Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Kamis 12 Rabi’ul Awal 1445 Hijriah bertepatan tanggal 28 September 2023 merupakan hari istimewa. 14 abad yang lalu, lahir dari rahim seorang wanita terhormat anak lelaki yang kelak membawa kemaslahatan bagi dunia seisinya. Siapa lagi kalau bukan junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW. Terkhusus masyarakat Indonesia, hari kelahiran Rasulullah diperingati luar biasa. Boleh dibilang istilah Maulid Nabi hanya popular di negeri kita. Peringatannya pun mentradisi dan diwariskan turun-temurun.
Tingginya antusias muslim tanah air memperingati kelahiran Nabi patut dibanggakan. Inilah puncak pengagungan seorang manusia yang tanpa kehadirannya maka dunia tetap dalam masa kejahiliyahan. Sebelum Rasulullah dilahirkan memang telah banyak berdiri peradaban maju. Luar biasa secara materi, dipenuhi infrasruktur dan arsitektur nan megah. Namun hampa nilai moral dan akhlak. Oleh karena itu sangat merugi orang mengaku muslim tapi melewatkan begitu saja hari kelahiran Rasulullah tanpa ekspresi kesyukuran dan kegembiraan. Apalagi sampai menyepelekan orang-orang yang memperingati hari kelahiran Nabi.
Ambil pelajaran dari Abu Lahab. Kendati penentang utama Nabi yang kisah dan siksaan untuknya diabadikan Allah SWT dalam al-Quran, tapi sebuah riwayat menuturkan bahwa Abu Lahab diberi keringanan siksa kubur tiap hari senin. “Dispensasi” diperoleh asbab suatu ketika ia pernah begitu senang manakala budaknya Tsuwaibah Al Aslamiyah mendatangi dan mengabari berita kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kelewat bahagianya, Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah dan menghadiahkan ke Siti Aminah. Tsuwaibah menjadi perempuan yang menyusui Nabi. Hikmahnya, kalau seorang manusia yang dilaknat Allah SWT saja kecipratan berkah disebabkan rasa senang atas kelahiran Nabi, yang mengaku beriman semestinya lebih bahagia lagi.
Rasa bahagia sepadan menimbang perjuangan dan pengorbanan beliau menghantarkan risalah agama. Manfaat bukan hanya dirasakan oleh umat muslim, tetapi seluruh umat manusia. Merubah tatanan dunia ke arah lebih baik. Tatkala dunia barat masih dihantui rasisme, Islam telah lama memerangi perbudakan dan diskriminasi, memartabatkan dan memanusiakan manusia serta mengangkat harkat wanita. Tengok saja di masjid, semua diperlakukan sama. Tak membedakan warna kulit, kasta, harta dan jabatan. Karena manusia setara di hadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah takwa.
Jadi, kalau ada pihak koar-koar bilang Islam diskriminatif apalagi anti emansipasi wanita, yang menuduh pertanda SDM rendah minim literasi. Sementara wanita di Eropa abad pertengahan mayoritas buta huruf dan statusnya dihinakan, begitujuga wanita di Amerika Serikat abad 19 dikekang kehidupan sosial dan politiknya, Islam jauh lebih dulu memberi tempat utama kepada wanita.
Istri Rasul yakni Khadijah RA merupakan saudagar dan aktor penting dalam dakwah nabi. Berikut Siti Aisyah RA tokoh sentral mulai dalam hal periwayatan hadist dan memiliki pengaruh di kalangan umat pada masa itu. Sesudahnya banyak muslimah memainkan peran penting dalam sejarah Islam. Tersebut Hafshah anak Umar bin Khattab, berbekal kemampuan baca tulis, dicatat tinta emas sejarah atas upayanya mendokumentasikan tulisan al Qur’an ke lembaran pelepah kurma. Membuat ia digelari “penjaga Al Qur’an”. Ada juga wanita andil di medan perang seperti Nusaibah binti Kaab. Tak kalah fenomenal pendiri universitas pertama di dunia (Al Qarawiyyin di Maroko) bernama Fatima al-Fihria. Dan banyak lagi daftarnya.
Kepemimpinan
Pemaparan di atas menyuratkan betapa kelahiran Rasulullah hadirkan keberkahan. Berdasarkan itu, sangat disayangkan momentum Maulid Nabi berlalu tanpa refleksi guna menyegarkan kembali ingatan terhadap aspek kehidupan Nabi. Harapannya tergugah kesadaran untuk terus berupaya meneladani perbuatan beliau. Salah satu warisan Rasul yang urgen diangkat soal kepemimpinan. Walau klasik, dinilai sangat penting. Tanpa kepemimpinan yang baik, mustahil suatu bangsa mencapai cita-cita mulia. Bicara kepemimpinan makin relevan mengingat kondisi bangsa belakangan rindu berat sosok berjiwa leadership. Terlebih di era penuh paradoks. Dimana pendusta dan penkhianat dipercaya dan dipuja, sedang yang amanah dan jujur dicemooh dan disingkirkan; Mengaku merakyat tapi kebijakan menyengsarakan rakyat.
Banyak sudah peristiwa ironis tersaji di depan mata. Di lingkup pengambil kebijakan, regulasi dibuat bukan untuk sejahterakan rakyat, justru mengakomodir kepentingan pihak tertentu. Masih hangat kejadian di Kampung Rempang di Batam, yang mana rakyat dikorbankan demi investasi. Mirisnya, saat warga tergusur hidup terombang-ambing dalam galau dan kesedihan, di suatu tempat pemimpin negeri beserta pejabatnya berpesta-pora sambil berjoget ria. Sungguh pemandangan menyayat hati.
Fenomena tersebut terang saja bertolakbelakang dengan apa yang dicontohkan Rasulullah. Saking cinta kepada umatnya, menjelang wafat beliau masih sempat-sempatnya berkata Ummati… ummati. Khawatir nasib umat sepeninggalnya. Memang kepemimpinan Rasulullah tak ada bandingan di dunia ini. Bukan semata pengakuan dari umat Islam, tapi juga dari luar Islam. Bisa dibaca dari berbagai literatur karya sejarawan barat yang mengkaji kehidupan Rasulullah.
Meski karakter kepemimpinan beliau sukar ditiru dan dicari sosok yang mendekati, bukan berarti kita meninggalkan sepenuhnya indikator kepemimpinan yang beliau miliki. Atau malah menunjuk orang yang sifat dan sikapnya nyata-nyata bertolakbelakang. Sebagaimana diketahui, ada empat sifat kepemimpinan Rasulullah, yaitu pertama, siddiq atau berkata dan bersikap benar. Kedua, amanah atau dapat dipercaya. Ketiga, tabligh atau menyampaikan kebenaran. Lalu keempat, fathanah atau mempunyai kecerdasan dan kapasitas memahami sesuatu hal. Indikator inilah yang perlu dimiliki seorang pemimpin.
Sifat kepemimpinan ideal Rasul tak cukup sampai di situ. Beliau sangat terbuka menerima kritikan dan masukan. Contohnya sewaktu perang Badar. Pasukan muslimin berhenti di sebuah sumur dan Rasulullah SAW memerintahkan menguasai sumber air dimaksud. Seorang sahabat bernama Khahab ibn Mundzir menghampiri beliau sembari bertanya “apakah keputusan adalah wahyu dari Allah atau hanya strategi perang?.” Rasul menjawab, “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan strategi perang.” Kemudian Khahab memberi masukan, “Wahai Rasulullah, jika demikian tempat ini tidak strategis. Lebih baik kita pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita buat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya.” Supaya pasukan muslimin punya persediaan air cukup dan musuh tidak. Rasulullah SAW menyetujui sambil tersenyum. “Pendapatmu sungguh baik.” Usulan dijalankan dan menuai kemenangan di pihak muslimin. Terlihat betapa demokratisnya beliau. Sebaliknya sekarang, mengkritik dan berbeda pendapat dianggap musuh. Akhirnya memunculkan manusia mental penjilat di sekeliling penguasa yang selalu membela walau kebijakan dan keputusan terang-terangan keliru.
Akhir tulisan, wajar kenapa Islam begitu ketat mengatur panduan memilih pemimpin. Karena sangat fundamental. Kepemimpinan alat mewujudkan peradaban baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafuur. Salah memilih pemimpin berujung petaka dan musibah. Semoga kita bisa berpegangteguh kepada warisan ajaran Nabi. Sunnah yang beliau tinggalkan bukan semata ibadah ritual. Islam agama syamil yang penerapan ibadahnya mencakup banyak aspek dalam kehidupan.
Penulis | : | Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota DPRD Provinsi Riau dan Tokoh Masyarakat) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |