(CAKAPLAH) - Dinamika politik seperti yang kita saksikan hari demi hari menjelang pemilu dan Pilpres 2024 akan terus terasa hingga bulan Februari 2024 nanti. Menurut hemat penulis, setidaknya Pilpres 2024 dibawah bayang-bayang tiga hal yakni Presidential Threshold, Polarisasi Ideologi dan Duitokrasi.
Presidential Threshold
Ketentuan 20 persen Presidential Threshold sebagai syarat ambang batas dalam pencalonan Presiden yang berlaku dalam Pilpres berdasarkan UU nomor 7/2017, dimana usulan Capres-Cawapres oleh parpol atau gabungan parpol minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR, menyebabkan adanya partai peserta pemilu yang tidak dapat mengusung pasangan capres dan cawapresnya. Sehingga penambahan syarat kursi dan suara DPR tersebut dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional bagi partai politik peserta pemilu yang menurut UUD 1945 mempunyai kewenangan mengusulkan capres dan cawapresnya.
Jika kita perhatikan dalam Pilpres 2024, hanya PDIP yang memenuhi syarat 20 peren Presidential Threshold. Selebihnya partai-partai lain, harus mencari koalisi dengan partai lain untuk bergabung untuk memenuhi syarat minimal 20 persen Presidential Threshold.
Sampai dengan hari, selain PDIP dengan capresnya Ganjar Pranowo yang sudah mendapatkan tiket pencalonan, baru pasangan capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang sudah memenuhi titik aman. Jika dihitung kursi Nasdem 59 di tambah kursi PKB 58, dengan jumlah kursi DPR 575, maka bagi Nasdem dan PKB sdh bisa memenuhi syarat mengajukan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar Capres –Cawapresnya, yakni berkisar 20.35%. sudah lolos untuk pendaftaran calon ke KPU. Sementara partai-partai lain masih berkutat mencari pasangan untuk berkoalisi untuk memenuhi syarat ambang batas itu.
Soal syarat Presidential Threshold itu yang ditentukan dalam UU Pemilu, selalu menimbulkan polemik dan problematik yang terus berkepanjangan setiap 5 tahun sekali kita melaksanakan pemilu Presiden, semenjak diberlakukannya pemilihan Presiden dan wakil Presiden dilakukan secara langsung. Bahkan sudah berkali-kali diajukan judicial Review pengujian terhadap UU pemilu ke Mahkamah Konstitusi untuk menghilangkan syarat tersebut, namun berkali-kali pula Mahkamah Konstitusi tidak pernah mengabulkannya dengan alasan open legal policy, yakni merupakan suatu kewenangan yang terbuka yang diserahkan kepada pembentuk UU (DPR bersama Presiden).
Sudah semestinya ketentuan Presidential Threshold itu yang ditentukan dalam UU Pemilu hendaknya dihapus, dalam mewujudkan demokrasi yang substansial, dimana rakyat menghendaki terlibat langsung dalam proses pemilu sebagai pemilik kedaulatan rakyat, harus diberikan kebebasan yang cukup banyak menentukan pilihan capres dan cawapresnya yang tidak hanya terbatas pada 2 atau 3 capres , dimana masa depanya nasib rakyat sangat tergantung kepada kebijakan dan keputusan yang dibuat oleh Presidenya sendiri.
Sebenarnya syarat ambang batas pencalonan Presiden itu yang diatur dalam UU adalah inkonstitusional bertentangan dengan UUD 1945. Open legal policy, soal syarat capres hanya bisa digunakan bila UUD 1945 sendiri tidak mengatur sama sekali terkait syarat capres. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sudah menentukan soal syarat capres. Jadi kalaupun ingin ada syarat di luar Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, tetap tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Polarisasi
Jika di Pilpres 2019, polarisasi begitu tajamnya terjadi antara kelompok pendukung Islam-nasionalis yang dipresentasikan capres Prabowo Subianto dengan cawapresnya Sandiaga Uno, berhadapan dengan kelompok pendukung capres Petahana Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan Ma’ruf Amien sebagai cawapres yang berlatarbelakang sekular-nasionalis, yang pada akhirnya hasil Pilpres 2019 dimenangkan oleh Jokowi dan Ma’ruf Amien. Namun demikian, meninggalkan friksi yang demikian kerasnya, sewaktu-waktu dikhawatirkan bisa terjadi “the time bomb is clicking” dan berkonstribusi besar pada berbagai masalah berbangsa dan bernegara kita, hingga membuat banyak orang sangat prihatin. Mereka mencemaskan keberlangsungan negara kesatuan dan persatuan bangsa kedepannya.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, stabilitas politik itu hanya akan tercipta jika dua kekuatan politik nasional itu bersatu dan bekerjasama dengan erat, yakni golongan nasionalis dan golongan Islam. Sampai kapanpun , dua golongan ini tetap ada, kita terima saja keberadaan dua golongan itu, apa adanya sambil tetap menghormati dan menghargai keragaman etnik, adat dan budaya serta agama-agama yang hidup dan berkembang di tanah air. Karena stabilitas politik sangat penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara RI yang majemuk. Stabilitas nasional itu juga merupakan syarat utama untuk melakukan pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rakyat.
