ROHIL (CAKAPLAH) - Sidang Perdata gugatan perkara eksekusi lahan seluas 453 hektar yang diajukan Siswadja Muljadi alias Aseng hingga kini masih terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Rokan Hilir (Rohil).
Padahal, lahan tersebut secara resmi telah dieksekusi Kejaksaan Negeri (Kejari) Rohil pada tanggal 13 Desember 2018 yang lalu dan secara langsung diserahkan kepada Negara melalui Dinas Kehutanan provinsi Riau.
Eksekusi tersebut sesuai dengan revisi putusan Mahkamah Agung (MA) berdasarkan surat pengantar dari MA RI Nomor 135/TU/2017/2510K/Pid.sus/2015 tanggal 16 Januari 2017 perihal menarik kembali petikan putusan Nomor 2510K/Pid.sus/2015 karena terdapat kekeliruan pengetikan pada halaman 10 bagian amaran putusan terhadap barang bukti lahan perkebunan yang dinyatakan dikembalikan kepada terdakwa.
Kejari Rohil Gaos Wicaksono SH MH melalui Kasi Datun Dafid Riadi yang saat ini tengah menghadapi persidangan mengatakan, permasalahan utama dalam perkara eksekusi lahan tersebut adalah keputusan pertama yang memerintahkan Kejari Rohil untuk mengeksekusi lahan dan dikembalikan kepada Siswaja Muljadi pada tahun 2016 silam.
"Berdasarkan putusan tersebut, Jaksa selaku eksekutor wajib melaksanakan keputusan tertinggi dan setelah Inkrah, karena telah menjadi putusan Mahkamah Agung," katanya saat dikonfirmasi, Senin (2/9/2019).
Namun, lanjut Dafit, ternyata putusan itu kembali direvisi oleh MA pada nomor yang sama dan tanggal yang sama yakni pada 31 Agustus 2016. Hanya saja, lahan seluas 453 hektar yang sebelumnya di kembalikan kepada Aseng berubah menjadi dirampas dan dikembalikan kepada negara melalui Dinas Kehutanan Provinsi Riau.
"Akan tetapi, revisi itu baru dikirim PN Rohil ke kita pada tanggal 2 Oktober 2018, hampir 2 tahun sejak putusan pertama baru kita terima putusan revisi tersebut," jelasnya.
Setelah Kejari Rohil menerima putusan revisi, sebut Dafit, jaksa harus berhati-hati dalam melaksanakan eksekusi. Kejari Rohil kemudian melakukan koordinasi dengan mendatangi MA dan mempertanyakan kebenaran perubahan putusan tersebut.
Setelah dilakukan koordinasi, MA menyatakan revisi tersebut benar, sehingga Kejari melaksanakan eksekusi terhadap barang bukti areal perkebunan kelapa sawit seluas 453 hektar yang dilaksanakan berdasarkan surat perintah tanggal 13 Desember 2018.
"Sehingga kita melakukan eksekusi terhadap barang bukti areal perkebunan kelapa sawit seluas 453 hektar yang dilaksanakan berdasarkan surat perintah tanggal 13 Desember 2018. Namun Aseng keberatan terhadap eksekusi, maka ia mengajukan gugatan ke PN Rohil dan Kejari sebagai tergugat," cakapnya.
Namun setelah sidang berjalan dan memasuki putusan sela, Aseng melalui kuasa hukumnya mencabut gugatan. Tidak berselang lama, kemudian ia kembali mengajukan gugatan kedua. Dan pada gugatan kedua tersebut, menambahkan Dinas Kehutanan Provinsi Riau sebagai tergugat bersama Kejari Rohil.
"Setelah mencabut gugatan pada bulan Januari 2019, yang bersangkutan kembali mengirimkan gugatan tetapi perbedaannya dalam gugatan yang tahun 2019 ini mereka menambahkan Dinas Provinsi Riau sebagai tergugat. Prosesnya kembali seperti semula dimana saat ini sudah memasuki tahap pemeriksaan pokok perkara dan saksi-saksi," katanya.
Namun sebut Dafit lagi, pihaknya merasa keberatan dengan tuntutan yang dilakukan pihak tergugat. Karena Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut.
"Sebab yang digugat ini adalah keputusan Mahkamah Agung, yang dijalankan Jaksa itu dalam mengeksekusi itu untuk menjaga wibawa penegak hukum, apa jadinya kalau putusan pengadilan tidak dieksekusi dan secara otomatis pihak Kejari juga menjaga marwah Pengadilan itu sendiri," paparnya.
Dafit juga mengaku sangat kecewa terhadap PN Rohil. Sebab, PN Rohil menolak epsepsi yang diajukan pihaknya. Sehingga, sehingga sampai dengan saat ini persidangan masih tetap dilakukan. "Banyak hal yang menarik jika diikuti perkembangan persidangannya," sebutnya.
Pada perjalanan sidang ini, tambahnya, juga telah mengarah pada perubahan peta. Dimana, pada peta lahan tersebut, Aseng menguasai lahan sejak tahun 2004 dan rata-rata dia beli dari masyarakat setempat meskipun tahun 2011 ada perubahan. Dimana sebagian kawasan itu bukan berada di kawasan hutan.
"Tetapi kan hukum tidak berlaku surut, namun tetap yang tahun 2004. Yang kedua seorang pribadi tidak boleh menguasai lahan di atas 25 hektar itu kalau dilihat dari segi legalitas formilnya," terang Dafit.
Namun yang sangat disayangkan, Negara dalam perkara ini sangat dirugikan. Dimana, sejak dilaksanakan eksekusi, 453 hektar lahan tersebut telah milik negara melalui Dinas Kehutanan Provinsi Riau.
Akan tetapi, hasil dari perkebunan sawit tersebut diduga masih dikelola ole Aseng. Padahal, dalam setiap bulannya hasil sawit dari perkebunan tersebut mencapai Rp 1 miliar.
"Dari keterangan saksi-saksi di persidangan hingga saat ini hasil perkebunan masih dikuasai oleh terdakwa. Dengan kondisi ini tentu negara sangat dirugikan dan merupakan tindak Pidana," pungkas Dafit.
Penulis | : | Sagala |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Serantau |