(CAKAPLAH) - Kasus kekerasan yang menimpa sejumlah jurnalis di tanah air saat meliput unjuk rasa mahasiswa menolak RKUHP merupakan alarm nyata bagi keberlangsungan kebebasan pers di tanah air. Demikian disampaikan Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana.
Selama satu pekan ini IJTI mencatat ada 10 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis saat meliput unjuk rasa menolak RKUHP. "Dari jumlah tersebut 6 kasus kekerasan terjadi di Ibu Kota dan selebihnya terjadi di daerah," ujar Yadi Hendriana.
Ia menjelaskan, dari 10 korban kekerasan, 4 diantaranya merupakan jurnalis televisi yakni, Febrian Ahmad, reporter Metrotv kendaraan liputannya dirusak oleh massa. Rian Saputra kameraman TVRI Sulawesi Tengah, kameranya dirampas dan gambar dihapus oleh oknum polisi saat meliput aksi demonstrasi mahasiswa di Jalan Raden Saleh yang tidak jauh dari Gedung DPRD Sulawesi Tengah.
Kemudian Vany Fitria dan Harfin Naqsyabandi, Reporter Narasi TV, juga mengalami kekerasan oleh oknum polisi saat meliput aksi unjuk rasa tolak RKUHP di Jakarta.
"Sebagian besar pelaku kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi menolak RKUHP dilakukan oleh oknum anggota kepolisian. Sedangkan satu kasus dilakukan oleh massa aksi," terangnya.
Ia melihat banyak jurnalis yang mendapat kekerasan saat meliput aksi menolak RKUHP yang pelakunya didominasi oleh aparat kepolisian menunjukan ada persoalan serius di tubuh Polri, tertutama terkait
penanganan dan perlindungan bagi para jurnalis.
"Mengingat Polri dan Dewan Pers telah memiliki MoU terkait penanganan dan perlindungan bagi para jurnalis, karena itu IJTI mempertanyakan komitmen Polri dalam menjalankan nota kesepakatan menyangkut perlindungan jurnalis yang sudah dibuat dengan Dewan Pers. Sebab dalam prakteknya masih banyak anggota Polri di level bawah yang tidak memahami tugas-tugas jurnalis yang dilindungi dan dijamin oleh undang-undang," ujarnya.
Ia merincikan, dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Pers secara tegas disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.
"Pers berfungsi sebagai kontrol sosial dan penyampai aspirasi publik. Itulah mengapa pers menjadi salah satu pilar demokrasi. Tanpa kebebasan pers dan berekspresi maka demokrasi di tanah air tidak akan berjalan dengan baik," ungkapnya.
Menyikapi maraknya kekerasan yang menimpa sejumlah jurnalis saat meliput unjuk rasa menolak RKUHP, IJTI menyatakan sikap. Pertama, mengecam keras sejumlah oknum aparat kepolisian yang melakukan kekerasan pada jurnalis yang tengah melakukan peliputan unjuk rasa menolak RKUHP.
Kedua, mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi.
Ketiga, meminta Kapolri mengevaluasi pelaksanaan MoU Polri dengan Dewan Pers terkait perlindungan jurnalis. Keempat, IJTI mendesak adanya reformasi di Polri terutama yang menyangkut penanganan dan perlindungan
jurnalis.
Kelimat, mendorong jurnalis yang menjadi korban untuk memproses kasus kekerasan secara hukum. Keenam, mengimbau seluruh jurnalis Televisi terus menjaga kode etik jurnalistik dan profisionalitas dalam
menjalankan tugasnya.
"Terakhir, kita meminta agar para jurnalis selalu mengutamakan aspek keselamatan saat menjalankan tugasnya," tegas Yadi.
Sementara itu, Pengurus IJTI Pengda Riau, Yudi Syahputra, juga mengatakan hal senada. Ia berharap pihak kepolisian mengusut tuntas kekerasan yang menimpa wartawan saat meliput di lapangan.
"Karena wartawan bekerja juga dilindungi Undang Undang. Kita berharap masalah ini diusut tuntas," ujarnya.
Penulis | : | Azumar/rls |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Serantau |