Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM
|
Pemuda selalu menjadi sosok penggugah lintas era. Kisah dan determinasinya tak lekang oleh waktu. Tak heran Tuhan menitahkan misi berdakwah kepada para Nabi kala memasuki usia muda. Sesuatu yang wajar dan masuk akal. Mengingat masa muda selalu bersemangat dan energik. Fase puncak kekuatan raga. Berbekal keunggulan tadi jelas banyak potensi melakukan perubahan, perbaikan dan menebar manfaat. Masa muda simbol keterbukaan terhadap hal baru, menantang adrenalin, menguatnya keinginan berkreasi dan berinovasi. Sungguh merugi orang di rentang usia ini lalai dan bermalas-malasan menempa diri.
Pemuda juga identik dengan sikap kritis. Tengoklah pergolakan dunia. Revolusi, tuntutan perubahan dan menyuarakan kebenaran serta melawan kezaliman selalu pemuda aktor utama. Termasuk Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober. Insan muda nusantara berkorban jiwa menentang penjajahan dan kezaliman. Meski disaat sama adapula golongan pemuda memilih menjadi antek penjajah. Selain memantik kesadaran perjuangan kemerdekaan, momen Sumpah Pemuda memberi pengaruh besar kepada gerakan paska kemerdekaan. Diantaranya reformasi yang memperjuangkan anti politik oligarki, dinasti serta praktik kecurangan lain demi hasrat pribadi dan golongan.
Oleh karena itu, sudah seharusnya Negara memandang penting langkah mengikutsertakan pemuda dalam agenda pembangunan bangsa. Apalagi sebagaimana diketahui, Indonesia digadang-gadangkan berada di era bonus demografi. Berhubung hampir separuh populasi penduduk berada di rentang usia produktif. Komposisinya yakni generasi milenial sebanyak 26 persen ditambah generasi Z sebanyak 28 persen.
Riau merasakan kondisi serupa. Tercatat 1,7 juta penduduk Riau terkategori usia muda. Prospek positif menanti jika berkah penduduk usia produktif lebih besar dibanding nonproduktif ini mampu diberdayakan. Untuk itulah di blueprint nasional yakni Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045, Pemerintah meluncurkan slogan visi “Indonesia Emas 2045”. Di tataran implementasi, Pemerintah Daerah (Pemda) dituntut menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) pelayanan kepemudaan. Penyusunan RAD merupakan bagian langkah kolaborasi, sinergi dan koordinasi strategis lintas sektor penyelenggaraan pelayanan kepemudaan antara Pusat dan Pemda, Pemprov dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan internal Pemda. RAD juga pedoman dan tolak ukur pelaksanaan program serta dasar penentuan Indeks Pembangunan Pemuda (IPP).
Keterlibatan
Program negara tentang kepemudaan di atas kertas bisa dibilang cukup banyak. Tapi apakah pemuda aktor utama pembangunan? Melirik mereka hanya sisi kelimpahan pikiran dan tenaga tentu sudah menyimpang dari perjuangan Sumpah Pemuda 95 tahun lalu. Kita tak mau potensi dimaksud sekedar dieksplotasi dan diperas semata menggenjot ekonomi dan menambah pendapatan negara. Menelaah sejarah 28 Oktober, pengorbanan pemuda di masa lampau untuk kepentingan bangsa jangka panjang. Perspektif sama semestinya dipakai. Supaya ada penghargaan sepadan. Dalam konteks partisipasi libatkan mereka. Tanpa keterlibatan, sulit memastikan pengambilan keputusan dan produk kebijakan dapat berpihak sepenuhnya kepada mereka. Setakad ini disini celahnya. Tersaji di hadapan kita peraturan dibuat semena-mena lantas berbuah kritikan. Di level nasional paling panas semisal UU Cipta Kerja yang digugat dan menuai protes banyak unsur terutama elemen pemuda. Abainya negara atas suara dan kritikan pemuda bukan pertanda baik. Sejarah mencatat, ketika pemuda “turun ke jalan” dapat dipastikan sesuatu yang keliru telah terjadi.
Bisa disimpulkan pemuda belum sepenuhnya diposisikan sebagai mitra. Mereka cenderung dilirik jelang kontestasi atau pemilihan seperti saat ini. Menarik simpati dan dukungan pemuda tentu tak salah. Selaku politisi, langkah menggaet dukungan kawula muda sangat bagus. Lagipula kelompok usia ini tak mudah dipengaruhi dan dominan pemilih rasional. Disamping itu, pentas politik negeri sudah diramaikan kalangan pemuda. Terlebih belakangan narasi pemimpin pemuda semakin keras gaungnya di pentas perpolitikan nasional paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal batas usia minimal Capres dan Cawapres. Kami senang saat Ketua MK Anwar Usman mengadili gugatan mengangkat contoh pemimpin muda kayak Muhammad Fatih yang mendobrak Konstantinopel diusia 17 tahun. Begitu pula Sutan Sjahrir yang menjabat perdana menteri di usia 36 yang namanya disebut guna menjustifikasi pemimpin muda. Cuman sangat disayangkan contoh yang disampaikan tidak dalam paradigma konstruktif.
Muhammad Fatih hafal Al Quran umur 8 tahun, rajin puasa sunnah, tak pernah tinggal sholat malam dan amalan sunnah lain serta menguasai berbagai pengetahuan. Kecerdasan dan kesholehannya hasil didikan keras sejak kecil oleh guru yang sholeh. Demikian pula Sutan Sjahrir pejuang muda luar biasa. Beliau pernah mendirikan sekolah bernama Cahaya Universitas Rakyat hasil uang jerih payah sendiri. Muhammad Fatih dan Sutan Sjahrir ditempa kedisplinan, proses panjang dan penuh tantangan. Tidak instan dan modal privilege semata.
Kendati putusan MK membawa angin segar bagi kepemiminan muda, tapi munculnya seorang figur muda sebagai kandidat Wakil Presiden malah menuai respon negatif. Salahnya bukan pada sosok si pemuda. Namun cara yang dipakai dipandang tak elok dan tak sejalan dengan revolusi mental. Satu yang patut dikhawatirkan bilamana etika, norma dan kepantasan diterabas demi memberi “karpet merah”, yang terjadi justru upaya pembusukan terhadap pemuda. Usia muda pada dasarnya tempat idealisme bersarang.
Sebuah hadits Rasulullah bahkan pernah bersabda bahwa “Allah kagum dengan pemuda yang jauh dari sifat shobwah (menyimpang dari kebenaran) (HR. Ahmad). Oleh karenanya sungguh perbuatan buruk manakala mental mereka dirusak lewat tontonan cara-cara culas. Umar bin Khattab RA pernah berucap: “Barangsiapa ingin menggenggam nasib suatu bangsa, maka genggamlah para pemudanya.” Kalau mau merusak bangsa, rusaklah pemudanya. Kembali ke sejarah Sumpah Pemuda, dahulu pemuda berbagai latar belakang berkumpul, bermusyawarah dan bermufakat menyatukan keyakinan dalam kredo satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa. Tujuannya demi kepentingan bangsa. Ironisnya kini musyawarah dan mufakat untuk memuluskan kepentingan kekuasaan dan golongan. Ini ancaman masa depan bangsa. Melahirkan generasi berpola pikir sesat. Mengandalkan kekuatan “orang dalam” daripada skill. Atau generasi skeptis dan minder mengembangkan diri sebab mereka merasa semua percuma. Tohujungnya kalah saing dengan yang punya beking.
Penulis | : | Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |