

(CAKAPLAH) - Salah satu program terbaru pemerintah khususnya yang sedang galak-galaknya dikembangkan oleh Kementrian Pendidikan adalah merancang pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan dan keterampilan tingkat tinggi atau sering disebut HOTS (Higher Order thingking Skills). Defenisi dari keterampilan berpikir tingkat tinggi sendiri adalah proses berpikir komplek dalam menguraikan materi, membuat kesimpulan, membangun representasi, menganalisis, dan membangun hubungan dengan melibatkan aktivitas mental yang paling dasar. Bahasa sederhananya, siswa dituntut untuk mampu menganalisa dan mampu mencipta.
Tidak tanggung-tanggung, program ini diwabahkan mulai dari jenjang dasar sampai tingkat atas. Untuk itu tenaga pendidik pun digesa agar mampu membuat program yang bisa merangsang pengembangan pembelajaran yang berorientasi pada keterampilan tingkat tinggi. Mulai dari rancangan metode pembelajaran, materi, media dan juga soal.
Pada dasarnya, program ini bertujuan baik dan memiliki target yang baik juga. Dengan adanya pola pembelajaran tingkat tinggi, siswa bahkan guru dituntut untuk jadi kreatif, memiliki motivasi dan tajam analisis sehingga tidak menjadi generasi plagiat yang berjiwa kerdil. Namun point penting yang harus dicatat khususnya bagi guru adalah berpikir HOTS bukan berarti membuat soal ujian yang HOTS. Soal ujian HOTS pun bukan berarti soal ujian yang sulit untuk dijawab siswa. Karena HOTS bukanlah mata pelajaran, dan bukan juga soal ujian. HOTS adalah tujuan akhir yang dicapai melalui pendekatan, proses dan metode pembelajaran. Kekeliruan memahami konsep HOTS akan berdampak pada kesalahan model pembelajaran yang makin tidak efektif dan tidak produktif.
Sayangnya, rancangan baik dari program ini bisa menjadi masalah jika tenaga pendidik hanya menerapkan point HOTS saat pembuatan soal ujian siswa saja, terlebih soal untuk ujian nasional yang menjadi momok yang menentukan bagi siswa. Belajar dari UNBK SMA tahun lalu, para siswa mengeluhkan sulitnya soal ujian mereka, dimana soal tersebut dibuat berdasarkan prinsip HOTS. “Soalnya panjang dan ribet, susah dimengerti dan menghabiskan banyak waktu”, begitu beberapa komentar para siswa di akun media sosial milik Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kala itu. Akibatnya pada masa itu nilai siswa memang lebih rendah.
Berkaca dari hal tersebut, maka seharusnya diperlukan pembenahan pada konsep dan praktik pembelajaran terlebih dahulu. Seharusnya program berpikir tingkat tinggi ini perlu dikaji terlebih dahulu setelah itu baru dirumuskan, dibuat kebijakan baru kemudian disosialisasikan secara merata dan menyeluruh kepada semua guru dari semua jenjang.
Memang sebenarnya kualitas seseorang itu tidak hanya ditentukan oleh seberapa tinggi nilai yang diperoleh saat sekolah. Karena sejalan dengan itu, kualitas sesorang juga dinilai dari seberapa mulia karakter dan sifat seseorang tersebut. Pendidikan karakter sendiri bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik secara keilmuan dan kepribadian, berupa individu-individu yang kokoh dalam nilai- nilai moral, spiritual dan keilmuan. Pendidikan karakter penting artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif. Beberapa kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya tapi tidak dermawan, seorang anggota rakyat yang tidak peduli pada tetangganya yang kekurangan, atau seorang guru yang tidak prihatin melihat anak-anak gelandangan yang tidak sekolah. Ini adalah salah satu bukti tidak adanya keseimbangan antara pendidikan kognitif dan pendidikan karakter.
Kompleksnya permasalahan pendidikan, serta urgennya persiapan mental generasi muda penerus bangsa, maka baik pihak pemerintah, pihak sekolah serta orangtua perlu memperhatikan serta mempersiapkan putra-putri kita untuk menjadi unggul dengan memiliki kemampuan berpikir yang luas sehingga menjadi insan yang cerdas namun berkepribadian yang mulia.***
Penulis | : | Nila Gusneti: Praktisi Pendidikan |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Serantau |























01
02
03
04
05