Bagaimana dengan Pilpres 2024? Semenjak Deklarasi capres-cawapres Anies Bawesdan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), duet dari Partai Nasdem dan PKB yang diadakan di Surabaya, 3 Septermber 2023 yang mengejutkan jagat perpolitikan nasional, nampaknya isu polarisasi yang tajam seperti yang dialami dalam Pilpres 2019, setidaknya mengalami perubahan atau pergeseran yang semakin melunak, sedikit menurunkan tensi ketegangan-ketegangan terkait dengan politik identitas dan istilah yang dipakai dalam Pilpres 2019 : cebong vs kampret. Fenomena Deklarasi capres-cawapres Anies dan Cak Imin, setidaknya dapat mengunci isu polarisasi ideologi.
Pertarungan Pilpres 2024, dengan melihat penentuan pasangan calon, sepertinya halnya Anies –Cak Imin, yang sebelumnya sudah digadang-gadang nama AHY dari Partai Demokrat sebagai calon kuat cawapresnya Anies, namun demi merebut suara rakyat Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk kemenangan, akhirnya Anies lebih memilih Cak Imin. Artinya, disamping meredam isu polarisasi Islam/hijau dan nasionalis/merah, lebih dari itu, isunya lebih terkonsentrasi pada aspek kewilayahan/teritorial untuk menentukan pasangan calon cawapres demi mendapatkan suara kemenangan di wilayah tertentu dalam Pilpres. Cak Imin diharapkan dapat medulang suara kemenangan di Jawa Timur khususnya. Saya kira bagi calon presiden Ganjar maupun Prabowo Subianto, akan melakukan pilihan yang sama dalam menentukan cawapresnya, misalnya untuk mengamankan suara diwilayah provinsi Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk terbesar setelah Jawa Timur, maka pilihannya bisa jadi Ridwan Kamil sebagai cawapres.
Duitokrasi
Tak kalah pentingnya menyoal Pilpres 2024 adalah dibawah bayang-bayang oligarkhi. Demokrasi telah dibajak oleh Oligarkhi, begitulah narasi yang dibangun oleh Jeffrey Winters, seorang analisis politik dari Northwestern, dengan mengatakan demokrasi di Indonesia ternyata dikuasai oleh kelompok oligrakhi, akibatnya tujuan bernegara untuk mensejahterakan rakyat, semakin jauh dari harapan. Kelompok elit oligrakhi di Indonesia sudah menguasai dan mengontrol sistem demokrasi dan berlanjut menjadi oligarkhi demokrasi.
Meminjam Istilah Denny Indrayana, melalui pintu Pemilu-lah para oligrakhi telah membajaknya dengan cara “Duitokrasi”, dimana pemilu ialah demokrasi kaum elite/penguasa yang diiringi dengan persengkokolan kaum oligarkhi, hasilnya ialah kolusi antara penguasa dan pengusaha untuk melindungi kepentingan bisnis. Hal ini disebabkan, karena partai politik di Indonesia kini sangat tergantung pada dukungan finansial dari para konglomerat dengan kekayaan yang sangat besar, menurut Thomas Reuter, dari Universitas Cambridge Inggris. Perkembangan yang luar biasa adalah bahwa para cukong yang mensponsori partai politik di Indonesia mengatur atau bahkan menjadi pemimpin politik dan mengadopsi gaya oligarkhi.
Oligarkhi adalah model kekuasaan yang dikendalikan oleh sekelompok kecil orang yang menguasai pemerintahan demi kepentingan kelompoknya. Secara umum, para pemimpin oligarkhi bekerja untuk membangun kekuatan dari kekayaaan yang mereka miliki. Kepentingan oligarkhi pada dasarnya, yakni memastikan keberlanjutan eksistensi bisnis mereka, aset dan kekayaan, melindungi sumber dan jalur-jalur kepentingan ekonomi, memastikan kelancaran segenap urusan terkait dengan bisnisnya serta mendapat perlakuan istimewa baik dari kecepatan, kepastian dan keamanan dari pemerintah.
Kedepannya, diperlukan perubahan, dalam situasi negara yang terjebak oligarkhi, maka diperlukan perubahan yang mendasar kedepan. Hanya sosok Presiden yang negarawan yang memiliki kemampuan , otoritas dam karakter yang tegas dan kuat serta berani melakukan perubahan dan membongkar seluruh kebijakan oligarkhi. Wassalam.**
Penulis | : | Eddy Asnawi/Dosen Fakultas Hukum Unilak |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Serantau |