(CAKAPLAH) - Komunikasi adalah salah satu kebutuhan sekaligus kelakuan yang lazim dan jamak ditemukan dalam semua segi kehidupan. Manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan interaksi dengan manusia lain untuk menyampaikan maksud dan tujuannya agar bisa dipahami, dimengerti dan bahkan diikuti oleh lawan bicara atau komunikannya. Komunikasi berasal dari bahasa Latin, “communis” yang berarti membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih.
Akar asal katanya “communis” yaitu “communico” yang artinya berbagi (Stuart,1983). Dalam literatur lain disebutkan komunikasi juga berasal dari kata “communication” atau “communicare” yang berarti "membuat sama" (to make common). Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara bersama. Jadi jika ada dua orang yang berbicara dan keduanya mengerti dalam arti memahami dengan baik percakapan itu maka bisa disebut mereka sudah berkomunikasi.
Meski demikian dalam perkembangannya manusia adalah mahluk politik yang senantiasa ingin disukai, ingin disenangi, dicintai dan digemari bahkan ingin dipilih oleh orang lain. Akibat keinginan tersebut komunikasi bukan lagi sebagai menyampaikan pesan semata tetapi juga memiliki makna ganda yakni informatif atau menyampaikan pesan serta persuasif yakni bagaimana dari pesan yang disampaikan itu, orang lain bisa bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu kegiatan sesuai dengan maksud si pemberi pesan. Inilah yang kemudian dikenal dengan pengaruh. Keinginan memberi pengaruh juga mengalami perubahan dari hanya satu dua orang hingga menjadi banyak orang.
Dalam setiap kontes politik salah satu hal yang menonjolkan seseorang sebagai “komunikator politik”, apakah pemimpin itu politikus, profesional atau warga negara yang aktif (aktivis) ialah ia berbicara politik. Jika kembali ke paradigma Harold Laswell pembicaraan tentang komunikasi politik jika yang berbicara atau menyampaikan pesan adalah aktor politik, maka yang “mengatakan apa“ (says what) itu berisi pembicaraan atau pesan-pesan politik.
Menurut Davis V. J. Bell (dalam Dan Nimmo, 1993: 75) ada tiga jenis kepentingan pembicaraan yang mempunyai kepentingan politik yang pasti dan jelas sekali politis. Pertama, pembicaraan kekuasaan, pembicaraan kekuasaan mempengaruhi orang lain dengan ancaman atau janji. Kunci pembicaraan kekuasaan ialah bahwa seseorang mempunyai cukup kemampuan untuk mendukung janji, maupun ancaman, dan orang lain mengira bahwa pemilik kekuasaan itu akan melakukannya. Jadi, janji, ancaman, penyuapan dan pemerasan adalah alat tukar pada komunikasi kekuasaan berdasarkan pada kemampuan memanipulasi sanksi positif atau negatif.
Kedua, pembicaraan pengaruh tanpa sanksi-sanksi seperti tersebut di atas. Memberi pengaruh (karena prestise atau reputasinya) dengan berhasil memanipulasikan persepsi atau pengharapan orang lain terhadap kemungkinan mendapat untung atau rugi. Pada komunikasi pengaruh alat tukar komunikasinya ialah nasihat, dorongan, permintaan dan peringatan. Ketiga, Pembicaraan otoritas adalah pemberian perintah. Yang dianggap sebagai penguasa yang sah adalah suara otoritas dan memiliki hak untuk dipengaruhi. Sumber pengesahan sama dengan sumber otoritas, yaitu antara lain: keyakinan religius, sifat-sifat supernatural, daya tarik pribadi, adat, kebiasaan, kedudukan resmi dan lain-lain.
Jika kita menghubungkan tipologi ini dengan agenda politik di Indonesia seperti Pemilihan Kepala Daerah maka sudah barang tentu pembicaraan politik di dalam helat demokrasi tersebut akan berputar di sekitar tiga tipologi tersebut. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari beberapa hal:
Pertama, janji adalah senjata ampuh yang akan banyak dipakai oleh para kandidat. Janji menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat seperti hendak memberi, menolong, datang, bertemu, janji juga bisa berarti persetujuan antara dua pihak, janji juga bisa berarti penundaan waktu, penangguhan dan lain-lain. Jika kita lihat dalam pesan atau pembicaraan politik yang dilakukan oleh para kandidat selama ini maka janji lebih banyak dijadikan sebagai pembicaraan atau pesan politik ketimbang ancaman kepada khalayak ramai. Hal itu juga tercermin dari alat peraga yang digunakan kandidat untuk mensosialiasikan diri yang selalu diikuti dengan slogan yang intinya berbuat untuk rakyat. Jika kita mau jujur slogan ini semua baru hanya sebatas janji-janji semata. Realisasinya baru akan dilihat setelah sang kandidat terpilih.
Penulis | : | Mustafa, Dosen Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |