(CAKAPLAH) - Kebijakan Pemerintah untuk memperbaiki tata kelola hutan dan tata kelola perkebunan sawit masih berada di antara dua dilema antara ingin menyelematkan hutan tersisa di Indonesia yang luasnya mencapai 125,8 juta hektare atau ingin menyelamatkan industri sawit yang masuk tanpa izin dalam kawasan hutan dengan penerapan sanksi denda administratif melalui pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pada sektor kehutanan dan lahan Pemerintah telah menetapkan kebijakan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca untuk mengendalikan perubahan iklim melalui program Nasional “Indonesia’s FOLU Net Sink 2030” yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, dengan target mencapai net zero emission sektor kehutanan dan lahan pada tahun 2030.
Pada sisi lain, lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) telah menciptakan angin segar bagi pelaku usaha tanpa izin dalam kawasan hutan, terutama usaha Perkebunan Sawit, karena pada Pasal 110A dan 110B memberi kemudahan untuk mendapatkan amnesti atau pemutihan bagi usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan yang telah ada sebelum lahirnya UUCK hingga batas waktu 2 November 2023 atau 3 tahun sejak terbitnya UUCK.
Pemutihan yang dimaksud adalah pembebasan pelaku usaha dari jerat sanksi pidana kehutanan dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan maupun Undang-Undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan sebagai gantinya pelaku usaha diwajibkan membayar denda administratif berupa pem-bayaran PSDH-DR (Provisi Sumber Daya Hutan - Dana Reboisasi) untuk kategori Pasal 110A UUCK serta denda administratif pembayaran PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) Kehutanan yang dihitung dengan formula tersendiri untuk kategori Pasal 110B UUCK.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menginventarisasi keberadaan sawit dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta hektare. Luas tersebut setara dengan 20,7 persen dari total perkebunan sawit saat ini yang mencapai 16,4 juta hektare, dimana seluas 6,72 hektare atau 41 persen merupakan perkebunan sawit rakyat dan seluas 9,66 juta hektare atau 59 persen dimiliki oleh perusahaan besar milik swasta dan milik negara.
Hasil inventarisasi KLHK mengonfirmasi juga bahwa sejak Juni 2021 hingga Agustus 2023 telah menerbitkan 14 Surat Keputusan Menteri yang memuat 3.257 subjek hukum pemilik usaha dalam kawasan hutan yang meliputi Perusahaan, Perorangan, Kelompok Tani, Koperasi, dan Pemerintah Desa, Kabupaten/Kota, Provinsi, Pusat. Subjek hukum terbanyak berada di Provinsi Riau, yaitu seluas 723.194 hektar dengan 1.163 subjek hukum yang terdiri atas 491 milik perusahaan, 374 milik perorangan, 250 milik kelompok tani/KUD/Koperasi, 34 milik pemerintahan desa, 12 milik pemerintah Kabupaten/Kota, 2 milik SKK Migas-Pertamina Hulu Rokan.
Dari segi penguasaan sawit dalam kawasan hutan tersebut, ditemukan sebanyak 2,1 juta hektare atau 61,76 persen merupakan perkebunan sawit milik perusahaan besar milik swasta dan milik negara, sedangkan sisanya 1,3 juta hektare atau 38,23 persen adalah perkebunan sawit milik rakyat berupa kepemilikan perorangan, kelompok tani dan koperasi.
Untuk mengimplementasikan ketentuan Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja tersebut, Pemerintah berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Penerapan denda administratif dalam Pasal 110A UUCK ditujukan untuk perkebunan sawit dalam kawasan hutan yang telah memiliki kelengkapan perizinan berusahan, seperti izin lokasi dan izin usaha perkebunan serta sesuai dengan tata ruang, namun belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan. Termasuk juga terhadap perkebunan sawit telah memiliki izin lengkap bidang kehutanan dan Hak Guna Usaha, namun areal perkebunan terkena dampak perubahan tata ruang menjadi kawasan hutan.
Usaha perkebunan Sawit tanpa izin yang termasuk dalam Pasal 110A diwajibkan melunasi denda administratif berupa PSDH-DR. Setelah membayar denda, maka pemilik perkabunan dapat mengurus kembali persetujuan pelepasan kawasan hutan jika berada dalam fungsi hutan produksi, atau persetujuan melanjutkan usaha dan/atau kerjasama jika berada dalam kawasan hutan lindung/konservasi.
Bagi pemilik perkebunan sawit yang tidak membayar sanksi administratif hingga 2 November 2023 maka akan dikenakan denda sebanyak 10 kali lipat dari besaran PSDH - DR dan/atau pencabutan izin lokasi dan Izin Usaha Perkebunan oleh pejabat penerbit izin atas dasar rekomendasi dari KLJ. Jika Izin sudah dicabut, maka penyelesaiannya akan menggunakan mekanisme Pasal 110B.
Sedangkan penerapan denda administratif kategori Pasal 110B ditujukan untuk perkebunan sawit dalam kawasan hutan yang tidak dilengkapi perizinan usaha apapun. Pemilik perkebunan sawit akan dikenakan denda administratif pembayaran PNBP Kehutanan yang didasarkan pada formula, yaitu luas kegiatan usaha, dikali jangka waktu kegiatan, dikali tarif denda yang didasarkan pada asumsi nilai keuntungan bersih per hektare per tahun, dikalikan dengan presentase tutupan hutan dengan asumsi tutupan paling berkisar antara 20 persen hingga 60 persen.
Bagi pemilik perkebunan sawit yang telah membayar denda PNBP Kehutanan akan mendapatkan Surat Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dalam hal areal usaha perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan produksi, atau KLHK akan memfasilitasi kerjasama atau kemitraan dalam hal areal usaha perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan produksi yang tumpang tindih dengan izin usaha di bidang kehutanan, atau pemilik perkebunan sawit diminta mengembalikan penguasaan dan pengelolaan hutan kepada negara dalam hal perkebunan sawit berada di dalam kawasan hutan lindung dan/atau hutan konservasi.
Sebuah simulasi penghitungan denda yang dikeluarkan KLHK menunjukkan bahwa untuk sawit dalam kawasan hutan seluas 10 ribu hektare dengan lama usaha produktif 10 tahun, dan keuntungan bersih per tahun per hektare setara Rp25 juta serta tutupan hutan sebesar 20 persen, maka akan menghasilkan denda sebesar Rp500 miliar. Artinya setiap 1 hektare sawit dalam kawasan hutan akan menyetor ke rekening PNBP Kehutanan sebesar Rp50 juta. Jika diasumsikan semua perkebunan sawit dalam kawasan hutan milik perusahaan seluas 2,1 juta hektare membayar denda, maka negara akan mendapatkan pendapatan dari PNBP sebesar Rp105 triliun, ini belum termasuk denda dari perkebunan milik perorangan, kelompok tani atau koperasi yang luasnya di atas 5 hektare.
Menurut ketentuan UUCK, penerapan amnesti atau pemutihan dengan pembayaran denda administratif PSDH-DR dan PNBP Kehutanan ini akan berakhir pada 2 November 2023 mendatang. Publik perlu mengetahui secara pasti sudah berapa banyak pelaku usaha perke-bunan sawit yang sudah melakukan pembayaran denda administratif, transparansi dan akuntabilitas dari KLHK dinantikan.
Penulis | : | Ahmad Zazali SH MH, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Ekonomi, Cakap Rakyat |