Dalam Keputusan Kepala BPH Migas Nomor 102/P3JBT/BPHMIGAS/KOM/2021 dan Nomor 103/P3JBT/BPHMIGAS/KOM/2021 tanggal 27 Desember 2021, ditetapkan kuota Biosolar pada 2022 sebesar 15,1 juta kiloliter, dimana diberikan penugasan kepada Pertamina (PT Pertamina Patra Niaga) sebesar 14,9 juta kiloliter dan PT. AKR Corporindo Tbk sebesar 186 ribu kiloliter, serta penugasan penyaluran minyak tanah (kerosene) sebesar 480 ribu kiloliter kepada PT Pertamina Patra Niaga. Provinsi Riau hanya mendapatkan kuota Biosolar 5.26% atau sebesar 794.787 kiloliter dari total kuota Biosolar tersebut. Dalam menetapkan kuota Biosolar bagi Provinsi Riau, perlu perhatian dan pertimbangan kepada BPH Migas sebagai berikut:

1) bahwa Provinsi Riau merupakan salah satu daerah penghasil migas di Indonesia dengan target konstribusi lifting minyak bumi nasional tahun 2022 mencapai 30,0% sebesar 75.783.760,0 barel atau setara 12.049.617,840 kiloliter Crude Oil. Dari total lifting minyak bumi tersebut, bila sekitar 80% dikirim ke Kilang Pertamina Refinery Unit II Dumai dengan kapasitas 170.000 barel perday untuk diproduksi menjadi BBM. Tentunya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan BBM di Provinsi Riau. Namun demikian, kuota Biosolar tahun 2022 ditetapkan oleh BPH Migas sebesar 794.787 kiloliter, artinya Provinsi Riau hanya mendapatkan jatah sebesar 6,6% dari target lifting minyak bumi Riau.

2) dalam Rancangan Rencana Umum Energi Daerah Provinsi Riau 2021-2050 (RUED-P Riau) yang saat ini sedang dalam proses legislasi di DPRD, sudah menghitung kebutuhan Biosolar tahun 2022 sebesar 0.96 MTOE (Million Tonne of Oil Equivalents) atau setara dengan 1.062.303 kiloliter, berdasarkan dengan pertumbuhan jumlah PDRB Provinsi Riau terhadap jumlah pertumbuhan transportasi darat dan air serta jumlah pertumbuhan penduduk dan sektor lainya, akan tetapi belum memasukan parameter dampak pandemi Covid-19. Dengan demikian, apabila BPH Migas menetapkan kuota Biosolar tahun 2022 untuk Provinsi Riau sebesar 794.787 kiloliter, maka diprakirakan akan terjadi kekurangan pasokan sekitar 25,18% atau 267,516,00 kiloliter.

Sebagai bahan evaluasi bagi BPH Migas ketika terjadi kekurangan atau “kelangkaan BBM” di Provinsi Riau pada triwulan III/2021, SAM Retail Riau PT. Pertamina Patra Niaga pada acara cofee morning tanggal 13 Oktober 2021 menyampaikan bahwa jumlah alokasi kuota Biosolar di Provinsi Riau triwulan IV tahun 2021 berjumlah 776,851 kiloliter. Sedangkan SK Kepala BPH Migas No. 66/2021 perubahan keempat (triwulan IV/2021) menyebutkan kuota Biosolar sebesar 779.326 kiloliter, dimana ada selisih sebesar 2,466 kiloliter seperti ditunjukankan pada tabel dibawah ini. Seharusnya perbedaan data tersebut tidak boleh terjadi, karena sangat meresahkan masyarakat.

Biasanya PT. Pertamina Patra Niaga sangat agresif dan masif dalam menyikapi kuota Biosolar yang terbatas, dengan berbagai cara melakukan kebijakan pembatasan penyaluran Biosolar di sejumlah SPBU. Hal ini dilakukan sebagai upaya supaya kuota Biosolar yang sudah ditetapkan tidak jebol, sebab hasil Sidang Komite BPH Migas memutuskan volume penyaluran Biosolar yang melebihi kuota tidak akan diakui sebagai BBM Jenis Bahan Bakar Tertentu dan dihitung sebagai BBM Jenis Bahan Bakar Umum (Non Subsidi). Walaupun pada saat penetapan kuota subsidi BBM Kepala BPH Migas, Erika Retnowati menyebutkan, “apabila terjadi peningkatan kebutuhan/gangguan distribusi pada suatu daerah Kabupaten/Kota, PT Pertamina (Persero) cq PT Pertamina Patra Niaga dan PT AKR Corporindo Tbk dapat melakukan penyesuaian kuota antar penyalur dalam satu Kabupaten/Kota yang sama, sepanjang tidak mempengaruhi jumlah total kuota Kabupaten/Kota tersebut dengan tetap berkoordinasi dengan BPH Migas dan pemerintah daerah setempat. Dalam perubahan kuota suatu wilayah, Pertamina wajib melaporkan kepada BPH Migas, paling lambat 1 bulan setelah perubahan, yang terpenting adalah tepat sasaran penyalurannya, sehingga kuota JBT dikonsumsi oleh yang berhak”. (CNBC Indonesia, 07/01/2022).

Pengendalian BBM Bersubsidi

Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 399) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 294) mengamanatkan dilakukanya pengendalian BBM Bersubsidi, agar subsidi BBM terarah kepada kelompok target yang ditentukan (tepat sasaran) dan berkeadilan.

Dalam implementasi pelaksanaan penyaluran/pendistribusian BBM Bersubsidi yang dilakukan oleh PT. Pertamina Patra Niaga hingga proses pembayaran subsidi BBM oleh Kementerian Keuangan c.q. Ditjen Anggaran berpotensi dapat menyebabkan kerugian negara. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengendalian BBM Bersubsidi mulai proses pelaksanaan penyaluran (pengiriman) BBM dari TBBM (depot) ke SPBU sampai dengan proses penjualan di SPBU. Pengendalian BBM Bersubsidi diharapkan dapat memitigasi dan meminimalisasi risiki-risiko terkait pendistribusian BBM bersubsidi kepada masyarakat sehingga kerugian negara dapat dicegah.

Sementara itu, pengendalian BBM Bersubsidi harus bisa menjawab persoalan dilapangan seperti : Pertama, persediaan dan ketahanan pasokan BBM dimasing-masing daerah Kedua, mengurangi terjadinya (losess) susut BBM dalam truk tangki, tangki timbun atau selama dalam proses pengiriman/menggunakan drum (ke pulau-pulau) karena perbedaan alat ukur dan faktor-faktor teknis lainnya, serta menetapkan titik serah BBM secara tegas kepada PT. Pertamina Patra Niaga. Ketiga, terganggunya proses rantai suplai, karena terbatasnya truk tanki BBM yang dimiliki oleh PT. Elnusa Petrofin hanya bergantung pada truk tangki sewa dari para mitra atau terganggunya jalur distribusi dan penyaluran akibat cuaca, jalan rusak dan sebagainya. Keempat, penyelewengan penjualan di SPBU terhadap konsumen yang tidak berhak mendapatkan subsidi, perlu memasang CCTV di SPBU, atau menggunakan Fuel Card seperti di Kota Batam untuk memonitor dan membatasi konsumsi BBM bersubsidi, barcode, dan stiker pada kendaraan yang berhak mendapatkan subsidi atau pembatasan pagu pembelian BBM Bersubsidi oleh satu kendaraan dalam sehari dengan melanjutkan program digitalisasi SPBU. Kelima, pelaporan realisasi penyaluran BBM Bersubsidi oleh PT. Pertamina Patra Niaga agar disampaikan secara data online tanpa jeda waktu atau dengan jeda waktu yang tidak lama.

Sekarang sudah banyak pilihan teknologi yang bisa diterapkan dalam rangka pengendalian BBM Bersubsidi, hanya tergantung pada niat dan kemauan saja. Memang PT. Pertamina Patra Niaga maupun pengusaha SPBU perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk menambah infrastruktur di SPBU dalam penerapan teknologi ini. Pada intinya, Pemerintah harus memiliki komitmen, konsisten dan konsekuen dalam melakukan pengendalian BBM Bersubsidi supaya tepat sasaran dan berkeadilan. Tunjuk ajar Melayu memberikan makna moral “’roda ekonomi bergerak, Pemerintah bijak dalam bertindak. Masyarakat nyaman hidup terasa lamak”. filosofi dalam pendistribusian BBM di Provinsi Riau adalah “apapun yang terjadi (force majeure) di Provinsi Riau, maka kekurangan atau kelangkaan BBM” di Provinsi Riau tidak boleh ada.”***