

(CAKAPLAH) - Setelah kejutan deklarasi Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau Cak Imin oleh Partai Nasdem dan PKB sebagai Capres dan Cawapres , yang sebelumnya sudah digadang-gadang nama AHY dari Partai Demokrat sebagai calon kuat Cawapresnya Anies, demi merebut suara rakyat Jatim dan Jateng untuk kemenangan, yang akhirnya AHY ditinggalkan. Ibarat syair lagu “engkau yang memulai, engkau pula yang mengakhiri “. Itulah Politik bisa dalam sekejab berpindah ke haluan lain.
Seterusnya kita masih menunggu beberapa hari ke depan deklarasi calon berikutnya baik itu Ganjar Pranowo maupun Prabowo Subianto yang hampir mendekati kepastikan sebagai calon Presiden. Tinggal kita menunggu siapa Cawapresnya. Bisa jadi muncul kejutan lagi untuk mengimbangi kekuatan politik duet Anies-Cak Imin.
Tentunya bagi Anies-Cak Imin, pasangan ini sudah memenuhi titik aman. Sesuai UU nomor 7 tahun 2017, usulan Capres-Cawapres oleh parpol atau gabungan parpol minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR.
Jika dihitung kursi Nasdem sebanyak 59 ditambah kursi PKB 58, dengan jumlah kursi DPR 575, maka bagi Nasdem dan PKB sdh bisa memenuhi syarat mengajukan Anies –Cak Imin sebagai Capres –Cawapresnya , yakni berkisar 20.35% sudah lolos untuk pendaftaran calon ke KPU.
Namun di sisi lain secara hukum posisi cak Imin sebagai cawapres menjadi “tidak nyaman”, terkait dugaan kasus tindak pidana korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan yang pada saat itu beliau sebagai menteri. Kabarnya KPK sudah mulai melakukan pemanggilan terhadap cak Imin, begitu cak Imin mendeklarasikan sebagai Cawapres Anies. Situasi politik Pilpres yang memang tidak kondusif dan mencemaskan, politik penuh ancaman.
Sebelumnya Ketum Golkar Airlangga Hartarto juga mengalami hal yang serupa, ketika partainya sudah mulai menjauh dari radar koalisi partai yang berkuasa.
Begitu juga Pemenuhan ketentuan 20 persen Presidential Threshold yang berlaku sekarang ini dalam Pilpres menjadi sulitnya demokrasi berkembang alias mati suri. Karena ketentuan 20% ini hanya satu partai saja yang bisa mencalonkan. Artinya apa, untuk memcapai ketentuan 20% saja harus merangkul partai lain, dan di duga untuk menyewa perahu itu tidak 'Cuma-Cuma'. Apalagi kalaulah benar biaya nyapres berkisar sampai Rp7-9 Triliun. Darimana Capres dan cawapres mencari duit sebanyak itu. Sehingga kekhawatiran kita pemilik modal Oligarkhi akan mengatur jalannya pilpres 2024.
Dibalik kasak-kusuk panggung politik Capres dan Cawapres itu, kita juga dihadapan kecemasan instabilitas politik soal persiapan pemilu, seperti isu penundaan dan ketidakpastian pelaksanaan pemilu, adanya upaya sistematis yang akan menjadikan Pilpres hanya dua pasang calon, ditambah lagi tidak netralnya Presiden dengan cawe-cawe-nya di dalam konstelasi capres, yang jelas menjelang 2024 sebagian energi kita terkuras tertuju pada peristiwa politik pemilu khususnya Pilpres, yang merupakan momentum penting terjadinya kepastian peralihan kekuasaan secara damai untuk melakukan pergantian pemimpin nasional secara konstitusional . Disamping juga pemilu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, sarana bagi pemimpin politik memperoleh legitimasi, dan partisipasi rakyat dalam proses politik pemilu.
Dalam pilpres ini penting juga rekam jejak dari capres dan cawapres haruslah menjadi isu yang perlu dikemukakan di ranah publik, agar masyarakat dapat memberikan penilaian untuk memilih atau tidak terhadap capres dan cawapres. Rekam jejak yang dimaksud berupa pandangan, sikap perilakunya tentang komitmen dan konsistensinya, misalnya terhadap nilai-nilai keadilan, kejujuran dan penegakkan hukum. Dalam tataran praktis tercermin dalam ketauladannya sebagai seorang pemimpin. Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sehingga keterlibatan/partisipasi masyarakat dalam menentukan calon pemimpinnya yang layak, referensi rekam jejak sang calon menjadi salah satu barometer dalam proses seleksi capres dan cawapres.
Rekam jejak calon, jika dibuat dalam suatu kreteria, dia merekam bahwa calon, misalnya (1) tidak pernah memerintah atau melakukan kejahatan/kecurangan politik; (2) tidak pernah menggunakan jabatannya untuk melakukan kekerasan terhadap rakyat; (3) tidak memiliki gagasan atau pikiran yang mendukung tindak kekerasan; (4) tidak pernah dipidana, diberhentikan atau dipindahkan karena korupsi; (5) tidak memiliki kekayaan yang diduga hasil korupsi, kolusi dan nepotisme; (6) tidak memiliki jabatan dalam lembaga/perusahaan negara; (7) tidak melakukan kecurangan dalam bisnis yang merugikan negara dan masyarakat; (8) tidak pernah menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi,keluarga dan kroni; (9) tidak mendapatkan fasilitas karena kedekatan dengan pejabat pemerintah (nepotisme). Tentunya Kita berharap Pilpres yang demokratis bagi Capres dan Cawapres untuk meraih kemenangan suara rakyat dalam Pemilu secara luber dan jurdil .
Penulis | : | Dr Eddy Asnawi , Dosen Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Serantau |























01
02
03
04
05



