


“Bertuah parang karena hulunya
Hulu dikepal elok terasa
Bertuah orang karena ilmunya
Ilmu diamalkan hidup sentosa”
Kutipan syair dalam Tunjuk Ajar Melayu di atas memberikan isyarat penuh makna tentang arti penting sebuah pendidikan. Dengan makna lain, seseorang akan bernilai karena ilmunya. Demikian masyarakat Melayu Riau menjunjung petuah agar senantiasa bersungguh-sungguh menuntut ilmu.
Akan tetapi, eksistensi pendidikan pada masa kini tidak terlepas dari pengaruh teknologi. Pada hakikatnya, teknologi diciptakan untuk memudahkan urusan manusia. Namun, keberadaan teknologi bisa saja menjadi sebuah petaka bagi manusia jika tidak bijak menggunakannya.
Mutakhir ini, kehadiran gawai sebagai buah dari teknologi cukup menyita waktu dan mengubah pola hidup masyarakat, khususnya anak-anak usia SD. Pada dasarnya, anak-anak usia tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan bermain. Namun, pada realitanya, anak-anak lebih memilih berinteraksi dengan gawai.
Hasilnya, anak-anak mengalami kecanduan serius pada gawai. Kasusnya terus meningkat. Dikutip dari mediaindonesia.com, terdapat kasus seorang anak yang dirawat di RSJ Tampan, Riau, karena mengalami perubahan perilaku akibat kecanduan bermain gawai. Demikian halnya kasus serupa di berbagai daerah.
Tentu saja hal ini menjadi sebuah perhatian besar karena anak-anak SD semestinya belum layak mempunyai gawai karena perkembangan psikologis dan motorik mereka selayaknya masih bersentuhan dengan permainan rakyat. Akan tetapi, permainan rakyat hampir saja mati suri karena sudah tidak lagi dimainkan oleh-oleh anak. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah ketika anak-anak lebih tertarik pada permainan dalam gawai yang membuat mereka tidak lagi memainkan permainan secara fisik.
Seperti disampaikan oleh Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis, bahwa saat ini anak-anak usia SD sudah mempunyai gawai. Padahal, pada usia tersebut belum waktunya untuk mempunyai gawai (kominfo.go.id). Hal ini membuktikan bahwa kondisi pendidikan sedang tidak baik-baik saja.
Ketergantungan terhadap gawai di usia anak-anak akan memberikan efek besar sejak saat ini hingga di masa yang akan datang. Persoalan ini penting untuk dicegah agar tidak memberikan akibat-akibat yang cukup fatal, seperti berikut ini:
- Anak-anak akan kehilangan karakter berbudaya sehingga tidak lagi memahami akan nilai-nilai lokalitas dalam mengatur kehidupannya.
- Gawai akan mendominasi seluruh kehidupan mereka sehingga abai terhadap kesibukan untuk bermain, belajar, dan berinteraksi sosial.
- Masa depan anak-anak sebagai generasi penerus akan samar karena gawai telah mengambil perhatian mereka secara menyeluruh.
- Anak-anak secara tidak langsung akan mengunci pengetahuannya dan kemampuannya dalam ruang lingkup sebesar gawai saja. Padahal, pengetahuan di alam semesta telah tersedia.
- Timbulnya permasalahan gangguan konsentrasi, perubahan kebiasaan, serta gangguan psikologis, seperti: tantrum jika keinginan tidak terpenuhi, mudah marah, abai pada kesehatan, tidak menerima nasihat orang tua, dan hilangnya empati.
- Akibat dari kecanduan gawai bisa mengarah pada efek jangka panjang. Efek tersebut dapat mengarah pada pola hidup hedonisme, bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap eksistensialisme dan nihilisme di masa depan. Eksistensialisme merupakan kebebasan yang dapat mengesampingkan kearifan lokal, nilai-nilai, dan agama seperti yang diutarakan oleh Tambunan (2016:230) bahwa eksistensialisme merupakan kebebasan kesadaran yang dapat menjauhkan bangsa dari budaya, kearifan lokal, moralitas, dan agama. Sedangkan nihilisme merupakan sikap atau pandangan yang menentang nilai-nilai kebenaran moral (Piliang, 2003:19).
Melihat seluruh fenomena, masalah, serta akibat dari kecanduan gawai di atas, maka penulis memberikan solusi sebagai wujud kepedulian. Adapun solusi utama adalah dilakukan pembenahan pada sistem pendidikan di rumah dan di sekolah. Konsep pendidikan di sekolah sejatinya terintegrasi dengan pendidikan di rumah sehingga memudahkan mendidik anak-anak.
