Pun, tidak ada sanksi hukum atau pelarangan masuk bagi minyak sawit Indonesia bagi sawit yang tidak memenuhi persyaratan. Hanya persyaratan administrasinya jadi lebih banyak.
“Jadi tidak ada pelarangan sama sekali,” tegas Henriette.
Menyambung penjelasan Henriette, Dubes Vincent meminta agar Apkasindo menyampaikan informasi klarifikasi ini kepada petani sawit Indonesia, karena sesungguhnya EU sangat peduli terhadap petani sawit Indonesia.
“Kami butuh minyak sawit. Kami tidak pernah melarang dan kami ingin berkolaborasi dengan petani Indonesia agar bersama membuat sawit keberlanjutan untuk mensiasati perubahan iklim,” terang Vincet.
Sementara itu, Ketum Apkasindo, Gulat Manurung mengapresiasi dan menaruh hormat pada Dubes Vincent atas insiatif untuk menemui Apkasindo dan berdiskusi lebih lanjut.
"Kami akan menyampaikan klarifikasi ini dan kami sangat terhormat atas kunjungan strategis ini. Kami berharap ke depannya UE lebih terbuka kepada kami petani sawit. Intinya kedua belah pihak jangan saling merugikan dan UE harus berjanji untuk tidak dikriminatif. Pesan ini harus anda sampaikan kepada Parlemen UE, bahwa Petani sawit sangat bergantung kehidupan rumah tangganya kepada sawit dan 17 juta petani sawit dan pekerja sawit ada di sana" kata Gulat.
Jadi, kalau UU ini berpotensi merugikan pihaknya, kata Gulat, tentu petani indonesia akan menolak dan Pemerintahan Indonesia pasti berpihak kepada petani sawit.
"Kami petani sepakat tidak ada lagi deforestasi dan untuk itu kami petani sawit sangat bersemangat ikut program replating (program Presiden Jokowi melalui PSR) karena PSR itu rohnya adalah intensifikasi bukan ekstensifikasi, jelas Gulat," urainya.
"Secara pemaparan tentang isi UU tersebut tampaknya sudah bagus semoga tidak ada udang di balik tempurung," lanjut Gulat.
Di satu sisi, kata Gulat, pengakuan 27 negara-negara UE ini (menghapus sejarah 2020 ke bawah) harus menjadi momen Pemerintah menyelesaikan masalah utama petani sawit yaitu "klaim kawasan hutan oleh KLHK".
"Jadi Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian LHK untuk segera mengambil momen ini untuk cut off juga 2020 ke bawah. Masa UE sudah menghapus sejarah 2020 ke bawah, malah kita masih berkotak-katik dengan sebutan kawasan hutan yang sudah tidak berhutan," cakap Gulat lagi.
Menjawab pernyataan Gulat, Dubes UE dengan diplomatis menjawab bahwa pihaknya angat senang jika persoalan petani sawit yang utama dapat menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia.
"Bersama kita bisa," tukasnya.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Serantau |





















01
02
03
04
05







