Manusia Robot di depan SPBU Jalan Arifin Ahmad
|
DI BALIK TOPENG, sepasang mata menatap tajam penuh harapan. Sosok itu berdiri tegap di bawah terik mentari, mengais rezeki demi sang istri dan buah hati yang setia menanti kepulangannya. Usia tak lagi muda, namun semangatnya tak pernah surut dalam menjalani profesi unik ini.
Menjadi kepala keluarga bukanlah perkara mudah baginya. Namun, tekad yang membaja membuatnya gigih memenuhi tanggung jawab sebagai seorang ayah. Kerutan di tangan dan kaki tak menyurutkan gairahnya. Ia berliuk lincah dalam balutan kostum robot, menciptakan tarian kecil nan memukau untuk memikat perhatian khalayak.
Tak banyak yang tahu, di balik kostum futuristik itu bersemayam sosok pria berusia 62 tahun yang mengidap asma. Dialah Pak Edi, seorang ayah dari empat anak yang menanggung beban tanggung jawab keluarga di pundaknya.
Sebelum menjadi "manusia robot" yang kreatif ini, Pak Edi pernah menggeluti profesi penjahit di sebuah konveksi di Jakarta. Namun, badai krisis ekonomi 1998 memporak-porandakan usaha tersebut, memaksanya kehilangan mata pencaharian.
Tahun 2013, atas ajakan keponakannya, Pak Edi merantau ke Pekanbaru untuk memulai usaha rumah makan. Sayangnya, bisnis ini pun tak bertahan lama. Melihat keponakannya terpuruk dalam stres akibat kebangkrutan, Pak Edi memutuskan untuk tidak menambah beban. Ia memisahkan diri dan rela menjadi pemulung selama enam bulan demi bertahan hidup.
Semangatnya tak pernah padam. Kata menyerah tak pernah terlintas di benaknya. Ia percaya bahwa di balik setiap kesulitan tersimpan secercah kemudahan. Meski berat, Pak Edi menjalani profesi pemulung dengan ikhlas demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Enam bulan berlalu, harapan baru menyingsing. Dari hasil jerih payahnya sebagai pemulung, Pak Edi mengumpulkan modal untuk berjualan bakso keliling. Namun, perjalanan hidup memang tak selalu mulus. Cobaan kembali menghampiri, ia jatuh sakit dan terpaksa berhenti berdagang.
Namun, Sang Pencipta tak pernah memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Setelah sembuh, Pak Edi dipertemukan dengan seseorang yang memiliki bakat membuat kostum robot. Melihat peluang ini sebagai satu-satunya jalan untuk menyekolahkan anak-anaknya, Pak Edi pun menerima tawaran kerja sama tersebut.
Kini, Pak Edi berdiri tegak sebagai "manusia robot" di depan SPBU di Jalan Arifin Ahmad, Pekanbaru. Penghasilannya berkisar antara Rp75.000 hingga Rp100.000 per hari, yang dibagi dua dengan pemilik kostum. Meski rambut memutih dan tubuh mulai renta, semangat Pak Edi tak pernah pudar.
"Tanggung jawab saya berat. Anak-anak masih kecil, yang paling besar baru SMA. Saya sudah terbiasa hidup susah. Untung ada teman yang mengajak main robot. Pekerjaan apa lagi yang mau menerima saya di usia seperti ini? Mau tidak mau, saya harus menerimanya," ujar Pak Edi dengan mata berkaca-kaca.
Di tengah keterbatasan, Pak Edi tak pernah lupa berbagi. Ia kerap membagikan makanan atau minuman kepada orang yang sudah dianggapnya teman di sekitar SPBU. Setiap hari, mulai pukul 09.00 WIB hingga malam, Pak Edi menjalankan profesinya dengan penuh dedikasi.
"Harapan saya hanya satu, pendidikan anak-anak saya. Semoga saya tetap diberi kesehatan agar bisa terus membiayai pendidikan mereka," ungkapnya penuh haru.
Setiap tetes keringat seorang ayah adalah jengkal perjuangan dan doa. Keteguhannya menjadi pilar kekuatan keluarga yang berjuang dalam senyap. Gagah melawan ombak kehidupan, Pak Edi tetap gigih dan bersemangat memperjuangkan kebahagiaan keluarganya. Meski terkadang tersungkur, ia selalu bangkit, berusaha, dan bersyukur.
Kisah Pak Edi menjadi potret nyata bahwa cinta seorang ayah tak mengenal batas usia dan kondisi.
Penulis | : | Bunga/Zizi |
Editor | : | Unik Susanti |
Kategori | : | Kota Pekanbaru, Riau, Serba Serbi, Ekonomi |