(CAKAPLAH) - Curah pendapat. Ironis, sering kita mendengar keluhan terhadap “karut-marutnya” masalah pengelolaan sampah oleh pemerintah, padahal kita semua menyadari bahwa kita sebagai masyarakat memproduksinya setiap hari. Berbagai upaya preventif dan represif dengan pembiayaan uang negara telah coba diterapkan, namun persoalan sampah yang tidak kunjung usai bahkan sering menjadi “gorengan” untuk menilai kinerja suatu kebijakan pemerintah.
Bicara angka, dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK sepanjang tahun 2022 timbunan sampah yang timbul di seluruh Indonesia mencapai 35,28 juta ton. Jumlah sampah terkelola adalah sebesar 22,86 juta ton atau hanya 64,86 persen sedangkan sisanya, 12,40 juta ton, belum terkelola. Untuk itu, sudah selayaknya kita sebagai masyarakat berpandangan dari dua sisi, selain turut serta mengurangi produksi sampah dan mengelola sampah, juga berperan aktif membantu pemerintah dalam mengatasinya. Selain pendekatan program kegiatan pemerintah yang masih parsial, kendala anggaran selalu menjadi masalah klasik penanganan sampah di Indonesia.
Dalam RPJMN 2020-2024, sektor pengelolaan persampahan menjadi salah satu bagian dari agenda 5 yaitu memperkuat infrastruktur untuk mendukung pembangunan ekonomi dan layanan dasar, dimana pengelolaan persampahan ditempatkan sebagai bagian dari pelayanan dasar akses sanitasi. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengatur sistem pengelolaan sampah dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UU 18/2008). Poin penting dalam atuan tersebut minimal mengatur bahwa pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri dari pengurangan sampah dan penanganan sampah. Kegiatan pengurangan sampah meliputi konsep 3R (Reuse, Reduce, Recyle) sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
Lalu siapa yang mempunyai tanggung jawab menyediakan layanan infrastruktur layanan persampahan di daerah? Berdasarkan UU 18/2008 juga, pemerintah kabupaten/kota (untuk selanjutnya disebut Pemerintah Daerah/Pemda) yang berwenang untuk menyelenggarakan pengelolaan sampah sesuai dengan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Mengingat kewenangan terdapat di Pemda, maka pengelolaan sampah yang baik sangat tergantung terhadap besaran alokasi anggaran yang disiapkan. Namun sayangnya, alokasi anggaran pengelolaan sampah pada APBD/APBN terbatas. Lalu bagaimana solusi Pemda mencari alternatif dalam pendanaan untuk layanan persampahan di wilayahnya? Untuk menjawab ini, perlu dijelaskan bagaimana memandang tantangan dan peluang pengelolaan sampah di Pemda dari sisi keuangan daerah.
Tantangan Pengelolaan dan Potensi Pendapatan Asli Daerah
Urgensi Pemda untuk menyediakan infrastruktur layanan persampahan meliputi pengadaan barang/jasa dapat melibatkan penugasan BUMD dan investasi dalam bentuk Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) oleh swasta. Fokus utama KPBU adalah upaya penyediaan infrastruktur layanan persampahan yang tepat guna dengan mengandalkan biaya dari pihak swasta pada jangka waktu tertentu yang disepakai untuk dikonversi menjadi barang milik daerah berupa kemilikan penuh sebagai asset Pemda nantinya. Metode ini dapat melibatkan pihak diluar pemerintah dalam upaya menekan biaya, namun dapat memberikan lebih dari satu infrastruktur layanan persampahan. Misalnya infrastruktur pemilahan sampai dengan pengangkutan menggunakan pengadaan barang/jasa dengan biaya Pemda kemudian pengolahan dan pemrosesan menggunakan skema KPBU. Tentunya bagi pihak diluar Pemda, jaminan akan payung hukum terkait pengelolaan wajib diperlukan. Bukan tidak mungkin jika Pemda mampu berkomitmen dengan menjamin regulasi dengan skema KBPU dapat mengubah hasil akhir pemprsesan sampah lebih bermanfaat seperti menjadi pengolah sampah menjadi energi listrik (PSEL).
Kunci sukses selanjutnya adalah sinergi aturan yang mengatur pola kebijakan anggaran bersumber APBN/APBD dan swasta. Aturan pengelolaan sampah wajib menguntungkan kedua belah pihak, dengan adanya keterlibatan pihak swasta untuk dapat membiayai dan mengoperasikan infrastruktur persampahan. Sedangkan pendanaan dapat dari penjualan hasil pengelolaan sampah, konstribusi dana swasta, dan juga partsipasi masyarakat dengan penerapan polluter pay important harus diatur secara tegas. Dimana, setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pengeloaan sampah yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan. Transparansi atas capaian pengelolaan dan penggunaan dana kepada publik harus dilakukan. Bentuk konkretnya adalah dengan pengawasan atau pemeriksaan rutin dari pihak berwenang dan pengumuman atas informasi capaian/prestasi pengelolaan sampah Pemda pada media masa/elektronik. Dengan berjalannya mekanisme tersebut, pengenaan retribusi pelayanan sampah akan ditingkatkan dengan lebih adil dan memastikan beban dan dukungan APBD akan berkurang.
Terakhir, program kegiatan Pemda dalam menciptakan “pahlawan lingkungan” dengan melibatkan RT/RW, UMKM, tokoh masyarakat dan lembaga adat. Pemda dalam programnya, berupaya untuk mendorong kolaborasi peran aktif para pihak tersebut minimal pada proses pemilahan awal sampah yang berpotensi ekonomi, guna meningkatkan produk akhir sampah dalam upaya membantu peningkatan ekonomi secara peribadi, kelompok dan membantu pemerintah menghasilkan penerimaan dari retribusi pelayanan sampah. Paradigma masyarakat yang abai bahwa sampah tidak dapat menjadi potensi ekonomi dan alternatif pendanaan daerah, menjadi kendala yang harus menjadi program prioritas Pemda untuk mengedukasi melihat peluang menghasilkan PAD dari pengelolaan sampah.***
Disclaimer: Tulisan ini hanya pendapat pribadi penulis, tidak mewakili instansi tempat penulis bekerja
Penulis | : | Akhmad Saputra Benawa: ASN dan Pengamat Keuangan Daerah |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |