Kata Abraham Lincon, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, teorinya memang begitu. Tapi kata Anggaran Pendapatan Belanja Daerah/Negara (APBD/APBN), demokrasi adalah 'duit keluar'. Dan, buktinya memang begitu.
Kalaulah kita berkaca pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI tahun 2017 baru-baru ini, Pemerintah DKI ternyata sudah menghabiskan dana sekitar Rp480 miliar lebih untuk membiayai dua putaran pemilihan gubernur dan wakil gubernur mereka. Dana tersebut dipakai untuk banyak hal, mulai dari sosialisasi, pencetakan kertas suara, sampai honor para penyelenggara pilkada. Luar biasa harga sebuah demokrasi!
Tak usahlah jauh-jauh. Pilkada Riau tahun 2013 lalu sajalah kita perhatikan. Pada tahun 2013 tersebut, Pemprov Riau menganggarkan dana dekat Rp300 miliar untuk memilih gubernur dan wakil gubernur waktu itu. Dan dari dana tersebut, terpilihlah pasangan Annas Maamun-Andi Rachman sebagai pemenang di putaran kedua pilkada. Lalu, apa yang terjadi setelah Riau menghabiskan Rp300 miliar untuk kemenangan Annas-Andi? Adakah perubahan signifikan terhadap pembangunan atas hasil demokrasi dengan biaya mahal tersebut? Ah, jawab saja sendiri.
Kini, Pemprov Riau pun kembali menganggarkan dana Rp380 miliar lebih untuk Pilgubri 2018. Dana itu, belum lagi termasuk untuk penganggaran pengawasan pilkada dan pengamanannya. Hitung-hitung, bisa juga sampai setengah triliun dana Riau dihabiskan untuk penyelenggaraan Pilgubri 2018 mendatang. Wow!
Kembali kepada urusan demokrasi tadi, sebenarnya demokrasi itu tidaklah mesti melakukan pemilihan langsung, namun bisa juga melalui demokrasi perwakilan. Artinya, biarlah urusan pemilihan kepala daerah ini menjadi urusannya para wakil kita di legislatif sana.
Pengalaman 10 tahun melakukan pemilihan langsung, ternyata belum memberikan arti dan manfaat yang nyata dan beda bagi pembangunan. Hampir sama saja hasilnya antara pemimpin yang lahir dari pemilihan DPRD dengan pemilihan langsung. Bedanya cuma riuh dan duit keluar yang besar.
Apalagi selama ini tidak banyak dampak signifikan yang dapat dirasakan baik oleh masyarakat ataupun pemerintahan itu sendiri.
Tak jarang pilkada langsung justru menimbul kan perpecahan di masyarakat, terutama yang terlibat sebagai tim sukses ataupun pendukungnya.
Celakanya, Pilkada langsung yang menguras energi dan anggaran yang sangat besar, justru tidak menghasilkan pemimpin yang tidak sesuai ekspektasi publik alias pemimpin yang auto pilot.
Bahkan, tidak ada jaminan pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi pemilihan langsung bebas dari praktek KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme).
Jika sudah begini, ada baiknya juga pemilihan kepala daerah lewat DPRD (Wakil Rakyat) tidak mengurangi semaraknya demokrasi.
Anggaran daerah tidak tersedot banyak, masyarakat juga tidak terpecah belah akibat membela kepentingan mereka. Toh juga hasilnya sama dengan pemilihan langsung yang dikatakan demokrasi.
Editor | : | Redaksi |
Kategori | : | Serba Serbi |