Karena rasa peduli yang tinggi dan kasihan akan nasib gajah-gajah di Riau, Solfarina dan RSF bertekad menjadi penyelamat bagi hewan yang terancam punah tersebut. Kini serangkaian program mereka jalankan demi menjaga harmoni manusia dan gajah, serta rimba raya. Solfa saat berpose bersama gajah di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Minas, Siak, Provinsi Riau, Jumat (6/10/2023). FOTO: Yusni Fatimah Lubis
- Solfarina, (40 tahun) bersama rekan-rekannya di Rimba Satwa Foundation (RSF) berhasil meminimalisir konflik gajah dengan manusia di kantong Suaka Margasatwa (SM) Giam Siak Kecil (GSK) dan SM Balai Raja Bengkalis, Provinsi Riau. Konflik gajah dan manusia di area-area ini berkurang pesat sejak dijalankan program pemasangan GPS Collar pada gajah.
- Awalnya penolakan warga kepada Solfarina dan RSF sangat kerap terjadi, karena merasa hanya gajah yang dipedulikan, sementara kebutuhan warga di-nomorduakan. Mereka diusir, hampir diikat, hingga mobilnya nyaris dibakar.
- Sekarang 32 desa menjadi bagian dari kepedulian terhadap Gajah Sumatera. Program Agroforestri menjadi salah satu ‘penengah’ konflik gajah dan masyarakat.
- Warga telah paham konsep konservasi gajah dan bersama-sama dengan RSF, serta PT Pertamina Hulu Rokan, ikut menjaga pelestarian alam dan Gajah Sumatera yang keberadaanya di ambang kepunahan.
BEGITU matahari mulai condong ke Barat, Solfarina dan suaminya, Zulhusni Syukri akan bergegas menuju rimba raya. Menyusuri liku semak hingga ke belantara Hutan Talang wilayah Duri, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Sepasang suami istri itu akan mengikuti jejak-jejak Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) hingga ke wilayah Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja di Hutan Talang.
Berjalan berkilo-kilometer dilakukan pasangan ini untuk memetakan lokasi gajah-gajah yang ada di hutan tersebut. Juga untuk mengidentifikasi hewan yang telah dinyatakan oleh The IUCN Red List of Threatened Species sebagai Critically Endangered, beresiko tinggi punah di alam liar.
Kekinian, mereka bersama rekan lainnya di Rimba Satwa Foundation (RSF), lembaga konservasi yang mereka dirikan sejak 2016, akan patroli bersama warga setempat. Mencegah gajah merusak tanaman dan rumah mereka.
Tak jarang, mereka ‘bergerilya’ di rimba raya untuk menemukan gajah yang sakit, lalu diberi perawatan oleh dokter yang ikut dalam rombongan.
Solfarina, sebagai salah satu founder dan rekannya di RSF benar-benar mengasihi dan mengurusi kelangsungan hidup satwa yang oleh Kementerian Lingkungan Hidup telah ditetapkan sebagai satwa dilindungi dengan Permen Lingkungan Hidup dan kehutanan No.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.
Padahal mereka bukan petugas di hutan. Bukan pula ahli konservasi. Tapi rasa kasihan dan keinginan menyelamatkan membuat Solfarina dan rekan-rekannya di RSF terus memaksimalkan pengetahuan tentang gajah.
“Kami tersesat, tapi di jalan yang benar,” kata Solfa, sapaan akrabnya, Senin (9/10/2023).
Maksudnya, tak ada satu orang pun di antara anggota RSF yang memiliki ilmu dasar konservasi ataupun Biologi. Mereka adalah sekumpulan orang muda dari latar belakang beragam dengan satu tekad: menyelamatkan gajah di Riau.
“Kami harus melakukan sesuatu untuk gajah. Kami pun belajar. Saya awalnya guru BK (Bimbingan Konseling). Ada rekan lain yang lulusan kelistrikan. Tidak ada dari (yang paham) konservasi. Tapi keinginan kita kuat,” ungkap wanita yang baru saja menggenapkan usianya yang ke-40 tahun di 18 Oktober kemarin.
Upaya RSF menyelamatkan Gajah Sumatra di Riau, tepatnya di SM Balai Raja dan SM Giam Siak Kecil mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Solfa dan suami adalah dua sosok yang aktif membangun jaringan dengan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Dua lembaga ini juga menjadi “guru” bagi anggota RSF soal memahami gajah.