Pemerintah telah membuat konsep pendidikan yang dikenal dengan istilah Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya sesuai dengan Keputusan Mendikbudristek Nomor 56/M/2022 Tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran. Konsep yang sudah dicanangkan oleh pemerintah tersebut terdiri atas lima prinsip dan dinilai sangat unggul karena bisa menjadi solusi jitu dari permasalahan di atas.
Didasarkan pada lima prinsip Merdeka Belajar (ditsmp.kemdikbud.go.id). maka penting diselaraskan dengan Merdeka Berbudaya karena budaya lokal selayaknya menjadi nadi kehidupan. Lima prinsip tersebut dapat diaplikasikan pada unsur lokalitas melalui penerapan permainan rakyat, dalam hal ini dibatasi pada ruang lingkup masyarakat Riau.
Permainan rakyat Riau merupakan bagian tradisi lisan yang dimainkan secara tradisional dengan metode sederhana (melompat, gerakan tangan, dialog, serta bernyanyi) yang dimiliki oleh masyarakat Riau dan diwariskan dari generasi ke generasi (Al-Azhar, dkk., 2018:387). Berikut permainan rakyat Riau, seperti: permainan congkak, alioma, yaoma-yaoma, yeye, engrang, setatak, galah panjang, gasing, dan tamtam buku.
Adapun solusi yang akan diterapkan dari pengaplikasian prinsip Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya pada permainan rakyat Riau adalah sebagai berikut:
- Konsep pembelajaran yang menyenangkan
Pembelajaran tidak lagi terfokus pada sebatas teori. Anak-anak sebagai peserta didik ikut terlibat dalam kegiatan belajar mengajar seperti permainan rakyat. Adanya permainan rakyat akan menghidupkan aktivitas gerak tubuh yang menyenangkan dan merilekskan pikiran.
- Pembelajaran sepanjang hayat
Dengan adanya permainan rakyat Riau, anak-anak akan menemukan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Misalnya: (1) nilai kerja keras pada permainan engrang dan yeye agar bisa melalui tantangan saat berjalan dan melompat; (2) nilai disiplin pada permainan setatak; (3) nilai ketelitian pada permainan gasing; (4) nilai kerja sama dan gotong royong bersama tim pada permainan galah panjang; dan (5) membangun interaksi dan melatih kepedulian sosial dengan cara yang menyenangkan pada permainan alioma, yaoma-yaoma, dan tantam buku. Permainan alioma menguji kemampuan anak-anak untuk mencari tempat persembunyian yang nyaman agar tidak mudah dikalahkan oleh lawan. Sedangkan permainan yaoma-yaoma dan tantam buku ditampilkan dengan cara yang menghibur melalui nyanyian sebagai berikut:
“tantam buku
seleret tiang batu
patah lembing, patah paku
anak belakang tangkap satu
bunyi lonceng pukul satu”
- Holistik
Konsep Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya terkandung secara holistik dengan memfokuskan pada karakter dan kompetensi anak yang terangkum dalam permainan rakyat di dalam muatan lokal. Di setiap sekolah yang ada di Provinsi Riau, muatan lokal adalah pelajaran wajib. Adapun muatan lokal yang dimaksud diajarkan melalui buku Budaya Melayu Riau (BMR).
- Relevan
Melalui permainan rakyat, secara tidak langsung, anak-anak diberikan tunjuk ajar yang dapat mengakar pada budi pekerti sesuai slogan “Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah”. Dengan mengaplikasikan permainan rakyat, maka secara tidak langsung, anak-anak dididik untuk mengenal budayanya, mengenal sekitarnya, dan mengenal Tuhannya.
- Berkelanjutan
Permainan rakyat cenderung menghubungkan anak-anak dengan alam sehingga mereka dapat menerapkan slogan “Alam terkembang menjadi guru”. Dengan demikian, anak-anak dapat memahami pesan moral untuk menjaga lingkungan dan merawat identitas budaya.
Jika lima prinsip dasar di atas diterapkan dalam mewujudkan Merdeka Belajar sekaligus Merdeka Berbudaya, maka anak-anak akan kembali pada fitrahnya. Anak-anak tidak lagi menggantungkan kebahagiaannya pada gawai karena permainan rakyat dapat memberikan pendidikan yang merdeka dan berbudaya secara utuh dan menyeluruh.
Penulis | : | Listi Mora Rangkuti, S.S., M.Hum, Ketua Komunitas Riau Sastra |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Serantau |























01
02
03
04
05








