PEKANBARU (CAKAPLAH) - Mantan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Riau, Joni Irwan, dan Masperi, kembali hadir sebagai saksi dugaan korupsi anggaran perjalanan dinas di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Senin malam (12/2/2018). Mereka menyatakan tidak mengetahui adanya pemotongan anggaran pada tahun 2015 dan 2016 lalu.
Kali ini, kedua pejabat itu bersaksi untuk terdakwa Deyu, Kepala Sub Bagian Keuangan di Dispenda Riau.
Kesaksian pertama diberikan Joni Irwan selaku Kadispenda tahun 2013 hingga 2015 di intansi yang saat ini telah berganti nama jadi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau itu.
Joni menyatakan, tidak pernah memerintahkan pemotongan Uang Persediaan (UP), Ganti Uang (GU) maupun Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) kepada bawahannya. Menurutnya, pemotongan itu baru diketahuinya ketika dipanggil oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau.
Joni mengakui pernah memanggil terdakwa Deliana (berkas terpisah) selaku Sekretaris Dispenda ke ruangannya. Saat itu, dia menyampaikan UP dan GU segera cair dan meminta agar dilakukan sesuai ketentuan.
Disinggung tentang adanya permintaan uang untuk pembayaran listrik, dan telepon rumah dinas kepada Tumino, Joni tidak membantahnya. Namun, dia mengaku tidak mengetahui dari mana uang tersebut didapatkan oleh Tumino karena uang itu tak ada dalam DPA.
Majelis hakim yang dipimpin Sulhanuddin juga mempertanyakan tentang uang yang ada dalam brankas.
"Apakah saudara pernah melalukan cek on spot tentang kas Dispenda selaku kontrol sebagai atasan," tanya hakim. "Tidak pernah," kata Joni.
Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Amin, meminta kesaksian dari Masperi yang menjabat Plt Kadispenda setelah Joni Irwan. "Apakah ada pemotongan anggaran di jaman saudara. Apakah ada SPPD fiktif," tanya penasehat hukum Kapitra.
Masperi menyatakan tidak ada. Menurutnya, adanya pemotongan anggaran juga baru diketahuinya setelah mendapat panggilan dari penyidik Kejaksaan Tinggi Riau.
Meski begitu, ia mengaku mendapatkan jatah makan dan minum saat bertugas di Dispenda Riau. "Tidak pernah dapat di tempat sebelumnya. Setelah masuk situ, ada disediakan makanan minum oleh ajudan. Uangnya dari Buk Deyu," kata Masperi.
Namun, kata Masperi, setahu dirinya terkait uang makan, dan Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah ada dalam DPA. Perbulannya sudah ditentukan jumlahnya. "Kalau BBM, perbulan dapat, tergantung kwitansi pembelian BBM," tambahnya.
Pada kesempatan itu, penasehat hukum Deyu juga mempertanyakan adanya pertemuan setelah Masperi dipanggil Kejaksaan Tinggj Riau. "Setelah kami dipanggil, semua bidang pada goyang. Termasuk Buk Deyu, bertanya apa yang harus saya lakukan," kata Masperi.
Saat itu, kata Masperi, dirinya meminta semua bidang untuk membetikan keterangan sesuai kerja yang sudah dilakukan, sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing bidang. "Saat awal jadi kadis saya ingatkan agar tidak lakukan pungutan karena ada saber pungli," ucapnya.
Pada kesempatan itu, penasehat hukum Deyu juga membacakan transkrip rekaman percakapan Masperi saat di pertemuan itu. Ketika itu, ada ucapan Masperi yang menyatakan kekhawatirannya tentang dana untuk security dan honorer. "Saat itu saya hanya beri pemahaman. Banyak penerimaan sisihkan untuk dibagi-bagi," tegasnya
Masperi juga mempertanyakan kepada hakim apakah rekaman percakapannya di pertemuan boleh dibeberkan di persidangan tersebut karena saat itu dirinya hanya memberikan pemahaman kepada jajarannya. Akhirnya, hakim meminta penasehat hukum membatasinya karena waktu persidangan sudah masuk larut malam.
Kepada hakim, Masperi menjelaskan pernah melakukan perjalanan dinas luar kota pada Oktober hingga Desember 2016., yakni Jakarta, Surabaya dan Batam. Biayanya berasal dari anggaran rutin dan KPA yang membidangi tugas.
Sama perjalanan itu, dia pernah menerima kelebihan anggaran dimas Rp11 juta dari Deyu. Namun, dia meminta Deyu memberikan anggaran sesuai yang bisa dipertanggungjawabkan.
Setiap uang yang diteima, lanjut Masperi, disertai kwitansi sebagagai pertanggungjawaban. Jumlah yang tertera bisa di bawah anggaran, kalau ada kekurangan nanti dibayar lagi setelah perjalanan.
"Ketika saya di sana (Dispenda), itu (pemotongan) tidak ada lagi. Clear. Kalau 5 juta, bayarkan 5 juta pada bersangkutan," tegas Masperi.
Dijelaskan Masperi, pelaksanaan pengelolaan keuangan di jamannya tidak ada masalah. "Kalau menurut hasil pemeriksa BPK tidak ada. Waktu itu kami dikatakan sesuai prosedur berlaku dapat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian," kata Masperi.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Februari 2015, terdakwa Deliana memanggil terdakwa Deyu untuk datang ke ruangannya. Di ruang itu juga hadir Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Pembantu di masing-masing bidang.
Di antaranya, Deci selaku Bendahara Pengeluaran Bidang Pajak, Deli selaku Bendahara Pembantu Bidang Pengelolaan Data, Anggraini selaku Bendahara Pembantu Bidang Retribusi, dan Tumino selaku Bendahara Kesekretariatan.
Terdakwa Deliana memberitahukan kalau dana UPT segera cair. Namun dari dana itu akan ada pemotongan sebesar 10 persen dari UP dan GU di masing-masing bidang.
Pencairan dilakukan pada Maret hingga Desember 2015 melalui juru bayar, Akmal. Untuk melaksanakan instruksi Deliana, terdakwa Deyu meminta Akmal memotong 10 persen kepada bendahara.
Setelah terkumpul, dana itu disimpan ke dalam brankas yang diketahui oleh terdakwa Deliana dengan tulisan uang pemotongan UP dan GU. Uang itu dikeluarkan atas persetujuan terdakwa untuk membayar operasional seperti bahan bakar minyak, tivi kabel, honor, tiket pesawat, makan bersama dan lain-lain.
Pemotongan serupa juga dilakukan pada tahun 2016. Pemotongan ini berdampak pada masing-masing bagian di Dispenda Riau. Perjalanan dinas tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Akibat perbuatan itu negara dirugikan Rp1,23 miliar. Uang itu tidak bisa dipertanggungjawabkan terdakwa dan membuat Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) tidak sesuai prosedur.