Kemudian, ada juga bantuan yang tak kalah penting dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dalam upaya menyelamatkan gajah-gajah di kantong SM Balai Raja dan Giam Siak Kecil.
“Kita belajar. Kembangkan link, koneksi. Mengasah, meningkatkan kapasitas di internal. Hingga sekarang bisa bekerjasama dengan PHR,” cetus Solfa menjelaskan, sesekali ia merapikan jilbabnya.
Kini, konflik gajah dan manusia di dua kantong SM tersebut telah turun drastis hingga 90 persen. Warga juga sudah paham bahwa gajah bukanlah hewan hama yang harus dibasmi. Warga bisa hidup berdampingan dengan penguasa rimba yang kini semakin terpinggirkan itu.
Gajah-gajah Terluka di Rimba
Solfa dan suami adalah pecinta alam sejati. Rasa cinta dan kepedulian inilah yang mengantarkan mereka ke jalan yang sekarang. Menjadi penyelamat gajah beserta habitatnya. Rajin mengkampanyekan pentingnya ekosistem hutan dan populasi di dalamnya.
Awalnya, mereka berdua aktif di Himpunan Pegiat Alam (Hipam), sebuah kelompok pecinta alam (KPA) di Duri, domisili mereka. Keduanya bermastautin di Duri setelah resmi menjadi suami dan istri. Merantau dari Padang, Sumatra Utara ke Bumi Melayu Riau.
Suatu ketika, saat menjelajah rimba raya sekitar tahun 2014 silam, mereka bersama anggota Hipam lainnya, bersua dengan gajah betina yang kondisinya sakit parah. Ada infeksi mengerikan di dadanya. Kanker payudara menggerogoti tubuh hewan bongsor itu.
“Sangat kasihan melihatnya. Tangan dokter bahkan bisa masuk sampai ke dalam luka di dadanya, sudah busuk,” terang Solfa.
Gajah yang belakangan diberi nama Gina itu tak bisa bertahan hidup lama.
Rasa kasihan yang besar membuat Solfa gelisah berketerusan. Ditambah lagi dalam perjalanan mereka yang lain ia bertemu lagi dengan gajah lain yang kondisinya juga menyayat hati. Kakinya membusuk parah hingga membuatnya pincang. Di kemudian hari, gajah itu dinamai Dita.
“Berkali-kali jumpa gajah sakit. Ada yang pontong kaki kiri, pontong kaki kanan. Buntung ekor dan lainnya,” kenang Solfa dengan suara pelan.
Dituturkannya lagi, gajah-gajah di SM Balai Raja dan SM Giam Siak Kecil mereka identifikasi dan beri nama berdasarkan kondisi dan kebiasaan hewan berbulu abu itu.
Solfarina menguraikan tentang program RSF dalam upaya konservasi gajah yang tak lepas dari bantuan PT PHR, Jumat (6/10/2023). Foto: Yusni Fatimah Lubis
“Ada gajah Codet, Getar, Rimba, Seruni,” Solfa mulai mengulas.
Katanya, gajah Dita diberi nama itu karena sering ditinggal taruih (terus) oleh kelompoknya, sebab kakinya yang pincang membuat dia sulit berjalan.
“Yang sering menemani Dita adalah gajah Seruni dan anaknya Bara. Seruni mendapat namanya karena dia sering berkeliaran di daerah bernama Semunai dan Duri. Sedang anaknya diberi nama Bara karena sering berada di daerah Balai Raja,” urainya.
Sedang gajah Codet mendapat nama itu karena ada luka di wajahnya bekas berantem dengan gajah jantan lainnya. Gadingnya putus karena berkelahi.
“Ada juga Pongka karena kakinya pontong kanan dan ada Pongki yang pontong kaki kiri,” katanya lagi, masih tersenyum saat menjelaskan.
Sejurus kemudian Solfa terdiam.
“Kasihan habitat mereka sudah hancur,“ kata wanita cantik ini kemudian. Nadanya datar tapi tersirat rasa geram pada intonasinya.
Wajahnya mulus dengan gigi rapi dan putih. Wajar ibu dari tiga anak ini pernah dinobatkan sebagai salah satu 7 Brave Beauties versi Wardah. Salah satu brand kosmetik besar di Indonesia.
Ketiga buah hatinya sudah terbiasa mengikuti kegiatan ayah ibunya di alam. Saat Solfa dan suami harus masuk hutan untuk mengurusi gajah, anak-anaknya akan dibawa serta. Suaminya tak melarang.
“Kita kan biasanya bawa tenda. Akrab mereka dengan oom-oom-nya,” jelas Solfa terkait anaknya yang tak asing lagi dengan pekerjaan mulia kedua orang tua mereka.
Bahkan yang bungsu, belum genap usia 3 tahun, sudah pernah diajak ibu bapaknya mendaki gunung di Provinsi Jambi. Saat itu umurnya baru 7 bulan.
“Yang nomor dua kini kelas 4 SD. Si sulung duduk di bangku kelas 2 SMP. Sudah besar, sudah susah kalau mau diajak-ajak ikut dengan ibunya (ke hutan),” ungkap Solfa sembari tertawa renyah.
Rimba Satwa Foundation Menjaga Gajah dan Rimba
Rasa kasihan pada gajah dan keinginan untuk tak tinggal diam membuat Solfa membulatkan tekad menjadi penyelamat gajah-gajah di Riau.
“SM Balai Raja yang awalnya seluas 15.000 hektar sekarang sisa 200 hektar saja. Jauh sekali degradasi hutan," jelas Solfa sembari membuat gesture mengangkat tangan, mengisaratkan untuk ikut membayangkan kerusakan hutan itu.
Dengan tekad kuat, Solfa yang sama sekali tidak memiliki basic terkait alam dan lingkungan terus melangkah untuk menyelamatkan gajah-gajah di rimba sekitar kota tempat tinggalnya.
“Saya dulu kuliah di jurusan Bimbingan Konseling (BK) Universitas Negeri Padang,” jelasnya.
Dia juga sempat menjadi guru BK hingga beberapa waktu lamanya. Di SMAN 3 Mandau dan di SMKN Mandau.
Solfarina bersama tim RSF memberikan edukasi terhadap siswa di sekolah-sekolah di Duri tentang pentingnya konservasi gajah dan hidup berdampingan dengan tetap menjaga alam. Foto: Dokumentasi RSF
Kala masih menjadi guru, selesai menunaikan tugas di sekolah, barulah ia bersama sang suami yang saat itu memiliki usaha jasa pasang audio mobil, beranjak ke hutan.
“Ada gak ada duit, yang penting jalan, masuk hutan. Mengurusi gajah,” kenangnya.
Namun di akhir tahun 2016, Solfa harus mundur dari profesi guru karena ingin lebih memperhatikan nasib gajah-gajah liar di Duri.
Di tahun yang sama, 8 April 2016, Rimba Satwa Foundation (RSF) resmi berdiri. Ketuanya adalah suami Solfa, Zulhusni Syukri, Ade Kurniawan sebagai Sekretaris, dan Solfa sendiri sebagai bendahara.
Solfa menegaskan, ia rela meninggalkan profesi guru demi alam dan gajah, sebab rasa kasihan yang dalam.
“Karena rasa kasihan terhadap gajah-gajah itu. Berawal dari rasa sedih, kasihan. Apa yang bisa kita perbuat untuk menolong gajah-gajah itu,” katanya lagi mengenang awal-awal keputusannya terjun ke dunia konservasi gajah.
Bersama suami mereka fokus mengembangan RSF. Memperdalam ilmu tentang konservasi. Belajar otodidak dan membangun relasi seluas-luasnya.
Namun, tak semuanya bisa berjalan beriringan. Harus ada yang terpaksa dilepas saat hendak total dalam satu hal.
“Usaha suami tak ter-cover lagi. Sampai bangkrut di sekitar tahun 2017-2018. Kita tutup toko dan fokus di RSF. Harus ada yang diikhlaskan,” katanya.
Di RSF, anggotanya bertugas memetakan, hingga membuat kalenderisasi waktu-waktu gajah melintas di daerah tertentu.
“Kita juga perbanyak link. Belajar dari WWF. Belajar terus. Setelah berkembang, kita mengajak kawan-kawan lain yang belum memiliki pekerjaan untuk terlibat di beberapa proyek kita,” jelas Solfa.
Saat ini, anggota RSF yang bergaji ada 16 orang, dengan jumlah volunter mencapai 100-200 orang yang terdiri dari mahasiswa, seniman, guru, pekerja media, dan banyak lainnya.
“Sekarang volunter kita bukan dari Indonesia saja. Ada dari Jepang, Swiss, “ tambahnya.
“Kami di Duri adalah salah satu pencetus yayasan berbasis lingkungan di tingkat tapak. Setelah RSF, kawan-kawan lain juga tergerak untuk membuat yayasan-yasan baru. Muncullah beberapa yayasan-yayasan lokal lagi di Duri,” sebut Solfa. Ada nada bangga dalam tuturnya.
Dia mengaku mengapresiasi semangat rekan-rekan seperjuangannya dalam menjaga satwa dan rimba.
“Kami itu sebenarnya satu. Orang-orangnya masih kenal satu sama lain. Sering kerjasama dalam proyek. Kami sering kumpul. Sama-sama orang yang peduli lingkungan, alam,” jelasnya lagi.
Dia mengulang rasa bangganya atas RSF yang telah menginspirasi orang lain untuk berbuat hal yang sama.
“Itu artinya, kampanye kita berhasil mengajak orang-orang untuk semakin peduli terhadap gajah dan alam,” simpulnya.
Tantangan, Mau Diikat Mobil Nyaris Dibakar
Dalam menjalankan program, tim RSF harus menghadapai beragam tantangan, baik di internal dan eksternal.
“Di awal kita harus banyak belajar karena anggota RSF tak ada yang berbasis konservasi, biologi, atau sejenisnya. Kami belajar otodidak, mengadakan pelatihan-pelatihan di internal. Meng-upgrade diri terus, belajar terus. Tantangan tapi nikmat,” ungkap Solfa.
Tantangan lain adalah masifnya penolakan dari masyakarat, karena menganggap RSF adalah sekumpulan orang pecinta gajah yang hanya peduli pada gajah dan abai pada manusia. Di mata mereka, gajah adalah hama.
“Dulu kita saat berupaya beri edukasi ke masyarakat banyak ditolak, karena kita dianggap selaku pemerhati gajah, dan gajah itu hama. Jadi kita diibaratkan hanya memperhatikan gajah, sementara manusianya dibiarkan,” kenang Solfa.
Solfa juga menceritakan pengalaman mencekam saat berhadapan dengan warga penjaga lahan milik masyarakat.
“Paling parah, kami diusir, mau diikat. Saat itu kami masih KPA (Kelompok Pecinta Alam). Ada lahan warga yang masuk di kawasan SM Balai Raja. Namanya lahannya tak mau diusik, marahlah, sampai kami ditahan, mau diikat,” katanya berkisah.
Katanya, saat itu yang ada di lapangan adalah suaminya, Husni, dan rekan-rekan. Saat di Giam Siak Kecil juga ada yang mobilnya nyaris dibakar.
Dia meniruan kata-kata penduduk saat itu : “Kalian tak diperlukan lagi di sini, bawalah gajah-gajah kalian itu. Tak ada yang percaya sama kalian, udahlah, tak usah ke sini-sini lagi. Bahaya nanti kalau kalian ke sini,” ungkapnya menirukan.
Penolakan itu ada yang datang dari pemilik lahan, masyarakat desa di perlintasan gajah, hingga penjaga lahan kebun sawit.
Mereka menolak karena salah satu alasannya adalah trauma. Ternyata, sebelum-sebelumnya, orang-orang yang datang menemui mereka hanya untuk mengambil foto-foto lahan mereka, tanpa memberi solusi soal gajah yang melintasi lahan atau rumah mereka.
“Tak berdampak bagi kami. Tak ada gunanya,” ketus warga, seperti ditirukan Solfa lagi.
Gajah Lewat, Warga Lega
RSF saat ini sudah masif memberi penyuluhan, bantuan moril, hingga keterlibatan langsung dengan warga yang rumah dan lahannya berada di rute lintas gajah. Kini, saat kelompok gajah akan lewat, warga tak perlu cemas seperti dulu lagi. Mereka bisa lega dengan pengetahuan yang sudah mereka dapatkan berkat bantuan RSF dan PHR.
Selain langsung mengedukasi warga, RSF, dimotori Solfa yang juga Manager Conservation Education RSF, kerap mengedukasi siswa-siswa sekolah di Duri terkait pentingnya pelestarian gajah.
Melakukan hal ini tentunya akan membawa kenangan saat masih menjadi guru di masa silam. Memberi pemahaman kepada para generasi muda akan pentingnya pelestarian alam.
Kesadaran akan pentingnya kelestarian hutan, pepohonan hingga ekosistem di dalamnya bagi kehidupan memang sangat perlu ditingkatkan di masyarakat sejak dini.
Hutan memiliki peran penting dalam pengentasan kemiskinan dan dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Bahkan, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan 21 Maret sebagai Hari Hutan Internasional. Perayaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pentingnya hutan.
Peringatan ini juga mendorong masyarakat untuk terlibat dalam upaya-upaya pelestarian hutan demi kehidupan bumi yang lebih baik.
Hutan menutupi lebih dari 30% daratan bumi dan menjadi sumber dari beragam jenis kayu, makanan, dan tumbuhan obat-obatan. Sekitar 1,6 miliar penduduk dunia bergantung pada hutan sebagai mata pencaharian dan tempat tinggal mereka. Hutan adalah ekosistem yang paling beragam secara biologis di darat, rumah bagi lebih dari 80% keanekaragaman hayati darat dunia, termasuk spesies yang terancam punah dan endemik, termasuk Gajah Sumatra.
Peran hutan lainnya yaitu sebagai penghasil oksigen dan air bagi manusia. Hutan menjaga keanekaragaman hayati planet ini dan bertindak sebagai pertahanan alami terhadap perubahan iklim.
Sambutan kepada RSF sekarang sudah sangat positif. Baik saat memberi sosialiasi ataupun patroli gajah. Bahkan masyarakat sendiri sudah sangat paham harus berbuat apa saat ada gajah yang mendekati pemukiman atau lahan pertanian.
“Kita rutin patroli bersama masyarakat, 10 hari per bulan. Kita stay bersama masyarakat, baik itu siang, pagi, sampai tengah malam. Tim kita tinggal di rumah mereka,” terang Solfa terkait program pendampingan RSF terhadap warga terdampak perlintasan gajah.
Dia sendiri mengaku hanya bisa ikut patroli untuk 1-2 malam saja.
“Karena pertimbangan anak. Biasanya suami ikut juga. Saya pulang duluan, suami stay. Tapi kalau tim patroli dan manajer program, itu bisa sampai seminggu hingga 10 hari. Tergantung kebutuhan,” jelasnya lagi.
Bila masyarakat minta bantuan, tim RSF langsung turun. Hingga akhirnya dipasanglah Global Positioning System (GPS) Collar pada gajah.
Tim RSF bersama pihak-pihak terkait berfoto bersama saat pemasangan GPS Collar kepada gajah liar. Foto: Dokumentasi RSF
Penanganan konflik gajah dan warga semakin membaik dengan terpasangnya GPS Collar pada gajah-gajah di dua kantong SM itu.
“Dulu sebelum pasang GPS Collar, kadang-kadang kecolongan. Berjaga sampai malam, ternyata gajah datang subuh. Saat itu kita ikut bantu memblokade gajah. Nah di sinilah warga semakin percaya kepada RSF. Mulai menerima,”terang Solfa.
Setelah ada GPS, tim RSF bisa memberi peringatan dini ke masyakarat terkait posisi gajah agar dilakukan blokade dan siaga. Collar ini per 2 jam akan mengirimkan signal penentu kordinat. Bila kelompok gajah akan melintas warga sudah siaga dan bisa menjauhkan dari pemukiman atau perkebunan warga.
GPS Collar ini adalah bantuan dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) sebanyak 3 unit.
“Sebelumnya sudah ada 2 unit yang juga bantuan operator lama,” jelasnya lagi.
“Untuk menginformasikan posisi gajah, kita infokan di grup WhatsApp. Grup tersebut ada dua, per kantong populasi,” beber Solfa.
“Sekarang konflik gajah dan manusia telah menurun drastis, hingga 90 persen. Sudah berkurang jauh, walau belum sampai 100 persen. Yang dulunya masyarakat takut-takut meninggalkan kebunnya bila mau keluar kota, sekarang sudah bisa tenang,” kata Solfa sembari tertawa.
GPS Collar dipasangkan di satu ekor gajah dalam kelompok, yang merupakan ketua kelompok gajah, yakni seekor betina dewasa. Yang tidak tumbuh lagi badannya, agar tidak menyakiti gajah. Di SM Balai Raja yang dipasangi GPS Collar adalah Codet.
Saat ini, populasi gajah di SM Giam Siak Kecil 50-60 ekor. Sedangkan di SM Balai Raja tinggal 2 ekor gajah. Dulu ada Seruni, Dita, dan Bara. Karena Dita telah mati, tinggallah Seruni dan Bara saja.
“Habitat di Balai Raja sudah parah. Ada perusahaan yang sengaja membangun parit gajah sebesar 5-6 meter yang memang sengaja agar gajah tak bisa lewat. Karena barier gajah ini, gajah-gajah betina tak bisa lewat. Yang bisa hanya jantan. Saat ini gajah jantan Codet bisa bolak balik Balai Raja-Giam Siak Kecil untuk kawin. Biasanya per 3 bulan, dengan melintasi terowongan gajah di tol Riau,” urai Solfa.
Diterangkan Solfa lagi, bersama PHR, RSF juga menjalankan program konservasi berbasis masyarakat, yakni Agroforestri di desa yang menjadi lintasan gajah.
“Program Agroforestri dimulai sejak tahun 2021, yang fokus kepada masyarakat dan gajah,” jelasnya.
Warga binaan dan para fasilitator program Agroforestri berfoto bersama di depan fasilitas pembibitan di kawasan Balai Raja, bersama perwakilan RSF dan PT PHR. Foto: Dokumentasi RSF.
Agroforestri untuk gajah, bentuknya pembinaan habitat berupa pengayaan pakan, yakni menanam tanaman yang disukai gajah seperti Rumput Odot, Bambu, dan Nangka di daerah lintasan makan gajah.
“Juga melakukan penggaraman, yakni menambah garam (mineral blok) di tanah Hutan Talang untuk dimakan gajah dan satwa lainnya. Gajah akan memakan tanah itu. Fungsinya untuk memperkuat tulang, gigi, dan kuku,” jelas Solfa.
Sedang untuk masyarakatnya, yakni menanam tanaman yang tidak disukai gajah, tapi bernilai ekonomi tinggi untuk masyarakat. Bibit pohon yang dipilih tidak sembarangan, tapi sudah melalui suvei.
“Gunanya untuk mitigasi konflik dan pemulihan habitat sekaligus. Contohnya penanaman Pohon Jengkol, Pete, Matoa, Kopi, Kakao, dan Pinang,” jelasnya.
Hingga saat ini total sudah tertanam 224,5 hektar lahan di Balai Raja dengan tanaman kehidupan. Itu mencakup 32 desa.
“Kita kerjasama dengan warga yang terdampak konflik. Di jalur jelajah gajah. Kita beri bibit, membantu menanam, perawatan, dan memonitoring pakai aplikasi SMART per 2 bulan,” jelas Solfa.
Baca: PHR Kembangkan Agroforestri; Ekonomi Masyarakat Meningkat, Gajah Selamat
Perkembangan setiap pohon bisa dipantau di website RSF.
Diterangkan Solfa juga, antusiasme masyarakat sangat tinggi terhadap Program Agroforestri ini. Banyak petani lain yang belum mendapat bantuan bibit bertanya kapan giliran mereka.
Penanaman tanaman kehidupan ini memang tidak serta merta langsung bisa dipanen, butuh waktu untuk menghasilkan.
Namun langkah ini akan sangat signifikan ke depannya, karena lambat laun bisa memperbaiki habitat gajah.
Sebab, kata Solfa, bila dilihat, angka konflik tinggi karena perubahan habitat gajah. Habitat mereka sudah sangat dikuasai manusia dan manusianya seakan tidak memikirkan makhluk lain.
Perihal kerusakan hutan dan habitat gajah, Solfa menilai adalah hal yang kompleks dan harus jadi atensi semua pihak. Benar, pembangunan dan kemajuan perekonomian warga hingga ke pelosok desa sangat dibutuhkan demi kesejahteraan masyarakat, namun, penghuni alam ini bukan hanya manusia, ada hewan dan tumbuhan yang juga makhluk Tuhan.
“Untuk pemerintah, seharusnya pembangunan dikaji lebih awal soal dampak lingkungan terhadap habitat satwa yang ada di lokasi. Perlu kajian bersama para pihak. Karena ada pihak-pihak lainnya, misalnya yang lebih tahu dan paham tentang lingkungan. Ajak mereka kerjasama untuk menentukan arahan kebijakan pembangunan,” pesan Solfa.
Selanjutnya, kepada masyarakat, Solfa berpesan agar bisa berbagi ruang dengan gajah dan satwa lainnya.
“Karena yang bisa memikirkan itu adalah kita manusia, gajah tak bisa. Kita yang punya akal dan fikiran, punya perasaan dan empati, hati dan akal. Jangan rampas habis-habisan hak-hak satwa,” pintanya.
Terakhir, untuk perusahaan, Solfa menilai karena perusahaan punya kepentingan, maka harus punya tanggungjawab.
“Bertanggungjawab di area yang merupakan kekuasaan perusahaan. Hak-hak satwa tolong dicukupi, hutan alami tolong diperbanyak,” harapnya.
Hidup Berdampingan
Salah satu penerima manfaat tanaman kehidupan program Agroforestri, Suparto, mengaku sangat bersyukur mengenal Solfarina dan RSF.
Kini, Suparto dan warga Desa Pinggir, Duri, Bengkalis, tak lagi menganggap gajah sebagai hama.
Ia dan warga Desa Pinggir kini bisa hidup berdampingan dengan hewan berbelalai itu.
Suparto bersama 12 orang lainnya bergabung dalam Kelompok Tani Hutan Alam Pusaka Jaya. Kelompok Tani ini terbentuk Januari tahun 2022 lalu.
“Saya dipercaya sebagai Sekretaris kelompok tani kami. Anggotanya masih warga yang satu RW (Rukun Warga). Kami diberi bibit pohon oleh RSF dan PHR,” jelas Suparto, Ahad (22/10/2023).
Pria 52 tahun ini menuturkan, sebelum kelompok tani ini terbentuk, warga desa mereka sudah lama mengenal RSF. Mereka sering diajak kumpul untuk mendengarkan sosialisasi dari RSF tentang pentingnya menjaga alam dan kelangsungan hidup satwa, termasuk gajah yang sudah di ambang kepunahan.
“Awalnya kami seiring diajak kumpul. Diajak ikut kegiatan-kegiatan RSF, seperti penyuluhan dan lainnya. Sekian lama, RSF mengajak untuk membentuk kelompok tani hutan,” jelasnya.
Kita diberi bibit pohon yang tidak disukai gajah tapi bernilai ekonomi untuk petani. Nanti hasilnya untuk kita sendiri.
Suparto sendiri memiliki luas lahan 2 hektar yang kini ditanami pohon Petai, Jengkol, Gaharu, Matoa, hingga Coklat dan Durian.
“Banyak jenisnya. Saat ini belum ada yang menghasilkan, umurnya baru satu tahun setengah,” ujarnya.
Suparto juga menjelaskan bagaimana dulu kebun karet miliknya dan warga lainnya yang benar-benar hidup di lokasi perlintasan, sempat dirusak gajah.
“Ada yang patah pohonnya. Dirusak, tapi tidak banyak kalau saya. Perlintasan gajah itu jaraknya sekitar 1 km dari rumah saya. Tak jauh dari jalan tol (Trans Sumatra),” ungkapnya.
Sekarang bisa hidup berdampingan. Menghalau gajah sudah tidak menggunakan mercon, yang bisa melukai gajah.
Dia juga mengakui, awal RSF mengajak membentuk kelompok tani, mereka sempat takut bila nantinya ternyata kebun mereka di-hutankan lagi. Dijadikan hutan milik negara.
“Tapi ternyata gak. Tujuan kelompok tani ini adalah supaya bisa hidup berdampingan dengan gajah lah. Dia tidak merusak, bisa berhenti di tempat (lahan) kita, bisa berteduh, “ urai Suparto.
Anggota Kelompok Tani Hutan Alam Pusaka Jaya ada 13 orang yang mendapat bantuan bibit dari PT PHR dan RSF.
“Harapan saya terhadap RSF dan PHR ke depannya agar kelompok tani bisa diperhatikan lagi. Mau jenis usaha yang bagaimanapun yang penting ada kegiatan dan yang bisa menghasilkan,” pintanya.
Dia juga meminta, atau tepatnya mengusulkan agar ada bantuan dari PT PHR dan RSF ke arah lain lagi.
“Semoga bisa dibantu lagi agar taraf kehidupan bisa bertambah baik,” ulangnya.
