![]() |
Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Perlahan tapi pasti, Indonesia mulai kehilangan prediket sebagai negara agraris. Segudang permasalahan tak henti-hentinya menghampiri. Teranyar perihal Sumber Daya Manusia (SDM). Berawal survei dilakukan lembaga Jakpat, didapati temuan bahwa dari 100 generasi Z berusia 15-26 tahun hanya 6 yang ingin bekerja dan menekuni bidang pertanian. Terlepas perdebatan apa survei sudah mewakili seluruh Indonesia, fakta di lapangan tak bisa disangkal: pertanian tak lagi menarik di mata generasi muda.
Mirisnya, manakala antusias bertani penduduk usia muda surut, di sisi lain sebagian para petani mulai menua. Penuaan pekerja di sektor pertanian patut diwaspadai. Apalagi tanpa diiringi regenerasi. Indikasi sudah terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Agustus 2015 jumlah tenaga kerja pertanian 37,75 juta orang, sementara Agustus 2019 35,45 juta orang. Berkurang 2,3 juta dalam 4 tahun.
Minimnya regenerasi petani pertanda buruk. Mereka ujung tombak yang menjaga ketersediaan pangan. Apabila ketersediaan petani secara nasional kian berkurang, produktivitas pertanian menurun dan upaya penjaminan hak atas pangan di Indonesia tak dapat terpenuhi. Ketika ini terjadi, jelas ancaman nyata ketahanan pangan nasional. Ujungnya, dari negeri swasembada pangan menuju importir beras.
Bicara lingkup lebih luas, Indonesia berada di urutan keenam negara proporsi tenaga kerja pertanian tertinggi di Asia Tenggara. Menurut ASEAN Statistics Division, proporsi tenaga kerja pertanian di Indonesia sebesar 29,8 persen di tahun 2020. Posisi Indonesia berada di bawah Kamboja (32.1 persen). Adapun Myanmar negara proporsi tenaga kerja pertanian paling tinggi di Asia Tenggara yakni 48,9 persen.
Terkait produktivitas, Vietnam produsen terbesar ke-5 dunia disusul Thailand dan India. Ketiga negara tadi pengekspor beras ke Indonesia. Ironisnya, di tahun 90-an (semasa orde baru), Indonesia “mentor” sejumlah negara di Asia di bidang pertanian. Sebut diantaranya pemerintah Malaysia, Thailand dan Vietnam pernah kerjasama dengan Indonesia. Pejabat, peneliti dan asosiasi petani mereka berkunjung ke Indonesia untuk studi. Ada juga pejabat dan peneliti Indonesia yang diundang. Sebab dekade 80-an pertanian RI tergolong maju. Buktinya dianugerahi medali oleh badan PBB bidang pangan FAO. Cukup banyak negara luar belajar ilmu pertanian ke Indonesia. Mulai teknis budi daya, pengelolaan stok dan stabilitas harga. Contoh nyata di Malaysia ada Bernas, meniru Bulog.
Selain itu tersebut pula India. Belum lama ini, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sepulang dari sana menuturkan bahwa kebijakan pertanian di India serupa metode zaman pemerintahan Soeharto. Mereka memakai koperasi bukan konglomerasi. Sehingga pupuk bukan dari pabrik namun dibuat koperasi yang dibekali riset dan penelitian. Kebijakan India guna mengamankan dan menghindari menipisnya stok pangan dalam negeri.
Kenyataan di atas terasa pahit. Dahulu Indonesia “guru” sekarang malah ketergantungan ke “muridnya”. Memang produksi beras Indonesia masih tergolong banyak. Namun kebutuhan terus merangkak akibat jumlah penduduk terus tumbuh. Sementara produktivitas pertanian tak naik signifikan. Informasi terkini Pemerintah berencana mau impor beras lagi. Presiden Joko Widodo menyatakan Kamboja menyambut baik rencana impor beras 250 ribu ton per tahun. Keputusan impor terang saja paradoks. Sebab di tahun lalu Presiden Jokowi sempat membanggakan keberhasilan Indonesia swasembada beras ke seantero penjuru nusantara.
Kembali ke hasil survei di awal tulisan, tak sulit menebak alasan mengapa generasi muda tak mau kerja di bidang pertanian. Paling utama Pemerintah masih setengah hati memperkuat dan melindungi komoditas pertanian beserta petani. Ditambah kebijakan Pemerintah bumerang. Misal jor-joran impor kala panen raya atau abai atas alih fungsi dan konversi lahan pertanian. Untuk disebut terakhir, tak terhitung lagi lahan pertanian digusur demi infrastruktur bahkan Proyek Strategis Nasional. Hal ini ditemukan di banyak daerah, terutama yang sebagian besar wilayahnya berupa sawah. Seiring getolnya Pemerintahan Jokowi membangun infrastruktur. Sebut diantaranya bandara Lombok dan jalan poros Mataram ke bandara yang mendorong konversi lahan sawah, di Majalengka lahan pertanian beralih fungsi jadi bandara dan lain-lain.
Tanpa bermaksud anti pembangunan, infrastruktur diperlukan untuk memajukan bangsa. Tapi harus seimbang. Potensi kehilangan lahan sawah dan pertanian sudah di depan mata. Jangan membangun fisik membabi-buta sampai mengorbankan produktivitas pertanian. Karena ini berkaitan ketahanan pangan. Taruhannya kedaulatan negara. Pertanian juga bukan sekedar konsumsi dalam negeri. Produk pangan kayak beras komoditas andalan di kawasan Asia. Artinya peluang nilai ekonomi. Kemudian, keunggulan pangan bakal menaikan posisi tawar negara produsen.
Perlu Intervensi
Oleh karena itu, regenerasi SDM pertanian harus ditanggapi serius. Pada dasarnya kiat menumbuhkan minat generasi muda bertani bukan sesuatu yang “wah”. Komitmen pengambil kebijakan saja yang kurang. Diawali fasilitas memadai, dukungan modal usaha tani, jaminan ketersediaan lahan, apresiasi pengembangan skill dan kemampuan bertani serta proteksi kebijakan negara. Negara barat yang liberal semisal Amerika Serikat saja melindungi petani mereka, menjamin dan memastikan ketersediaan pupuk serta menata rantai niaga yang menguntungkan petani.
Berikutnya, pendekatan komprehensif dibutuhkan demi menumbuhkan antusiasme bertani di kalangan usia muda. Urusan tak bisa andalkan satu kementerian, lembaga atau dinas yang membidangi pertanian. Harus terintegrasi. Termasuk sektor pendidikan. Sehingga generasi muda memandang pertanian punya masa depan menjanjikan serta berkontribusi wujudkan kedaulatan negara.
Di pusat, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) sudah intervensi ke perguruan tinggi. Begitupula seharusnya di daerah. Terkhusus Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mesti lakukan langkah serupa ke sekolah-sekolah. Lebih spesifik lagi ke pendidikan vokasi. Bila perlu dirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian setiap kecamatan. Keinginan barusan bukan hasrat menggebu-gebu. Perkebunan dan pertanian salah satu kontributor terbesar perekonomian Riau. Kita ingin generasi muda daerah memainkan peran sentral dan memperoleh keuntungan dari keunggulan Sumber Daya Alam (SDA) Riau.
Berhubung SMK kewenangan Pemprov, ragam pendekatan bisa ditempuh. Fasilitasi kerjasama atau sinergi dari pemangku kepentingan seperti perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pertanian. Selanjutnya beri dukungan optimal kepada pendidikan vokasi. Bukan semata melahirkan generasi minat jadi petani, tapi juga SDM yang mampu menelurkan ide dan inovasi menggenjot produktivitas pertanian dan perkebunan.
Mengenai pertanian tak hanya beras, potensi pangan lokal seperti sagu perlu dikembangkan. Mengingat kaum muda punya daya adaptasi terhadap perkembangan teknologi informasi, besar harapan mereka dapat menghadirkan terobosan teknologi pengembangan usaha pertanian dan mempersingkat rantai distribusi pangan untuk membantu petani mendapatkan harga lebih baik. Disamping itu tentunya pendamping petani mengembangkan kapasitas usaha dan memperkuat kelembagaan. Kalau langkah-langkah fundamental tersebut bisa ditempuh, apapun ancaman dan tantangan dapat ditaklukan.
Pengembangan teknologi dan dukungan infrastruktur sektor pertanian mesti diimbangi regenerasi SDM pertanian. Disinilah pentingnya memperkenalkan dunia pertanian kepada generasi muda sejak dini. Regenerasi petani bukan semata demi menyelamatkan perut penduduk dari krisis pangan. Tetapi dibalik itu ada misi besar menyelamatkan kedaulatan negara lewat ketahanan pangan.
Penulis | : | Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |











































01
02
03
04
05


