![]() |
H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Saat ini tengah bergulir agenda perubahan atau revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) di DPR RI. Kesempatan untuk menyampaikan asa dan keinginan. Mengingat desa punya kedudukan istimewa. Eksistensi desa tidak hanya vital bagi kepentingan daerah tapi juga nasional. Seumpama jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh. Namun sangat disayangkan, dari narasi muncul ke permukaan, revisi UU Desa condong ke politik transaksional. Asumsi barusan didasarkan pada salah satu poin revisi UU perihal masa jabatan kepala desa, yang diubah menjadi sembilan tahun dengan maksimal kepemimpinan selama dua periode. Wajar kemudian kalangan masyarakat skeptis.
Benarkah pembahasan UU Desa akan membawa perubahan fundamental terhadap desa. Atau hanya untuk mengakomodasi hasrat berkuasa? Dugaan masyarakat bertambah liar asbab momentum pembahasan revisi UU Desa sarat kepentingan cari dukungan politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu). Apalagi kabarnya penambahan masa jabatan Kepala Desa berlaku surut. Kekhawatiran cukup beralasan. Karena akan mempengaruhi proses perancangan dan pembahasan draf. Akhirnya revisi bukan menghadirkan ide dan gagasan merevitalisasi desa, revisi UU Desa digesa demi kejar kepentingan sesaat. Kasihan desa selalu diperlakukan layaknya komoditas.
Kendati begitu, revisi UU Desa tetap bernilai penting. Kita selaku unsur daerah perlu mengawal proses pembahasan. Selagi revisi UU Desa, mengutip pernyataan Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera, titik tekannya bukan demi mengakomodir kehendak Kepala Desa, jabatan dan kesejahteraan. Melainkan untuk memajukan seluruh masyarakat desa dan potensi desa. Untuk itu, harus tampak fokus dibalik penyusunan revisi RUU, yakni membangun dan memperkuat desa agar lebih baik ke depannya serta memberi kedaulatan ke masyarakat untuk membangun desanya sendiri.
Kembali ke pernyataan sikap Fraksi PKS DPR RI, banyak poin untuk dielaborasi dan merubah paradigma bagaimana memandang desa. Diantaranya, pendekatan pembangunan pedesaan tak bisa seragam. Begitujuga penggunaan dana. Selain infrastruktur fisik mesti mengutamakan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Sarana fisik jelas urgen. Tetapi unsur manusia lebih prioritas. Tanpa penguatan SDM mustahil menjaga keberlangsungan desa. Baik itu peningkatan wawasan dan kapasitas insan dibutuhkan supaya oritentasi tidak semata membangun desa, tapi desa yang membangun.
Desa Membangun
Kalimat desa membangun di atas perlu diwujudkan. Maksudnya sederhana. Bagaimana efek kegiatan pembangunan di desa dapat berimplikasi pada semakin sentralnya peran desa. Memang sembilan tahun usia UU 6/2014 (UU Desa) diklaim berhasil membawa perubahan. Sembilan tahun pula desa terbukti mampu mengelola dana lebih Rp. 600 triliun untuk berbagai program. Keberhasilan terangkum di Indeks Desa Membangun (IDM) yang memuat tiga kategori: indeks ketahanan sosial, ekonomi dan lingkungan. Data IDM memperlihatkan penurunan desa sangat tertinggal dan desa tertinggal. Desa maju dan mandiri meningkat. Meski data Pemerintah dan hasil studi menunjukkan perdesaan makin sejahtera dekade terakhir, terungkap kajian lain bahwa kesejahteraan pembangunan justru memicu ketimpangan.
Pembangunan afirmatif terhadap kelompok miskin yang menjadi kunci pemerataan belum sepenuhnya terpenuhi. Keberhasilan capaian pembangunan desa berbasis IDM tidak diikuti penurunan tingkat ketimpangan di perdesaan. Berdasarkan pengukuran Indeks Gini (Gini Ratio Index), sejak UU Desa berlaku tahun 2014, tingkat ketimpangan perdesaan masih tinggi. Menurut data BPS, angka ketimpangan tertinggi di tahun 2022 yaitu 0,44. Lebih besar dibanding tahun 2014 yakni 0,43. Angka tersebut ternyata tertinggi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Kemudian, penurunan angka kemiskinan juga relatif lambat.
Pada 2014 angka kemiskinan perdesaan 17,37 juta jiwa (13,76 persen), sedang tahun 2022 sebanyak 14,38 juta jiwa (12,36 persen). Artinya sepanjang 2014-2022 angka kemiskinan di perdesaan hanya berkurang 1,4 persen. Sementara periode sama tahun 2022 penduduk miskin perdesaan alami peningkatan dari 14,34 juta orang per Maret 2022 menjadi 14,38 juta orang per September 2022. Pemaparan angka tadi tentu mengundang pertanyaan: apakah output yang didapat sudah sepadan dan sesuai ekspektasi?
Berangkat dari fenomena, revisi UU Desa diharapkan dapat menjawab problematika dan mengatasi akar masalah. Iya pembangunan di desa sudah marak. Dana desa tambah banyak. Namun sudahkah desa jadi episentrum? Terus terang, ketimbang perkotaan pedesaan masih dicap tertinggal. Padahal idealnya posisi desa lebih baik. Punya bahan baku penunjang aktivitas ekonomi dan tenaga kerja. Ditambah kini sudah mengelola anggaran sendiri. Ironisnya perkotaan yang miskin sumber daya justru lebih berdaya. Infrastruktur disebut sebagai faktor penghambat. Akibatnya sektor hilir atau pengolahan kayak pabrik dan industri memilih beroperasi di perkotaan.
Meski begitu perspektif bangun desa tentu tak melulu menarik investasi. Kita mau kebijakan pro desa sebagai aktor utama pembangunan. Pangkal perkara selama ini kurangnya dukungan kebijakan dan agenda pembangunan yang melibatkan pedesaan secara proaktif. Belajar ke Tiongkok. Di sana desa melahirkan industri kecil. Produknya sampai barang elektronik yang diekspor ke mancanegara. Mereka bisa dikarenakan pola pembangunan bottom up. Jadi jangan kota terus dipoles. Ujungnya menarik orang berduyun ke kota. Ibarat gula dan semut. Dalam konteks ini, sinergitas kawasan semisal Pekansikawan relevan kembali diangkat. Konsepnya kota dan desa saling melengkapi. Sulit menekan laju urbanisasi apabila distribusi kue ekonomi dan pembangunan tidak merata.
Jangan dulu urusan ekonomi, sarana pendidikan dan kesehatan kasamata timpangnya. Kami di Komisi V DPRD Riau selalu menyoroti kesenjangan mulai fasilitas sekolah hingga jumlah tenaga pengajar SMA/SMK kota dan desa. Tak heran sejumlah kabupaten/kota memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di bawah provinsi. Terkait penguatan SDM, pembangunan desa mesti selaras kebutuhan.
Disamping pendidikan dan kesehatan, balai pelatihan kerja di pedesaan hendaknya diperbanyak. Miris lihat gedung balai pelatihan daerah yang diambil alih Pusat malah terbengkalai. Saat Riau memerlukan untuk meningkatkan daya saing.
Kembali menyinggung ketimpangan, revitalisasi kunci membendung urbanisasi. Kalau insan produktif dan potensial di desa berbondong ke kota, lantas siapa yang bangun desa? Kondisi tersebut jelas ancaman nyata dan bisa menyebabkan krisis perdesaan. Akibatnya muncul persoalan struktural yang ditandai penurunan kapasitas sistem sosial, ekonomi dan ekologi perdesaan. Imbas paling fatal tentu saja kemampuan menyediakan kebutuhan pangan yang selama ini identik dengan desa. Oleh karena itu, besar harapan revisi UU Desa dapat berbicara banyak.
Niat merupakan unsur penentu. Ketika kebijakan yang dirumuskan sebatas menampung nafsu berkuasa dan kepentingan sempit, jangan harap Tuhan menurunkan karunia ke negeri ini. Sekali lagi, sebanyak apapun dana digelontorkan ke desa jika tidak dimanajemen lewat kebijakan sistematis tak akan beri banyak manfaat. Bisa-bisa mudharat. Tetapi bila revisi UU Desa dilandasi niat tulus membangun negeri dan keinginan menghasilkan kebijakan revitalisasi desa ke arah lebih baik, keberkahan akan datang.
Penulis | : | H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |











































01
02
03
04
05


