Iman Parwis Syafiie
|
TULISAN ini terinspirasi dari betapa hebatnya "prahara" korupsi yang melanda hampir semua wilayah Tanah Air yang amat kita cintai ini. Prahara itu juga sudah melanda kesantunan Negeri Melayu.
Topan badai yang melanda negeri ini, salah satu penyebabnya adalah bahwa manusia di muka bumi ini telah diterpa sifat-sifat materialistis egoisme sebagai konsekuensi logis dari kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih. Sehingga tidak lagi ada batas antara satu negara dengan lainnya. Dan pengaruh yang sangat signifkan negeri kitapun telah terkontaminasi dengan sifat individualism materialistis yang dahulu hanya hidup di negara barat.
Sifat materialis itu, tidak terlepas dari konteksual dengan kekurangpahaman anak negeri ini. Malah tragisnya lagi para pemimpin negeri (daerah), tidak banyak memahami tentang hakekat dari hukum. Mereka tidak menyadari hukum itu seperti sebuah bayangan diri yang selalu mengikuti kita sepanjang waktu, dimanapun kita berada, bahkan sebelum kita melihat dunia sampai hilang di muka bumi.
Apatisme tentang eksistensi hukum terlalu menonjol, hukum hanya dipandang sebelah mata. Hukum tidak lebih dari sebuah pelengkap semata. Mereka tidak sadar atau tidak mau sadar gerak gerik kehidupan manusia selalu tidak lepas dari influential hukum.
Dari pengamatan penulis, kekurangpahaman esensial tentang hukum menariknya seseorang ke dalam salah satu indikasi terlibatnya keperbuatan melanggar hukum. Seorang tersangka (pejabat negara) yang terjerat OTT ketika diperiksa oleh penyidik KPK maka jawaban standar yang keluar dari mulut mereka bila diwawancara mengatakan: "saya tidak bersalah, saya tidak tahu apa-apa, saya tidak pernah memerintahkan anak buah saya melakukan itu, atau, sepeserpun saya tidak pernah menerima uang ataupun barang dari siapapun".
Dalam realita kehidupan sehari-hari masyarakat, argumentasi itu mungkin "dapat dibenarkan", bahwa orang yang tidak berbuat pasti harus dinyatakan tidak bersalah dan yang berbuatlah jelas ia bersalah.
Tapi dalam domain hukum tidaklah sesederhana itu. Hukum dapat dan tidak dapat membenarkannya. Seseorang yang tidak berbuat dapat saja dinyatakan ia bersalah, sebaliknya orang-orang yang nyata-nyata melakukan perbuatan melanggar kukum dapat dinyatakan tidak bersalah.
Seorang yang bertengger di batang pohon yang tinggi melihat (mengintai) teman-temannya di bawah mengeluarkan pistol atau pisau, menghentikan mobil yang sedang meluncur, menodong kemudian memaksa orang-orang yang ada dalam mobil untuk menyerahkan harta bendanya, maka orang yang berada di atas pohon tidak dapat lepas dari jeratan hukuman, sekalipun faktanya ia tidak berbuat sesuatu apapun, bahkan tidak menerima apapun dari teman-temannya tadi.
Seorang yang membunuh temannya yang sama-sama terapung-apung di tengah lautan dengan di sebuah pelampung yang hanya dapat menahan untuk satu orang saja, maka demi menyelamatkan diri ia membunuh temannya. Perbuatannya jelas menghilangkan nyawa orang lain, tapi hukum belum dapat menyatakan pembunuh itu besalah.
Hukum adalah norma-norma atau kaedah-kaedah untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat itu diselenggarakan/dilakukan oleh lembaga yang menjalankan pemerintahan (badan ekskutif). Karena Lembaga eksekutif (pemerinatah pusat maupun Daerah) adalah badan yang dapat mengatur tetatanan kehidupan negara yang dilandaskan pada hukum positif. Menjalankan kekuasaan negara (pemerintah) tidak dapat berjalan sendiri tanpa peduli dengan ketentuan undang-undang yang telah dibuatnya sendiri dengan lembaga legislatif.
