![]() |
Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Kabut asap kembali menyelimuti Riau. Istilah orang sekarang CLBK, Cerita Lama Berulang Kembali. Meski ancaman kabut asap selalu menghantui Riau tiap tahun, tetapi beberapa tahun belakangan penanganan Karhutla terus membaik. Terakhir masih segar di ingatan kita tahun 2019 Presiden Joko Widodo mengumumkan status siaga darurat Riau sehubungan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla). Setelah sekian waktu masyarakat Riau nikmati hidup tanpa azab asap, kini masalah klasik hadir. Memburuknya kualitas udara Riau efek Karhutla agak ironis. Berhubung pertengahan tahun 2023 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau meraih penghargaan atas komitmennya terhadap pembangunan rendah karbon dan implementasi ekonomi hijau untuk pembangunan berkelanjutan.
Penghargaan diberikan saat acara Musyawarah Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2024 bertempat di Jakarta Convention Center (16/5/2023). Kegiatan yang diselenggarakan Kementerian PPN/Bappenas tersebut dihadiri langsung Wakil Presiden RI, KH Ma'ruf Amin. Capaian barusan patut diapresiasi.
Sayang kabut asap menodai. Karhutla sebagian besar dipicu pembukaan lahan untuk kepentingan usaha dan ekonomi. Tentunya bertentangan dengan konsep ekonomi hijau yang menekankan ramah lingkungan. Tambah miris lagi Riau bak anak ayam kehilangan induk sehubungan pucuk pimpinan daerah mundur demi karir politik.
Bicara kondisi terkini, berdasarkan pemantauan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Kota Pekanbaru, kualitas udara menunjukkan level tidak sehat. Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau sudah menghimbau sampai mengeluarkan surat edaran yang meminta masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah dan menggunakan masker guna hindari dampak gangguan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Kabut asap pastinya membawa banyak kerugian. Semua lini, dimensi dan aktivitas bakal terganggu. Paling dikhawatirkan kesehatan anak-anak dan penduduk lanjut usia karena paling rentan. Kekhawatiran bukan hanya pada Karhutla. Paling penting disorot adalah masih banyaknya insan yang tak peduli dan tak merasa berdosa merusak lingkungan dan mengabaikan mudarat yang ditimbulkan ke orang banyak. Terlebih sempat viral video seorang selebgram yang malah membela aktivitas bakar lahan, yang menurutnya membakar lebih efisien. Ini berbahaya. Karhutla terjadi akibat rendahnya wawasan dan kesadaran. Merubah kebiasaan membakar lahan secara serampangan dan tak terkendali sungguh tak mudah. Maka pendekatan harus komprehensif. Kendati sudah terbit aturan di tingkat daerah memuat himbauan hingga paling keras berupa sanksi hukum, masih belum cukup. Mendesak ditempuh bagaimana memutus kebiasaan penyebab Karhutla.
Sedari Dini
Di sini perlunya intervensi ke lembaga pendidikan. Menanamkan sedari dini pemahaman dan kesadaran peduli lingkungan dan marabahaya yang muncul manakala pemanfaatannya keliru. Pada dasarnya fitrah manusia baik. Kita dari sononya tidak membawa tabiat merusak. Lingkungan yang membentuk pola pikir dan pola sikap. Itulah kenapa kita butuh pendidikan yang tujuannya mengajarkan yang benar dan meluruskan yang salah. Ibarat tombol “reset pabrik” di smartphone, pendidikan dapat menyegarkan manusia akan fitrahnya serta memutus kebiasaan buruk memperlakukan alam dan lingkungan.
Menimbang sekolah tempat transfer ilmu pengetahuan dan informasi, melalui lembaga ini dapat dilakukan pembinaan, penanaman dan keterlibatan aktif peserta didik. Orientasinya mendidik SDM yang tak hanya unggul intelektual, tetapi juga spiritual. Pintar tetapi keblinger apa guna. Agama mengajarkan manusia memperlakukan siapa saja sesuai haknya termasuk lingkungan. Kalau tidak, tanggung konsekuensinya. Seperti firman Allah SWT dalam Al Qur’an: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar” (Ar-Rum: 41). Urgensi menanamkan wawasan lingkungan bukan semata Karhutla. Mengingat banyak kerusakan lingkungan dipicu ulah manusia, sebut saja banjir, tanah longsor dan lain sebagainya.
Jalan memperkuat kesadaran terhadap lingkungan sebenarnya sudah terbentang. Berikut dukungan regulasi. Diantaranya keputusan bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional No. 04/MENLH/02/2010 dan No. 01/II/SKB/2010 tentang Kelompok Kerja PLH. Kemudian Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adiwiyata dan No. 52 Tahun 2019 tentang Gerakan Peduli dan Berbudaya Lingkungan Hidup di Sekolah.
Adiwiyata sendiri program Kementerian Lingkungan Hidup yang mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga sekolah melestarikan lingkungan hidup menuju lingkungan sehat dan menghindari dampak negatif lingkungan. Sekolah berwawasan lingkungan berperan strategis menyokong pembangunan berkelanjutan. Rupa-rupa praktiknya antara lain: Memasukkan mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) atau Pendidikan Konservasi (PKo) sebagai muatan lokal minimal satu tahun ajaran; Pengembangan metode belajar berbasis lingkungan dan budaya; Peningkatan pengetahuan dan kesadaran siswa tentang lingkungan hidup lewat kegiatan ekstrakurikuler. Di luar itu adapula dikembangkan kegiatan kampanye dan pelaksanaan hemat energi (listrik, air dan ATK) bagi seluruh warga sekolah (guru, karyawan dan juga siswa), kebersihan/pengelolaan sampah, pembuatan Ruang Terbuka Hijau (RTH), sanitasi dan air bersih, apotek hidup (tanaman obat), hidroponik, kebun sayur, kebun sekolah, sumur resapan serta instalasi pengelolaan limbah cair dan lain-lain.
Sejauh ini program sudah berjalan dan termasuk berhasil. Hanya saja dirasa masih setengah hati dan belum optimal. Program berembel “hijau” atau “green” cenderung sebatas seremonial. Dalam daftar program Pemerintah, kepedulian lingkungan masih kalah prioritas dibandingkan agenda pembangunan infrastruktur. Buktinya segi anggaran. Pembangunan fisik rela jor-joran.
Tak sedikit proyek mercusuar dan tak dibutuhkan masyarakat tetapi nilai dan alokasinya fantastis. Sementara kegiatan pembangunan manusia alakadarnya. Tak terkecuali upaya memperkuat kesadaran lingkungan. Padahal beberapa program berwawasan lingkungan idenya sudah bagus. Namun tak dibekali anggaran memadai dan sepadan. Contoh Adiwiyata yang telah disinggung sebelumnya. Berhasil atau tidak program tersebut tergantung dana. Baik itu pemberian insentif program di sekolah dan penghargaan.
Sebagaimana diketahui, penghargaan Adiwiyata diberi secara berjenjang mulai tingkat daerah dan nasional. Gubernur Riau H Syamsuar belum lama berselang menyerahkan Piagam adiwiyata provinsi tahun 2023 untuk kategori sekolah peduli dan berbudaya lingkungan, yang didasarkan keputusan Gubernur Riau Nomor. KPTS925/VII/2023. Penghargaan dan apresiasi baik untuk memotivasi. Akan tetapi supaya semakin kompetitif perlu ditambah insentif dan uang jasa prestasi. Masak mau SDM berkualitas tetapi modal alakadar. Yakinlah, investasi besar-besaran di sektor pembangunan manusia tak pernah mengecewakan. Inilah satu-satunya cara memutus rantai hal-hal yang merusak negeri.
Penulis | : | Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |











































01
02
03
04
05


