SIAK (CAKAPLAH) - Warga Kampung Koto Ringin Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak, Riau mengeluhkan pengelolaan Koperasi Butu belum sepenuhnya berjalan maksimal.
Koperasi Butu ditunjuk mengelola kebun kayu akasia di atas lahan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang sempat dibagikan oleh Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Kabupaten Siak beberapa waktu lalu. Tanah tersebut sudah memiliki Sertifikat Hak Milik atas nama masyarakat tersebut.
Untuk diketahui, lahan itu pernah dikelola oleh PT Makaria Eka Guna dan PT TUM untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan luas lahan mencapai 10.000 Hektare. Namun karena perusahaan tersebut tidak mengelolanya kembali dan masa HGU telah habis akhirnya, pemerintah mengambil alih dan dibagikan kepada masyarakat Siak, khususnya yang berada pada lokasi 3 kecamatan yakni Kecamatan Sungai Apit, Mempura dan Kecamatan Pusako.
Setidaknya Pemerintah Daerah sudah membagikan sebanyak 10.000 hektare untuk masyarakat Siak yang terpecah di 9 Kampung yakni di Kampung Koto Ringin (900/963 Ha), Pusako (131 Ha), Pebadaran (281 Ha), Sungai Limau (283 Ha), Barbari (800/755 Ha), Teluk Masjid (53,6 Ha), Lalang (43 Ha), Bunsur (1000-an Ha) dan kampung Mengkapan (268 Ha).
Di Kampung Koto Ringin Kecamatan Mempura, setidaknya masing-masing kepala keluarga mendapatkan 0,8 Hektar dan sudah memiliki Sertifikat Hak Milik yang sempat dibagikan Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Provinsi Riau beberapa bulan yang lalu.
Namun, hal itu menjadi persoalan yang tak kunjung selesai di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, Tanaman Akasia yang ditanam di atas lahan tersebut harus rela dikelola oleh salah satu koperasi di Siak melalui mediasi Pemerintah Daerah Kabupaten Siak.
Disampaikan Mulyadi (36), warga Kampung Koto Ringin, berdasarkan kesepakatan awal masyarakat yang menerima sertifikat dari tanahnya dikelola koperasi mereka dijanjikan sejumlah uang untuk ganti rugi atas pengelolaan kayu akasia di atasnya. Namun sampai sekarang tidak ada titik jelasnya, ia meyakini tanaman akasia di atas lahan masyarakat itu sudah selesai dijual pihak koperasi.
"Awalnya kami dijanjikan Rp40.000/ ton, dengan estimasi per hektar yang kami miliki itu ditaksir akan menghasilkan 60 ton, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan bagaimana kelanjutannya padahal lahan sudah selesai dikelola tapi entah ke mana uangnya semua itu belum jelas," cakap Mulyadi kepada CAKAPLAH.COM, Jumat (14/6/2019).
Mantan Sekretaris Bapekam itu pun menjelaskan beberapa point yang muncul saat kesepakatan itu dilakukan yakni pengambilan hasil kayu dikelola oleh koperasi Butu. Koperasi tersebut mengambil hasil kayu sekaligus melakukan pembersihan di lahan tora, pengawas di lapangan diambil dari warga Koto Ringin, dan ternyata beberapa poin itu dinilai tidak berjalan.
"Setelah kesepakatan ini kami dengar sama-sama dan kelanjutan dari keputusan itu hilang begitu saja dikarenakan lemahnya pengawasan dan kepedulian penghulu dalam hal ini. Ketika hal ini dibicarakan penghulu kampung seperti melempar bola panas ke Koperasi Butu dan pengurus tingkat kampung. Informasi yang pastipun sampai saat ini belum tahu ujung pangkalnya. Sehingga masyarakat yang menjadi korban," terang Mulyadi.
Sementara itu, pihak Kecamatan Mempura mengaku tidak merasa dilibatkan dalam kesepakatan yang pernah dibangun antara masyarakat dengan pihak koperasi terkait pengelolaan akasia di atas lahan TORA itu. Bahkan Camat Mempura, Dessy Pefianti mengarahkan pertanyaan itu untuk Penghulu Kampung Koto Ringin.
"Pihak kecamatan tidak pernah dilibatkan waktu masalah kesepakatan dengan koperasi, jadi coba langsung saja kepenghulu koto ringin," Cakap Camat Mempura Dessy Pefianti, melalui seluler, Jumat (14/6/2019).
Penulis | : | Alfath |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Serba Serbi, Kabupaten Siak |