
![]() |
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Kisruh soal Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPRD Bengkalis Fraksi Golkar memasuki babak baru. Terbaru, muncul putusan sela dari Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Bengkalis, yang membatalkan Surat Keputusan (SK) pemecatan terhadap empat orang Anggota Fraksi Golkar DPRD Bengkalis.
Sekretaris DPD Golkar Riau Indra Gunawan Eet menyayangkan putusan sela yang dikeluarkan PN Bengkalis ini. Mantan Ketua DPRD Riau ini menilai putusan yang dikeluarkan PN Bengkalis sudah mencederai hukum tata negara di Indonesia.
Kata dia, DPD Golkar Bengkalis di bawah kepemimpinan Syahrial, sebenarnya sudah menuntaskan semua tanggungjawabnya, berdasarkan instruksi kepartaian. Ia menyebut, proses PAW ini atas perintah DPP, semua dilakukan berjenjang dengan alat bukti kuat.
"Mulai dari kabupaten, provinsi sampai ke pusat. Aneh juga kalau misalnya, putusan ini malah membatalkan itu," kata Indra Gunawan Eet, Jumat (13/10/2023) sore di Pekanbaru.
Pria yang akrab disapa Engah Eet ini menambahkan, Ia tidak mau berspekulasi apakah ini ada intervensi kekuasaan atau tidak. Yang jelas, kata dia, berdasarkan surat dari Mendagri, anggota dewan aktif yang sudah berpindah partai, haknya sudah tak ada lagi.
"Tapi kondisinya, mereka hadir juga dalam rapat paripurna, dalam berbagai kegiatan kedewanan juga masih memakai fasilitas fraksi Golkar," kata Engah Eet.
Wakil Ketua Bidang Hukum Golkar Riau Eva Nora mengaku heran dengan keputusan PN Bengkalis ini. Ia menyebut, putusan ini terkesan dipaksakan. Sebab, dalam tuntutan provisi yang disampaikan para penggugat yaitu Septian Nugraha, Al Azmi, Syafroni Untung, dan Ruby Handoko alias Akok, mereka tidak mengakui bahwa mereka pindah partai.
Padahal secara de facto, mereka sudah pindah ke partai lain, dibuktikan dengan munculnya nama mereka dalam Daftar Caleg Sementara (DCS) PDI Perjuangan. "Mereka minta PN mengabulkan provisi itu, supaya SK DPP (tentang pemecatan) tidak berlaku, tidak sah, dan tidak boleh ditindaklanjuti," ujar Eva Nora.
Eva menjelaskan, dalam aturan tentang partai politik, tegas dinyatakan bahwa yang berhak memberhentikan Anggota dewan adalah partai politik, yang mana pimpinan partai politik adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.
"Kewenangan memberhentikan anggota dewan itu Ketua umum dan Sekjend, apabila sudah diberhentikan, mereka tidak boleh lagi mengatasnamakan kader Partai Golkar lagi," kata dia.
Lanjut dia, dalam proses peradilan perdata, lanjut Eva Nora, ada upaya mediasi. Dan keputusan mediasi ini disampaikan oleh majelis hakim pada sidang terakhir, dan sudah ditunjuk hakim mediator. Upaya mediasi ini diputuskan oleh majelis hakim dengan syarat tidak boleh lebih dari satu kali.
Keputusan ini diambil oleh majelis hakim kala itu, karena masih ada keraguan, apakah persoalan ini memang betul Perbuatan Melawan Hukum (PMH) seperti yang digugat, atau hanya sengketa partai politik. Sebab, dalam UU partai politik, sengketa politik harus diselesaikan di Mahkamah Partai, bukan di Pengadilan umum.
"Diberi waktu satu minggu untuk mediasi, tapi penggugat tidak mau mediasi, dan saat jadwal mediasi itu, yang bersangkutan statusnya sudah DCS di partai lain," tambahnya.
Puncaknya, pada tanggal 10 Oktober 2023, PN mengeluarkan dan membacakan putusan sela bahwa gugatan yang dilayangkan penggugat diterima, dan SK DPP Partai Golkar dianggap tidak sah.
Saat pembacaan putusan itu, lanjut Eva Nora, pihaknya tidak hadir karena pihaknya menunggu hasil koordinasi antara DPD Golkar Riau dengan DPP Golkar, karena upaya mediasi tidak berhasil.
"Ternyata tanggal 10 Oktober itu, majelis hakim mengabulkan gugatan mereka, putusan sela nya adalah, agar SK yang dikeluarkan DPP Golkar batal demi hukum, sampai ada kekuatan hukum tetap," tuturnya.
Harusnya, kata Eva Nora, majelis hakim terlebih dahulu menyampaikan hasil mediasi, bukan malah tiba-tiba mengeluarkan putusan sela. "Kami bukan suuzon, tapi kami melihat majelis hakim sudah melakukan dugaan pelanggaran hukum acara, semestinya dalam hukum acara perdata, saat pembacaan gugatan diberi kesempatan kepada tergugat untuk melakukan klarifikasi," tuturnya.
Oleh karena itu, Eva Nora menilai majelis hakim tidak adil dan tidak profesional karena tak memberi kesempatan pihaknya memberi jawaban. "Kami akan berkoordinasi dengan pimpinan di atas, agar ini tidak terjadi lagi kedepannya di daerah lain. Ini putusan yang prematur," kata dia.
Penulis | : | Delvi Adri |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Politik, Hukum, Kabupaten Bengkalis |











































01
02
03
04
05