Kepedulian PHR Raih Apresiasi
Kepedulian PHR dalam konservasi Gajah Sumatra sangat berdampak terhadap kehidupan masyarakat yang berada di jalur perlintasan gajah, juga terhadap populasi gajah sendiri.
Dengan menggandeng RSF, tujuan PHR mencegah kepunahan gajah dan berkontribusi pada pelestarian rimba raya, semakin jelas outputnya.
Diungkapkan Pinto Budi Laksono, Manager Corporate Social Responsibility PHR, program konservasi gajah adalah salah satu tanggungjawab lingkungan PHR yang erat kaitannya dengan konservasi keanekaragaman hayati.
“Latar belakanganya karena di sekitar wilayah kerja Rokan ini ada beberapa kasus konflik Gajah. Di Duri, tak jauh dari perumahan Pertamina ada SM Balai Raja. Hutan Talang, hidup gajah-gajah liar. Kami melihat konservasi gajah dan Migas bisa berdampingan. Untuk gajah liar kita kerjasama dengan RSF, yang fokus dengan konservasi gajah di Duri,” jelasnya, Jumat (6/10/2023).
Pinto Budi Laksono, Manager Corporate Social Responsibility PHR, menjelaskan tentang program konservasi gajah yang dilakukan perusahaan, Jumat (6/10/2023). Foto: Yusni Fatimah Lubis
Sedang untuk mitigasi konflik antara satwa dan masyarakat, PHR menyediakan GPS Collar untuk tracking dan monitoring gajah.
“Sudah ada 5 GPS Collar yang kita sediakan, yang dipasang di kelompok gajah. Dua tahun setelah kerjasama RSF, terjadi penurunan signifikan konflik antara gajah dan masyarakat,” tambahnya.
Katanya, sejak menggunakan GPS Collar, 43 dari 50-an konflik setahun terakhir bisa diredam. Lebih dari 90 persen.
“Kita ada juga pemulihan habitat gajah, pengayaan pakan gajah. Selain itu, kita juga menjalankan program Agroforestri dengan teman-teman di RSF sebagai mitra pelaksananya. Selama ini orang bertanya kok cuma gajahnya yang dipikirin, masyarakatnya gak. Jadi kita pikirin dua-duanya. Dengan teman-teman RSF, kita ada nursery, pembibitan tanaman yang disukai dan tidak disukai gajah,” jelasnya lebih jauh.
Dengan cara ini, menurutnya, ditemukan win-win solution agar masyarakat bisa hidup dengan baik, dengan mendapatkan nilai ekonomi, dan di sisi lain, gajah juga terkonservasi.
Sebelumnya, Corporate Secretary PHR, Rudi Ariffianto mengutarakan, PHR sebagai perusahaan yang memiliki visi global dan keberlanjutan, memang akan terus turut andil dalam menjaga konservasi alam dan pelestarian habitat Gajah Sumatra.
Dia mengungkapkan, progam kolaboratif yang dilaksanakan PHR untuk menjaga marwah alam yang terlindungi, salah satunya adalah Program Agroforestri. Program ini bertujuan untuk mendukung ketahanan pangan masyarakat, pemulihan fungsi hutan sebagai habitat satwa dan pengurangan konflik antara gajah dan manusia.
PHR bersama RSF dan didukung BBKSDA Riau akan terus berikhtiar dalam mewariskan alam yang lestari kepada anak cucu negeri nantinya.
“PHR memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga konservasi dan melestarikan alam yang lestari bagi generasi penerus bangsa ini, salah satunya lewat program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PHR di bidang lingkungan tersebut,” ujarnya.
Rudi menjelaskan, Program Agroforestri memiliki manfaat multi dimensi. Selain mendukung pengurangan jejak karbon melalui penanaman pohon, menjaga keanekaragaman hayati, memberdayakan ekonomi masyarakat, juga memperbesar ruang di mana gajah dapat diterima oleh masyarakat.
Program Agroforestri PHR ini telah mendapat apresiasi berupa Trofi Silver CSR Outlook Award 2023 sebagai Best Practice in Environment yang ditaja oleh Olahkarsa dan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), akhir Juli 2023 lalu.
Program ini juga menyabet penghargaan bergengsi Gold Award Kategori Biodiversity Conservation di ajang Indonesia Social Responsibility Award (ISRA) 2023.
Penulis | : | Yusni Fatimah Lubis |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Kabupaten Bengkalis, Serba Serbi, Lingkungan |