SIAK (CAKAPLAH) - Sidang dugaan pemalsuan SK Menhut RI nomor 17/Kpts.II/1998 digelar dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli pada Kamis (23/5/2019) kemarin. Sidang dengan terdakwa Direktur PT DSI Suratno Konadi dan Eks Kadishutbun Siak Teten Efendi ini bakal dilanjutkan 18 Juni mendatang dengan materi pembacaan tuntutan.
Pada sidang Kamis kemarin itu, majelis hakim menghadirkan dua saksi ahli. Pertama Dosen Fakultas Hukum Unand Feri Amsari, kedua adalah pakar hukum Guru Besar Hukum Pidana UII Yogyakarta, Prof Mudzakir. Ia memaparkan tentang arti sebuah surat palsu.
“Kalau yang dilampirkan utuh, dan tidak ada kepalsuan di dalamnya, itu tidak bisa disebut palsu. Dengan alasan apapun dia tidak bisa dikatakan tindak pidana membuat surat palsu,” kata Prof Mudzakir mengawali keterangan.
Pada sidang tersebut terdakwa didampingi penasehat hukum Yusril Ys. Sidang diketuai Majelis hakim Roza El Afrina didampingi 2 hakim anggota Risca Fajarwati dan Selo Tantular. Kemudian hadir tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Syahril Cs.
Menjawab pertanyaan PH tentang surat palsu, Prof Mudzakir menjelaskan, jika ada yang beranggapan tidak benar dan dinilai palsu, setiap bidang hukum memiliki paramater perbuatan melawan hukum. Sehingga tidak bisa di take over antara pidana dan perdata.
“Suatu dokumen surat yang isinya tidak benar, jadi tidak benar dengan palsu itu dua makhluk berbeda. Tidak benar itu bisa makna salah dan keliru. Palsu diawali dengan itikad buruk dan kriminal, yang dibuat mempunyai tujuan. Andai kata mengutip tidak benar itu salah, kalau salah ya diralat,” jelas Prof Mudzakir.
Pada sidang itu PH juga bertanya tentang perbedaan pendapat pelapor dan terdakwa mengenai surat tersebut. “Ada yang menilai surat tersebut sudah mati, yang mengurus (terdakwa, red) menyebut belum mati. Jadi masih ada beda pandangan, itu seperti apa?” tanya PH.
Menurut Mudzakir, jika ada surat yang batal dengan sendirinya, memang harusnya dicabut dan dikeluarkan produk hukum selevel oleh pembuat. “Kalau belum dicabut maka tidak bisa disebut batal dengan sendirinya. Jadi soal palsu adalah yang diada-adakan, memalsukan surat yang ada separuh atau keseluruhan, atau kontennya dipalsukan, itu namanya surat palsu,” jelasnya.
Mengenai pengajuan izin yang dua kali ditolak dan pengajuan ketiga baru diproses, menurut Mudzakir masing-masing menolak dan menerima karena ada argumen. Sehingga kalau masuk langsung ke ranah pidana menurutnya tidak tepat. Dimana pejabat yang memberi kewenangan atas surat dimaksud ada dua. Seharusnya memeriksa dan mengecek surat-surat tersebut.
“Kalau dicek dan memenuhi syarat maka dilanjutkan. Memang harus ditanya ke penerbit surat, dan apabila surat tersebut masih berlaku artinya tidak ada persoalan keluar izin. Dalam hukum, kalau filenya on maka itu berlaku, kalau of namun terbit, itu penerbitnya bermasalah. Ini domainnya masih dalam wilayah hukum administrasi, dan selesaikanlah sesuai itu,” pesannya.
Dengan demikian menurut Prof Mudzakir atas SK Menteri Kehutanan Nomor 17/Kpts.II/1998 tanggal 6 Januari 1998 tersebut tidak palsu. Hal ini dikarenakan institusi yang mengeluarkan mengatakan SK tersebut masih berlaku dan asli dan tidak ada dilakukan perubahan. Dengan demikian maka tidak ada memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 263 dan 264 KUHP.
Penulis | : | Alfath |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Serantau |