(CAKAPLAH) - Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Riau atau Pilgubri tahun 2018 telah lama usai. Pilgubri yang berlangsung aman tersebut telah menghasilkan pasangan Gubernur Riau dan Wakil Gubernur Riau yang terpilih. Namun pada sisi lain, Pilgubri ini juga meninggalkan catatan yang tidak memuaskan, yakni rendahnya partisipasi pemilih.
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau, Nurhamin, bahwa KPU Riau pasang target partisipasi pemilih Pilgubri 2018 ini sebesar 77 persen. Namun, berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara yang berlangsung pada awal Juli 2018 lalu, ternyata tingkat partisipasi pemilih Pilgubri 2018 sekitar 59 persen. Dimana, dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilgubri tahun 2018 yang berjumlah 3.622.488 orang, ternyata yang menggunakan hak suaranya berjumlah 2.146.132 pemilih. Angka ini menunjukkan ada selisih sekitar 650 ribu suara yang tidak tercapai dalam target partisipasi pemilih Pilgubri 2018.
Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang menyebabkan partisipasi pemilih Pilgubri 2018 rendah. Diantaranya adalah belum efektifnya aplikasi Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) yang digunakan oleh KPU. Belum efektifnya penerapan Sidalih ini dapat dilihat dari coklit yang dilakukan petugas lapangan untuk upaya pemutahiran data tidak muncul ketika dikonversi ke sistem sidalih. Hal ini terlihat form C6 KWK yang diedarkan masih saja ada data orang sudah meninggal dunia diundang sebagai pemilih ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini menunjukan bahwa aplikasi Sidalih tidak akurat diterapkan.
Selain itu, rendahnya partisipasi ini juga bisa disebabkan belum maksimalnya pemutakhiran data. Ini dapat terlihat dari masih adanya masyarakat yang berkeinginan kuat menggunakan hak pilih tetapi tidak terdaftar di DPT karena belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik yang akhirnya tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Kita mengakui bahwa upaya pemerintah dan KPU sebagai penyelenggara pemilu dalam melakukan pemutahiran data pemilih dengan KTP elektronik sudah tepat untuk mengurangi kegandaan daftar pemilih yang terjadi selama ini. Contohnya, di Provinsi Riau pada Pilgubri 2013 lalu memiliki DPT lebih kurang 4 juta pemilih, sementara Pilgubri 2018 ini terjadi pemutakhiran data menjadi 3.622.488. Artinya, ada lebih kurang 300 ribu yang diduga terjadi kegandaan data pemilih. Akan tetapi perlunya pemutahiran yang valid dan menyeluruh, khususnya daerah-daerah yang jauh aksesnya terhadap pusat pemerintahan. Untuk itu, diperlukan upaya jemput bola agar masyarakat yang belum memiliki KTP elektronik dapat pelayanan yang layak dan terdaftar sebagai pemilih tetap.
Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi adalah adanya masyarakat yang berdomisili tidak sesuai alamat KTP dan belum sempat mengurus pindah juga tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Meskipun KPU sudah menyediakan mekanisme untuk kepindahan lokasi memilih akan tetapi peroses pengurusannya juga sedikit sulit. Sebab, masyarakat harus kembali mengurus ke PPS tempatnya terdaftar sebagai pemilih, lalu mendapatkan form C5 untuk kemudian didaftarkan ke PPS tempatnya berdomisili. Perpindahan tersebut membutuhkan biaya dan waktu jika tempat domisili baru jauh dari alamat KTP yang terdaftar.
Oleh karenya, perlu ada upaya serius dari pemerintah, penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu dan peserta pemilu dalam hal ini partai politik untuk mencarikan solusi agar faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi dapat teratasi. Hal ini gunanya agar kualitas demokrasi semakin membaik, kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi juga membaik.
Untuk mengatasi kendala-kendala diatas, maka diperlukan solusi yang tidak ringan. Pertama, Pemerintah harus kembali menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan pelayanan dan kebijakan yang berpihak. Kehadiran pemerintah untuk menjawab setiap persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat akan menumbuhkan kepercayaan dan berdampak secara langsung bagi membaiknya demokrasi. Jika demokrasi semakin memburuk tentu akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan NKRI. Akibat lainnya, akan ada ruang bagi paham-paham radikal untuk menyulut dan memprovokasi amarah untuk memberontak.
Solusi kedua, penyelenggara Pemilu harus berupaya mendorong partisipasi pemilih tidak saja pada masa-masa tahapan pemilu, tidak saja cukup dengan himbauan melalui media spanduk, banner baleho dan sebagainya. Penyelenggara Pemilu perlu juga melakuan sosialisasi dialogis dengan pendekatan yang persuasif guna memberikan pemahaman dan membongkar mind masyarakat yang beranggapan bahwa 'tidak ada manfaat pemilu untuk mereka'.
Memang, solusi kedua ini memerlukan waktu, sumber daya manusia dan biaya yang tidak sedikit. Namun bagi hemat penulis, daripada habis anggaran untuk alat peraga kampanye (APK) dan sosialisasi dengan banyak baleho dan spanduk, lebih baik juga dianggarkan untuk melakukan sosialisasi dialogis.
Solusi ketiga, penerapan Sidalih harus benar-benar efektif dan memberikan kepastian untuk mendorong tingkat partisipasi pengguna hak pilih. Jangan sampai sistem yang digunakan merugikan masyarakat banyak.
Solusi selanjutnya dan paling penting yaitu peran partai politik. Dimana, selain sebagai peserta Pemilu, partai politik juga mempunyai tugas memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Dari pantauan penulis, tidak banyak ditemukan di lapangan partai politik yang melakukan fungsi pendidikan politik kepada masyarakat. Harus kita sadari bahwa pemahaman masyarakat mengenai politik akan sangat berdampak pada tingginya partisipasi. Karena, masyarakat akan menjadi lebih memahami manfaat politik bagi keberlangsungan dan kemakmuran bangsa. Dan masyarakat juga semakin sadar bahwa jalan untuk memilih pemimpin yang baik adalah melalui jalan politik. Oleh sebab itu partai politik tidak boleh hanya hadir pada saat Pemilu saja, terlebih kehadirannya mengajarkan politik yang instan dan kotor seperti money politik dan tindakan kotor lainnya.***
Penulis | : | Alnofrizal, Pemerhati Sosial dan Anggota KIP Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Serantau |