Iman Parwis Syafiie
|
GEBRAKAN gencar yang dilakukan oleh KPK dengan senjata ampuhnya OTT, tidak saja menggetarkan ibukota, kota-kota besar, tapi telah menyusup jauh ke daerah, yang mungkin diprediksi, bahwa tangan kekar KPK itu tidak sampai ke daerah mereka. Namun rupanya prediksi mereka hilang ditiup angin, melesat. Dan dengan tidak disangka-sangka KPK sudah berada dilocus delicti, mereka yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum.
Dalam situasi kondisi eksistensi lembaga super power ini sedang diuji dan bahkan ada yang akan mengkerdilkannya serta berkehendak mengebiri kekuasaannya. Lembaga ini tidak mempedulikannya. KPK terus menyusup masuk ke daerah-daerah di seluruh tanah air sekalipun dengan personel yang terbatas. Jika mereka mencium aroma yang tidak sedap atau ada yang bermain patgulipat, mengutak-atik uang rakyat. Mereka menyelinap masuk.
Dengan segala resiko yang bakal mereka hadapi, mereka membongkar, menggeledah mencari data dan bukti-bukti. Mereka sadar apa yang dilakukannya adalah melaksanakan amanah hukum dan amanah rakyat. Tentu saja orang-orang yang sudah geram dengan tingkah laku oknum pemimpin/pejabat daerah yang sedang bergoyang kaki menikmati hasil “karyanya” mengutak-atik uang rakyat, di rumah atau yang sedang duduk di kursi meja di kantor didampingi oleh sekretaris yang cantik, genit dan bahenol.
Mereka yang jenuh melihat pekerjaan kamuflase yang dilakukan oleh pemimpinnya, pasti akan mengacungkan jempol dan bersorak sorai mengucapkan selamat dating pada “tim penyelamat harta anak negeri”, seraya berdoa selamatkanlah negeriku ini dari musibah ketamakan para pemimpinnya.
Rakyat menyadari hasil karya nyata dari gebrakan itu belum sepenuhnya diakui sebagai suatu keberhasilan yang spektakuler. Tapi setidaknya masyarakat/rakyat sudah mengetahui/melihat betapa ada pemimpin/calon pemimpin mereka yang bejad. Betapa naifnya mereka menjual negerinya demi mengejar emosi materialistis. Dengan memakai topeng demi menyejahterakan rakyat, membangun negeri, yang dilontarkannya di setiap amanah atau janji-janji ketika kampanyenya. Rakyatpun terpukau dengan ucapan santun, dengan nada-nada manis nyanyian surga. Mereka terjun ke daerah-daerah memberi bantuan materil, menguber janji-janji muluknya.
Tragisnya malah akhirnya tanpa disadarinya belangnyapun terbongkar. Rakyat dengan nada pilu bertanya pada dirinya, apakah kita akan membuka hati untuk menerimaoknum-oknum pemimpin seperti itu lagi? Geberakan KPK membuka mata takyat di semua/beberapa wilayah NKRI bahwa betapa banyaknya para oknom pemimpin-pemimpin daerah mereka telah berjubel dan antrean masuk kandang KPK. Karena itulah kita turut mengimbau dan menyadari bahwa jangan lagi memilih pemimpin yang tidak bermoral. Siapapun dia. Baik dari keluarga sendiri atau orang-orang yang mereka idolakan.
Banyaknya pemimpin/calon pemimpin daerah yang sudah masuk daftar indikasi korupsi, tampaknya sama sekali tidak “menggerahkan” kesadaran para pemimpin/calon pemimpin di daerah lainnya. Seolah-olah gebrakan KPK dirasakan sebagai hembusan angin yang datang dari laut dan mengering ditelan daratan. Mereka tidak peduli dengan signal-signal itu. Mereka masih menepuk dada dan berkata pada rakyat “aku adalah satu-satunya yang dapat membangun negeri ini. Aku diusung oleh partaiku yang berkualitas. Aku mendapat perlindungan hukum dan kekuatan politik. Kalian masih butuhkan aku untuk memimpin negeri ini”.
Muka tembok yang mereka perlihatkan pada rakyat, sebenarnya memperlihatkan atau membangun idiosi dirinya. Rumput putri malu yang bila tersentuh akan menutup daunnya dan merunduk, karena tidak mau dijamah oleh siapapun. Dan dilain tamsil, sekejamnya raja hutan Singa dia tidak akan menerkam mangsanya jika ia tidak benar-benar lapar.
Alangkah ironisnya bila fenomenal alam kehidupan kedua makhluk itu dijadikan referensi untuk merubah, menghapus sifat-sifat manusia yang telah dianugerahi akal dan hati nurani oleh sang Pencipta. Sehingga harus meniru dan belajar dari filosofis serumpun rumput liar “putri malu” atau filososis kehidupan dua jenis makhluk itu.
Tidaklah berkelebihan jika penulis kembali mengingatkan dan merenungkan, bahwa kemerdekaan yang kita capai sekarang ini bukan hasil perjuangan komunitas kaum politik, kelompok-kelompok masyarakat atau golongan etik tertentu saja. Bukan pula oleh kaum ulama tertentu, masyarakat adat tertentu. Perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan adalah tetesan darah dari seluruh rakyat Indonesia. Para petani, para kaum nelayan, para buruh kasar.
Lalu mengapa para elit politik, para pemimpin, para pejabat, para penguasa sekarang hanya melihat ke atas? Menengadah ke atas dengan beribu ilustrasi yang tampil di kepalanya hanya gambaran materialistis. Sementara jauh di sudut tanah air sana masih banyak rakyat yang masih menatap gelapnya matahari.
Mengapa mereka tidak melihat jauh ke sana, rakyat hanya mendapat upah sepuluh ribu rupiah dalam sepuluhkali mengangkat pasir dari kali dibawa ke atas ke mobil-mobil truk untuk membangun rumah-rumah mewah para elit. Villa-villa untuk tempat istirahat. Mengapa lupa pada kaum petani yang memikul hasil kebunnya ke kota hanya mengharapkan beberapa lembar rupiah saja. Atau para nelayan yang berjemur kering di laut lepas menghadang ikan hanya untuk sesuap nasi. Sementara mereka menerima nota bukti transfer uang yang mengalir ke dalam rekening mereka yang ada di bank, sebagai tanda terimakasih berupa komisi dari sebuah proyek, atau uang lelah dalam rangka “mengesahkan” lahirnya sebuah peraturan perundang-undang.
Gebrakan yang sedang gencar dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga jauh menjangkau pelosok tanah air, dengan siluman OTTnya, mau tidak mau seluruh rakyat harus mendukungnya. Rakyat jangan terlalu percaya dengan komitmen kaum elit, apakah itu politikus, ekonom atau komunitas tertentu yang spontan mendengungkan suara turut berapresiasi atas gerakan yang dilancarkan oleh KPK. Menjelang tahun pilitik ini “kata-kata manis” seperti itu sudah wajar ditiupkan. Sampai-sampai rakyat sangat jenuh, muak dengan semuanya itu.
Suatu sikap, perbuatan ataupun pernyataan pasti ada yang pro dan kontra. Perbedaan begitu adalah wajar, karena bumi ini ditakdirkan demikian oleh Sang Pencipta. Ada malam ada siang, ada baik dan buruk. Tapi manakala keduanya dipertentangkan dengan emosional dan egois, tanpa memiliki kadar ilmu, kadar keimanan, kadar akal sehat dan naluri yang ikhlas dan suci, dan seolah-olah dialah yang benar, yang bersih, yang berjasa. Maka perbedaan pendapat serupa itu merupakan sebuah arena bentrokan yang tidak berujung. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang dilahirkan di negeri ini adalah merupakan kehendak batin anak bangsa, hakekatnya anak bangsa untuk membersih semua aparatur negara, pejabat negara, pemimpin negera bahkan rakyat sendiri.
Tujuan memakmurkan rakyat, tidak akan pernah tercapai, tidak pernah berhasil, bila masih ada pemimpin, pejabat-pejabat negeri bermental avonturir dan munafik. Maka negeri ini harus bebas dari oknom-oknom pemimpin, pejabat seperti itu. Pejabat/pemimpin yang akal dan naluri batinnya telah terkontamisasi materialistis, egoistis sudah selayaknya minggir dari percaturan sebagai pemimpin.
Pertanyaan yang timbul mengapa kini eksistensi Lembaga KPK dianggap sebagai bumerang. Argumentasi yang mungkin dapat diterima, menurut penulis anak negari ini (terutama pemimpin dan para pejabatnya) belum rela, belum ikhlas menganulir, mengikis borok-borok materielistis tadi.
Ketika Bung Karno digiring untuk diadili ke Landraad (Pengadilan Negeri) Bandung pada tahun 1930, beliau melihat para Pengacaranya (semua orang Indonesia) terharu dan murung, sedih. Bung Karno berkata pada sahabat-sahabatnya: “kalau sudah nasib saya untuk menahankan siksaan, biarkanlah saya. Bukankah lebih baik Sukarno menderita untuk sementara daripada Indonesia menderita untuk selama-lamanya” (kutipan dari buku Bung Sukarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams, alihbahasa Abdul Bar Salim).
Semoga, para pemimpin negeri yang berkuasa sekarang ini, diilhami oleh kebesaran jiwa dan keikhlasan hati, seorang pemimpin besar, tanpa pamrih yang bernama Sukarno. Beliau rela berkorban, menderita demi mencapai kemerdekaan bangsanya.
Penulis | : | Iman Parwis Syafiie |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |