PEKANBARU (CAKAPLAH) - Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Lahan DPRD Riau, telah merampungkan 17 hasil rekomendasi atas konflik lahan yang terjadi antara masyarakat Riau dengan perusahaan.
Direktur Perkumpulan Scale Up M Rawa El Amady menilai 17 rekomendasi yang telah dirumuskan Pansus bukan langkah yang tepat menyelesaikan konflik. Kata dia, seharusnya DPRD merumuskan kebijakan politik untuk menyelesaikan konflik secara menyeluruh.
"DPRD tidak perlu membicarakan urusan teknis. Tidak perlu membahas satu per satu kasus konflik. DPRD seharusnya memberi penegasan kepada Pemprov Riau agar dinas terkait memastikan seluruh konflik selesai," kata M Rawa El Amady, Ahad (5/6/2022).
Rawa menilai, lembaga legislatif dengan kewenangan yang dimiliki harusnya merekomendasikan Gubernur Riau mengambil keputusan politik. Apalagi konflik-konflik ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Kata Rawa, berdasarkan hasil riset Scale Up, Pemprov Riau selama ini tak memberi perhatian terhadap penyelesaian konflik sehingga makin meluas. Rawa yang juga pengamat kebijakan publik Universitas Riau ini menyebut, tahun lalu Ia telah mengusulkan kepada Ketua DPRD Riau Yulisman untuk mendorong terbentuknya perlembagaan resolusi konflik yang berfungsi membuka akses ke seluruh masyarakat hingga ke desa-desa.
"Karena kendala terbesar penyelesaian konflik itu masyarakat tidak punya akses. Saya sarankan bentuk kelembagaan konflik, mulai di tingkat provinsi untuk merumuskan kebijakan besarnya, di tingkat kabupaten penyelesaian teknisnya, dan di tingkat desa sebagai pusat informasi," papar Rawa.
Kata dia, hal itu berdasarkan riset LSM lingkungan yang fokus memantau konflik sumber daya alam di Provinsi Riau tersebut. Kata dia, wilayah yang arus transportasinya baik cenderung banyak laporan konflik. Sedangkan daerah-daerah terpelosok tidak ada laporan konflik lahan lantaran terkendala akses kepada pemangku kepentingan.
Tetapi, usul dari Scale Up tersebut tidak ditindaklanjuti di DPRD Riau. Malah DPRD telah membentuk Pansus Konflik Lahan yang menghasilkan rekomendasi bersifat teknis untuk dieksekusi oleh eksekutif.
Rama menilai, DPRD tidak mengerti duduk masalahnya. Ada dua penyebab konflik lahan makin menjadi-jadi. Pertama, pihak perusahaan beranggapan masyarakat sebagai sumber konflik. Dengan kekuatan sendiri perusahaan lantas mengambil tindakan sepihak karena tak yakin bakal selesai oleh pemerintah.
"Lalu masyarakat ini lemah. Apa-apa pengajuan masyarakat tak dipenuhi oleh perusahaan karena tidak ada pihak yang mendukung masyarakat. Sehingga, konflik berlanjut dan perusahaan membiarkan konflik. Nah, pemerintah tidak berdiri dengan masyarakat sehingga masyarakat tidak punya daya tawar bernegosiasi dengan perusahaan," papar Rawa.
Ia berharap, peran pemerintah memperkuat negosiasi masyarakat ke perusahaan. Bagaimanapun, pihak korporasi menurutnya juga ingin konflik selesai tanpa dirugikan. Jadi, DPRD dan Pemprov Riau seharusnya menyelesaikan konflik secara politis untuk menyelesaikan konflik secara menyeluruh, bukan hanya 17 kasus.
"Kalau DPRD hanya bersidang menghabiskan uang rakyat, lalu yang dibahas hanya 17 kasus, mau ngomong apa lagi. Percuma bayar gaji gubenur dan anggota DPRD besar kalau yang diselesaikan cuman 17 kasus," kata Rawa.
Penulis | : | Delvi Adri |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Serantau |