Hukum tidak dapat dikesampingkan, apapun yang akan/sudah dilakukan dan dijalankan, harus berlandaskan pada hukum. Tapi sayangnya sekarang ini banyak sekali lembaga pemerintah (kepala daerah) yang mengganggap hukum itu tidak lebih sebagai pelengkap. Apabila dalam pelaksanaan tugas sebagai penyelenggara pemerintah terbentur pada tembok kekeliruan/kesalahan maka baru orang sadar betapa pentingnya eksistensi hukum itu sebelum dan sesudah berbuat.
Terjeratnya beberapa pimpinan daerah oleh KPK tidak lain karena kekurangtahuan meraka terhadap essensi hukum. Pejabat-pejabat pemerintah (eksekutif) dalam melaksanakan roda pemerintahan hanya patuh dan berpegang teguh pada policy pemerintah saja, satu dan lain untuk mencapai target yang sudah digariskan, tanpa memandang aspek-aspek hukum yang tersirat di dalam sebuah peraturan perundang-undangan dalam konteks planning/rencana pemerintahan.
Mempelajar hukum tidak cukup membaca apa yang tertulis/kosakata pasal-pasal, akan tetapi harus dipahami diperhatikan dan dipelajari hakekat (esesialis) dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Kalau hanya membaca dari bunyi pasal saja tanpa memaknai sejatinya, maka ini merupakan salah satu indikasi langsung ataupun tidak akan terperangkap jeratan hukum karena bisa saja terlibat melakukan perbuatan melawan hukum. Bila dilakukan oleh penyelenggara negara (pemerintah) maknanya dapat berwujud kepada perbuatan penyalahgunaan hak (abus de droit).
Membaca/mempelajarai hukum tidaklah segampang membaca novel Taj Mahal yang menharukan cinta kasih anak negeri Hindustan karya imajinasi John Shors, atau novel Laila Majnun buah karya Syaikh Nizami, yang berakhir dengan kematian. Hukum tidak akan pernah mati selagi bumi masih berputar. Maka hukum tidak hanya untuk dipelajari dan dipahami akan tetapi untuk diterapkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Pemerintah (pemimpin) yang menjalankan/melaksanakan roda pemerintahan, jangan gamang menghadapi liku-liku hukum bila tidak mau terseret oleh perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Pilkada yang sudah berada di hadapan kita dan akan memperoleh pemimpin-pemimpin yang tangguh. Rakyat pasti mengaharapkan perubahan nasibnya, kesejahteraan, kehidupan lebih baik daripada yang sudah-sudah. Rakyat sudah pasti tidak menginginkan lagi pemimpin yang tidak bermoral, pemimpin materialistis yang hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya.
Dalam konteks tulisan ini, penulis sekadar mengingatkan bahwa hukum jangan lagi hanya dijadikan pelengkap (aanvoelen) penderita semata. Hukum harus seiring dengan policy politik pemerintahan. Pemerintah/pemimpin dan rakyat harus sadar seperti apa yang telah tulis di atas bahwa hukum itu layaknya bayangan diri sendiri yang selalu mengikuti ke manapun kita.
Dalam kampanye intern, atau wawancara terhadap para kandidat di Pilkada manapun, penulis belum pernah mendengar para calon memaparkan bagaimana mengatasi/menangani kemelut hukum oleh para politik para birokrat secara sistemik, selain hanya memaparkan tentang ekonomi, politik, social dan lain sebagai waktunya.
Dari situ timbul pertanya penulis, apakah hukum di negari ini sudah menjadi amnesia, ataukah para pejabat begara ini yang sudah amnesia. Karena bila kita lihat siaran TV nasional dan swasta, maka dimana-mana kita melihat betapa dominannya drama OTT para pejabat negara.
Kita semua yakin pemimpin Negeri Melayu yang akan kita pilih nanti, pasti tidak akan pernah lupa dengan sejarah yang menimpa tanah negerinya, yang secara beruntun tiga pemimpin daerahnya terjerat kasus yang sangat memalukan. Sejarah NKRI sekalipun belum pernah melahirkan dekadensi moral yang notabena terjadi di negeri yang terkenal santun. Kekuasaan besar yang dianugerahkan atas kekuatan Undang-undang Otonomi Daerah bukan mengisyaratkan para pemimpin menjadi arogansi dan melupakan bayangan hukum yang selalu mengikutinya.
Rakyat menunggu perbuatan nyata dari pemimpinnya bukan seperti pepatah Melayu: "janganlah seperti halnya melepaskan batuk ditangga".
Penulis | : | Iman Parwis Syafiie (Mantan Hakim Tinggi) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |