
PONTIANAK (CAKAPLAH) - Sudah lima bulan berlalu kisruh mengenai minyak goreng sawit (MGS). Baik dari segi kelangkaan, harga MGS, maupun kisruh bergonta-gantinya regulasi yang memayungi indutri sawit. Namun yang paling dirugikan adalah sektor hulu, petani sawit.
Terakhir, adalah desakan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang melakukan aksi keprihatinan pada 17 Mei lalu serentak di 146 Kabupaten/Kota dari 22 Provinsi dan di pusatkan di Jakarta.
Aksi Keprihatinan tersebut cukup menarik perhatian, karena semua peserta aksi di Jakarta memakai aksesoris pakaian adat budaya dari 22 Provinsi Apkasindo, pertanda sawit itu adalah pemersatu Bangsa.
Persis berselang satu hari, aksi unik tersebut akhirnya direspon oleh Presiden Jokowi, tepatnya tanggal 19 Mei 2022, Presiden Jokowi resmi mengumumkan pencabutan larangan ekspor CPO (crude palm oil) dan MGS serta bahan bakunya per tanggal 23 Mei 2022.
Dan hebatnya lagi telah diputuskan bahwa Subsidi MGS Curah akan distop digantikan dengan DMO (domestic market obligation dan DPO (domestic price obligation).
Namun, bagi petani sawit, ada yang aneh, disaat semua stakeholder sawit bahu membahu menyelesaikan masalah MGS, namun ada organisasi kemasyarakatan atau sejenis yang melakukan demo yang mengkaitkan kelangkaan MGS dengan BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit).
Bahkan dalam aksi demo, ormas tersebut meminta supaya Kejaksaan Agung memeriksa BPDPKS.
Seperti yang diutarakan Indra Rustandi, Ketua DPW Apkasindo Kalimantan Barat. Sebagai provinsi ketiga terluas kebun sawit di Indonesia, petani sawit dari Aceh sampai Papua sangat terkejut dengan aksi demo tersebut. Komentar dan cibiran pun berseleweran di medsos petani sawit.
"Tentu kami sangat kecewa dengan aksi tersebut. Kami Petani sawit sedang menikmati masa-masa “disayang dan diperhatikan” oleh BPDPKS, kok malah mereka ada demo seperti itu. Saya tidak habis pikir, mengapa justru BPDPKS yang disudutkan? Harusnya yang diuber-uber itu produsen MGS yang tidak komit dalam hal ketersediaan MGS dalam negeri, itu saja yang di gas habis. Sebaiknya mereka belajar dulu ke petani sawit, tentang dasar didirikannya BPDPKS," kata Indra.
"Ibaratnya BPDPKS itu adalah rumah kami Petani sawit dari Aceh sampai Papua, BPDPKS ini adalah tempat kami mengadu. Tentu jika ada yang mengganggu BPDKS, maka akan berhadapan dengan kami petani sawit, kami sudah buktikan itu," ujarnya lagi.
Sebelum adanya BPDPKS, sambung Indra, jangankan minta pupuk, pihaknya meminta dibantu tangkai dodos saja tidak ada yang perduli. Ia juga mengatakan, pihaknya pada 10-15 tahun lalu, hanya menanam bibit yang tidak jelas (illegetim), namun saat ini semua tanaman itu sudah diganti secara bertahap melalui PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) dengan dana hibah Rp.30 juta per HA, dari BPDPKS atas rekomendasi teknis dari Kementerian Pertanian.
"Bahkan tahun ini di Kabupaten Singkawang Kalbar, akan didirikan 1 unit Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Kapasitas 30 ton per jam dari dana BPDPKS dan didukung oleh Kementerian Pertanian. Mudah-mudahan bisa terintegrasi dengan pabrik MGS bantuan dari Kementerian Koperasi dan UMKM. Pabrik itu nantinya berada dibawah Koperasi Holding Apkasindo," ujarnya.
“Sekali lagi kami sampaikan, sawit itu Indonesia dan anugerah dari tuhan karena sawit bisa tumbuh subur di Indonesia. Kemajuan sawit Indonesia menanjak tajam sejak berdirinya BPDPKS 7 tahun lalu (2015) dan kami Petani sawit sangat bersyukur akan hal itu.
Jadi kami petani sawit sangat heran jika kelangkaan MGS dikaitkan ke BPDPKS, itu keliru, karena gak nyambung sama sekali," ujar Indra lagi.
Dana BPDPKS itu, sambung Indra, bukanlah APBN atau uang bersumber dari negara, tetapi dana gotong royong semua stakeholder sawit, dan petani sawit adalah pemeran utamanya.
Dana tersebut dikumpul melalui Pungutan Ekspor (PE) dan dikelola oleh BPDPKS, dimana dana PE itu berbeda dengan Bea Keluar (BK).
“Dengan pungutan Ekspor USD 375 per ton CPO, produksi TBS kami Petani terbebani Rp.920/Kg. Jadi itu semua dana sawit yang mana kami petani sawit adalah penyumbang utamanya,” urai Indra.
Melihat sumber dana BPDPKS, Petani sawit, kata Indrq, sejatinya pahlawan, karena dana dari petani tersebut diikhlaskan untuk digunakan sebagian besar guna menggendong Program Biodisel B30 (campuran 30% minyak sawit dengan 70% minyak solar).
"Jadi itu bukan subsidi BPDPKS ke korporasi produsen Biodisel, tapi selisih harga keekonomian ke harga HET (harga eceran tertinggi) B30 dibayar oleh BPDPKS. Nah lalu siapa yang menggunakan Biosolar (B30) yang disubsidi BPDPKS tersebut ? Ya masyarakat Indonesia dari Aceh sampai ke Papua menikmatinya, termasuk mereka yang tidak suka sawit dan juga yang mendemo itu," urai Indra lagi.
Lebih jauh, Indra mengatakan, kejadian kisruh MGS pada lima bulan terkahir, harus dijadikan sebagai instropeksi semua stakeholder sawit, dan sekaligus telah menyadarkan masyarakat Indonesia, betapa pentingnya sawit untuk ekonomi Indonesia dan dunia.
"Saatnya Kita fokus bagaimana memaksimumkan aturan DMO dan DPO berjalan dengan baik, untuk menjaga ketersedian MGS dengan harga HET Rp.14.000/liter, supaya kisruh MGS tidak terulang lagi dan tentunya harga TBS kami kembali normal. Ya semua harus happy, petani sejahtera, MGS tersedia dengan harga HET dan negara mendapatkan devisa serta pajak dari sawit," tukas Indra.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Serantau |























01
02
03
04
05


