PEKANBARU (CAKAPLAH) - Dalam kunjungannya ke Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Provinsi Riau, Jumat (17/11/2023), Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Raja Juli Antoni, menyatakan kesiapannya untuk berkolaborasi dengan LAMR dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di Riau.
Selain menjadi bagian dari tugasnya di kabinet, hal ini juga merupakan panggilan nuraninya sebagai anak jati Melayu Riau. Kunjungan ini dilakukan Wamen Juli dalam rangka acara non-pemerintah, di mana dia menyempatkan waktu untuk berdialog dengan LAMR.
Kedatangan Wamen Juli disambut oleh belasan pengurus LAMR, termasuk dari Majelis Kerapatan Adat (MKA), Dewan Pimpinan Harian (DPH), dan Dewan Kehormatan Adat (DKA). Di antara mereka adalah tokoh-tokoh seperti Datuk Seri H Raja Marjohan Yusuf, Datuk Seri H Taufik Ikram Jamil, dan lainnya.
Dalam pertemuan tersebut, Datuk Seri Taufik membuka diskusi dengan menyampaikan bahwa nama Wamen Juli Antoni kerap disebut di LAMR, terutama terkait dengan kegiatan Temu Gagas Masyarakat Hukum Adat (MHA) se-Riau. Kegiatan ini menghasilkan beberapa tuntutan lintas sektoral yang diharapkan dapat disampaikan kepada Presiden.
"LAMR berharap Tuan Wamen dapat menjembatani penyampaian tuntutan ini," kata Datuk Seri Taufik.
Wamen Juli menyambut tuntutan tersebut, ia menilai bahwa isinya tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Terkait dengan aspek agraria, Wamen Juli menyatakan akan memberikan perhatian khusus tanpa mengurangi fokusnya terhadap permasalahan serupa di daerah lain di Indonesia.
"Dengan menyisihkan kepentingan pribadi, kita bisa berkolaborasi untuk kepentingan masyarakat secara lebih luas," kata Wamen Juli.
Selain itu, Wamen Juli menyebut, kolaborasi dengan LAMR dan MHA se-Riau tidak akan mudah, mengingat beberapa kendala yang melekat, seperti ego sektoral dalam birokrasi.
Namun, dia yakin kendala-kendala tersebut dapat diatasi dengan prinsip kolaborasi itu sendiri, yaitu dengan menyadari posisi masing-masing pihak dan bekerja bersama untuk mencapai kebaikan bersama. Sebagai informasi, pada 13-14 November lalu, LAMR melaksanakan Temu Gagas Masyarakat Hukum Adat.
Beberapa tuntutan disampaikan, termasuk desakan kepada Kementerian ATR/BPN untuk memberikan sanksi pencabutan dan/atau tidak memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) atau izin bagi perusahaan yang tidak melaksanakan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebesar 20 persen dari jumlah HGU dan izin pengelolaan.
Tuntutan lain mencakup desakan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk memberikan hak masyarakat adat sebanyak 30 persen dari total 1,2 juta kawasan hutan yang digunakan untuk perkebunan sawit oleh perusahaan.
LAMR juga meminta pembentukan desa adat dan peraturan daerah (perda) tentang desa adat, serta pembentukan tim verifikasi mengenai masyarakat hukum adat di masing-masing daerah.
Selain itu, LAMR mendesak pemerintah untuk melakukan pengukuran ulang luas HGU dan Hak Pengelolaan Tanaman Industri (HTI) yang dikelola oleh perusahaan serta membuka informasi mengenai data masa berlaku HGU perkebunan sawit dan HTI di Riau kepada publik.
LAMR juga mengajukan permintaan kepada Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung untuk mengutamakan pendekatan restoratif justice dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat adat Riau sesuai dengan adat istiadat mereka.
Terakhir, LAMR mendesak pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat menjadi undang-undang.**
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Delvi Adri |
Kategori | : | Serantau |