(CAKAPLAH)-Bulan Ramadan 2021 lalu, di sebuah daerah viral video seorang penceramah yang menyinggung kelompok Islam di luar kelompoknya. Mulai dari ormas hingga penceramah lain disinggungnya. Bahkan muncul kata-kata yang tidak pantas.
Fenomena seperti ini memang bukan yang pertama kali terjadi. Di daerah lain pasti pernah terjadi. Bahkan muncul berbagai konflik seperti pembubaran kajian. Di daerah yang disebutkan di awal memang tidak ada konflik hingga pembubaran ketika kajian berlangsung. Namun tetap saja muncul berbagai masalah karena memang tidak pantas untuk menyebutkan semua kelompok di luarnya adalah sesat, bahkan menyebut kata-kata tidak pantas pada penceramah tertentu.
Dalam waktu cepat MUI setempat pun mengambil sikap. Penceramah tersebut diundang untuk hadir di kantor MUI untuk mengklarifikasi pernyataannya. Barisan pendukung pun sudah menunggu di luar kantor. Baik pendukung dari sang penceramah, pendukung MUI, atau orang lain yang penasaran. Apakah masalah selesai setelah saling tatap muka? Belum tentu. Karena tidak mungkin pemahaman yang disebutkan seperti itu bisa berubah seketika. Namun yang jelas, muncul sikap tidak simpati terhadap penceramah tersebut. Walaupun tetap saja, barisan pendukung akan tetap menjadi pendukung.
Ini baru di satu daerah. Bagaimana di daerah lain? Beragam masalah terjadi. Yang menyedihkan adalah, beragam masalah itu terjadi dalam internal umat Islam. Saat ada banyak masalah di luar yang lebih esensial, kita malah disibukkan dengan hal yang sebenarnya bisa diterima dengan lapang dada. Toh, setiap pendapat ada dalilnya masing-masing. Namun begitulah kita. Suka sekali merasa paling benar dan menyalahkan saudara seiman. Persatuan kita retak, tapi keretakan itu tetap dirawat.
Peran MUI
Kehadiran MUI pada momen spesifik seperti tadi tentu saja mendapatkan apresiasi masyarakat. Saat masyarakat resah dan kebingungan, MUI hadir sebagai penyuluh dan berupaya untuk menjadi pemersatu umat. Walaupun pasti, banyak yang tidak sepakat dengan sikap MUI dalam banyak hal. Hal tersebut adalah sebuah kewajaran. Yang patut dipertanyakan adalah, tidak sepakat dalam hal apa? Jika yang MUI bela adalah penyimpangan, tentu saja harus dikritisi dan diluruskan. Namun jika yang dibela adalah persatuan dan memang seharusnya kita bisa berlapang dada, kenapa harus berlawanan, membenci, bahkan mengatakan penghakiman yang tidak pantas kepada MUI?
Secara artian singkat, MUI adalah singkatan dari Majelis Ulama Indonesia. Apakah mereka adalah kelompok orang suci? Tentu saja tidak. Namun setidaknya, mereka punya pemahaman agama yang lebih dibandingkan orang awam. Ditambah lagi MUI adalah organisasi yang pasti melibatkan banyak musyawarah dan pertimbangan.
MUI memang sudah seharusnya hadir sebagai pemersatu umat. Namun bukan berarti MUI harus permisif seolah membolehkan segala hal dengan alasan menghindari konflik. Tentu saja hal tersebut juga tidak bijak walaupun atas dalih persatuan. Benar tetap benar, salah tetap salah. Misalkan saja sikap terhadap korupsi. Tidak ada pembenaran bahwa korupsi yang kecil itu diperbolehkan daripada korupsi besar-besaran.
Dalam kesempatan lain, sikap MUI memang dibutuhkan oleh masyarakat. Saat ada kemaksiatan dan penyakit masyarakat seperti pergaulan bebas yang berakibat pada zina dan minuman keras, MUI sudah seharusnya juga bersikap. Bukan hanya sebatas menerima laporan masyarakat.
Setidaknya dengan memberikan penyataan terbuka dan mendesak pihak yang bertanggungjawab untuk mengambil sikap. Misalkan kepada unsur pemerintah seperti aparat penegak hukum bahkan kepala daerah.
Kontroversi Pondok Pesantren Az-Zaytun misalkan. MUI dalam skala nasional sudah memberikan contoh bagaimana menjadi garda terdepan dalam meluruskan kekeliruan. MUI hadir sebagai pendorong dan juru bicara umat Islam. Namun, apakah MUI bisa mengubah keadaan? Tentu saja tidak. Penguasalah yang punya kekuasan tertinggi. Jika penguasa tidak punya iktikad yang baik, maka penyimpangan akan tetap terjadi. Seolah penyimpangan itu dirawat.
Bagaimana dalam konteks daerah? Apakah MUI sudah hadir sebagai juru bicara umat Islam, atau sebatas juru bicara di baliho dalam kegiatan tertentu saja?
Tiga Saran Langkah Kunci
Penulis menyarankan ada tiga langkah kunci yang bisa MUI lakukan sebagai upaya kongkrit agar bisa memperkokoh persatuan dalam bingkai keberagaman menuju Indonesia yang lebih sejahtera dan bermartabat. Khususnya bagi MUI daerah. Baik dalam lingkup provinsi, kabupaten/kota, atau kecamatan.
Pertama, mendengarkan masyarakat. MUI sudah seharusnya memasang telinga untuk mendengarkan permasalahan masyarakat. Layanan konsultasi syariah adalah hal paling dasar yang bisa dihadirkan. Baik dalam layanan offline tatap muka di kantor MUI atau online. Dengan banyak mendengar masalah masyarakat, MUI pun jadi lebih tahu apa sebenarnya masalah yang terjadi dalam masyarakat. Lebih jauhnya, program yang dihadirkan pun memang bisa menjadi solusi bagi masyarakat. Bukan sebatas menghabiskan anggaran. Bahkan pengurus MUI bisa membuat kompilasi masalah yang diterima, lalu menjadi bahan kajian, ceramah, atau tulisan yang kemudian disebarkan. Berdakwah dengan riset. Dengan begitu, masalah umat benar-benar bisa terselesaikan dan kesejahteraan didapatkan.
Kedua, mengakar ke daerah. Tidak banyak unsur MUI yang benar-benar bisa aktif hingga tingkat kecamatan. Padahal tidak sedikit pengurus MUI suatu daerah yang sebenarnya utusan dari kecamatan. Sayangnya, karena terlalu “sibuk” di pusat, provinsi, kota atau kabupaten, wilayah kecil di kecamatan atau desa pun terabaikan. Hal ini seharusnya bisa menjadi perhatian tersendiri bagi MUI. Pastikan MUI benar-benar hadir untuk masyarakat, dan mendukung penggerak di daerah. Bukan sebatas eksistensi di nasional, provinsi, atau kota/kabupaten saja. MUI sebaiknya bisa menjadi organisasi yang mengakar. Atau setidaknya, pengaruhnya bisa dirasakan oleh masyakat yang jauh dari perkotaan.
Anggaran memang dibutuhkan. Namun jangan sampai minimnya anggaran bahkan ketiadaan anggaran, niat baik menjadi tertunda. MUI satu level di atas seharusnya bisa mencari solusi atas masalah tersebut. Jika menggunakan tagline dari Muhammadiyah, maka tagline tersebut berubah menjadi, “Hidup-hidupilah MUI, tapi jangan mencari hidup di MUI.”
Peran MUI di daerah tentu saja bukan hanya sebatas berceramah. Kembali ke langkah pertama tadi, yaitu mendengar. Apa yang sebenarnya dirasakan oleh masyarakat, lalu dijadikan bahan kajian untuk menyelesaikan masalahnya. Karena tidak selamanya masalah bisa diselesaikan dengan ceramah.
Ketiga, mengedepankan kolaborasi. Walaupun secara nama MUI adalah Majelis Ulama Indonesia, tapi para pengurusnya tidak harus selalu alumni pondok pesantren atau kampus Islam dengan jurusan agama. Bagi komisi tertentu, jurusan agama tentu diutamakan. Namun bagi komisi lain yang sifatnya pendukung, latar belakang nonagama pun sangat dibutuhkan kehadirannya. Bahkan MUI juga butuh energi pemuda agar ada banyak warna dan konteks kekinian yang bisa diselesaikan. Lebih jauh, MUI butuh kolaborasi dengan berbagai pihak. Termasuk organisasi lain.
Masyarakat Kampar tidak asing lagi dengan istilah tali bapilin tigo. Istilah tersebut adalah ilustrasi dari tali kokoh yang terdiri dari ulama, ninik mamak, dan umara. Untuk menjadikan suatu masyarakat tersebut sejahtera dan bermartabat, tali bapilin tigo tersebut memiliki tanggung jawab paling besar. Namun unsur tali bapilin tigo pun sebenarnya adalah bagian dari masyarakat. Maka tidak seharusnya merasa ekslusif. Mereka hadir dari masyarakat, sudah seharusnya mendengar dan berbuat untuk masyarakat.
Peran MUI bagi umat memang besar. Maka sudah seharusnya amanah tersebut benar-benar bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bukan untuk kelompoknya, tapi untuk umat Islam. Di sinilah ujian kejujuran itu akan dibuktikan. Sebagaimana pesan dari Buya Hamka yang juga disebutkan dalam scene terakhir filmnya dari atas mimbar, “Ulama sudah menjual dirinya. Pembelinya adalah Allah. Harganya adalah surga.”
Bisakah MUI benar-benar berjuang semulia itu? Mari kita doakan, dukung, dan kawal bersama-sama.
Penulis | : | Rezky Firmansyah, penulis, pekarya, dan pembicara asal Kampar, Provinsi Riau. |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Cakap Rakyat |