Drs Elwahyudi Panggabean MH
|
(CAKAPLAH) - Pekan ini, sedikitnya dua berita yang di-share di halaman facebook, sempat menyentakkan publik facebooker.
Berita kesatu, video yang mempertontonkan ratusan terpidana koruptor Tiongkok. Mereka, menjelang eksekusi mati, lebih dulu diarak di jalan raya Kota Peking dengan kondisi kaki dan tangan terborgol.
Ribuan publik, menonton pawai "istimewa" itu. Di antara warga penyaksi arak-arakan, terdengar jerit tangis para anggota keluarga di pinggir jalanan.
Inilah fakta keseriusan pemerintah China membasmi koruptor menyusul Zhu Rongji terpilih sebagai Perdana Menteri ke-5 China tahun 1998.
Zhu, sang Patriot itu, membuat jagat raya terkesiap kala bicaranya saat pidato pelantikannya yang menggetarkan:
"Berikan aku seratus buah peti mati. Lantas, 99 di antaranya kupersembahkan untuk para koruptor. Dan, satu peti mati kusiapkan untukku, jika aku tidak menepati janjiku..."
Berita ke-dua, tentang Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, kembali aktif bertugas di institusi antirasuah itu.
Dalam berita yang di-share di facebook, tampak wajah poto Opsir Polisi bertubuh tambun ini, mengenakan kaca mata. Toh, peristiwa getir masa silam, tetap mengukir jejak sejarah.
Terlihat luka bakar membekas seputar mata. Bukti sejarah ketidakberdayaan polisi sebagai penyidik tunggal dugaan tindak pidana umum. Dimana Novel sebagai korban.
Di China Koruptor ditembak mati. Di Indonesia, Penyidik Koruptor 'Nyaris Mati'. Lebih 15 bulan dugaan penyiraman air keras ke wajah Novel, pelaku tak kunjung ditangkap polisi.
Di publik, spekulasi isu berkembang liar. Meski Novel sendiri mengaku telah mengantongi oknum aktor intlektualnya.
Masalahnya, peristiwa itu terjadi kala Novel tengah menangani mega-korupsi di tubuh Polri. Malah, seorang Jenderal Polisi, yang diduga dalangnya, sudah di tahan KPK.
Kita, tentu wajib menganut azas: "Praduga tak bersalah". Tetapi, setiap peristiwa menyimpan kebenarannya.
Setidaknya, terpaut benang merah antara Novel sebagai "Penyidik" dengan Novel sebagai "Korban". Pada titik ini, apa boleh buat, Polisi tampaknya kurang tertarik.
Rekonstruksi atas fakta peristiwa ini, sebenarnya tugas shahih bagi jurnalisme, juga. Wartawan pemilik kewenangan investigasi, turut terhutang moral atas misteri ini.
Sayang, sebagian besar media tempat wartawan berdedikasi, lagi "diinfus" dana-dana publik via birokrasi yang mungkin saja terindikasi korupsi.
Media konon, nimbrung juga: Tends power to corrupt...Malah ada pihak yang skeptis: Korupsi tidak mungkin tumbuh jika media masih berani memihak kebenaran.
Lantas, kita para wartawan turut berdosa kepada Novel Baswedan. Selebihnya, tergantung political-will pemimpin. Seperti di stir Mentrans era Orba, Siswono Yudho Husodo:
"Seorang pemimpin yang baik, lebih berarti dari sejuta peraturan yang baik. Sebaik apapun hukum dan peraturan, jika pemimpin bobrok, dia akan mencari celah kelemahannya..." ***
Penulis Drs Elwahyudi Panggabean MH (Dosen dan Direktur Pekanbaru Journalist Center)
Editor | : | Hadi |
Kategori | : | Riau, Cakap Rakyat |