Musim kemarau telah tiba di Provinsi Riau, tandanya sederhana titik api bermunculan lalu diikuti serbuan kabut asap yang menganggu aktivitas di berbagai lini. Titik api dan luasan Karhutla, aktivitas penanganan kebakaran, kabut asap dan penyakit ISPA menjadi tema baru yang mulai sering dikabarkan media massa. Tapi, tak kalah penting pada saat bersamaan musim kemarau ini, patut untuk diwaspadai adalah praktik tindak pidana korupsi.
Korupsi memang tidak mengenal musim dan tentu siapapun tidak berharap ada korupsi. Tetapi jika ada ruang dan peluang kapan saja korupsi bisa terjadi. Merujuk pada Teori Willingness and Opportunity to Corrupt, teori ini menyatakan: “korupsi terjadi jika terdapat kesempatan/peluang (kelemahan sistem, pengawasan kurang) dan didorong dengan niat/keinginan karena kebutuhan & keserakahan”.
Dalam konteks ini, penulis merujuk pada peristiwa yang pernah dan dapat dikatakan sering terjadi dilatarbelakangi oleh perisitiwa musiman. Baik praktik korupsi yang pernah terjadi di Provinsi Riau maupun di daerah lainnya yang telah diungkap oleh intansi penegak hukum (KPK, Polri, Kejaksaan). “Musim” praktik korupsi yang perlu untuk waspadai khususnya di Riau yaitu:
Pertama: Transaksi dalam pembahasan Anggaran bersama DPRD. Masih terngiang dalam ingatan beberapa tahun lalu dua peristiwa korupsi dengan model yang sama terjadi di Riau. Korupsi dimaksud dengan modus memberikan uang suap untuk memuluskan proses pembahasan anggaran di DPRD Riau.
Dua praktik korupsi yang telah terungkap tersebut yaitu korupsi pembahasan revisi Perda tahun jamak pembangunan fasilitas pendukung Pekan Olahraga Nasional (PON) yang terjadi pada tahun 2012 dilatarbelakangi operasi tangkap tangan (OTT). Dalam korupsi ini, melibatkan 10 anggota DPRD Riau sebagai penerima suap dan Gebenur Riau kala itu beserta pejabat kepala dinas selaku pemberi suap dengan total nilai suap sebesar Rp1,8 Miliar.
Selain itu, praktik korupsi dengan modus yang sama terulang pada pada tahun 2014 di DPRD Riau. Praktik korupsi dengan modus pemberian uang suap untuk pembahasan Perda APBD Riau Perubahan tahun 2014 dan APBD Murni tahun 2015. Saat itu, kondisinya baru pergantian Gubernur Riau yang dihadapkan dengan pembahasan Ranperda APBD di DPRD dan saat itu pula adalah masa akhir jabatan anggota DPRD Riau periode 2019-2014, dalam peristiwa tersebut melibatkan 3 anggota DPRD dan Gubenur Riau.
Kondisi tahun 2019 ini, pemerintah daerah Provinsi Riau dihadapkan pada peristiwa yang mirip seperti diuraikan di atas. Selain baru pergantian gubenur yang dilantik pada 19 Februari silam, saat ini dihadapkan pada peristiwa pembahasan beberapa Rancangan Perda bersama dengan DPRD Riau. Rancangan Perda OPD, Perda RPJMD, Perda APBD-P 2019 dan Perda APBD tahun 2020 yang kemungkinan dibahas secara paralel.
Kondisi lain yang mirip, dua bulan ke depan adalah masa akhir jabatan anggota DPRD Riau periode 2014-2019. Berdasarkan data KPU Riau (sementara), kurang dari setengah anggota DPRD (incumbent) yang duduk kembali, selebihnya tidak duduk kembali atau duduk di DPR RI.
Jika merujuk pada peristiwa sebelumnya, maka kondisi ini patut diwaspadai praktik transaksi dalam proses pembahasan Ranperda yang saat ini sedang dibahas di DPRD. Rancangan Perda strategis dan wajib setiap tahun untuk memastikan jalannya pemerintahan menurut hemat penulis sangat rentan paraktik korupsi. Bermula dengan praktik penyanderaan dan untuk memuluskannya dengan cara memberikan suap.
Pengungkapan praktik serupa di beberapa daerah lain baru –baru ini oleh KPK seperti di Provinsi Jambi, di Kota Malang yang melibatkan 41 orang anggota DRPD, dan beberapa daerah lainnya. Menunjukkan bahwa praktik tersebut masih menjadi area korupsi yang nyata, tidak menutup kemungkinan potensi itu besar terjadi di Provinsi Riau.
Kedua: Praktik korupsi jual beli jabatan. Area ini adalah satu area korupsi yang rentan terjadi dengan berbagai modus operandi. Berdasarkan laporan KPK, korupsi yang paling banyak ditangani adalah korupsi dalam bentuk suap. Sebagian suap yang ditangani berkaitan dengan proses mutasi atau penempatan pejabat baik eselon II, III dan IV oleh kepala daerah.
Dalam konteks ini, di Riau saat ini dihadapkan dengan peristiwa mutasi/rotasi, promosi atau penembatan pejabat baru yang akan mengisi jabatan strategis pemerintah daerah Provinsi Riau. Perubahan OPD yang sekarang sedang dibahas tentu baik, untuk upaya perampingan dan efektifitas implementasi kebijakan dan pencapaian kinerja pemerintah. Namun sebagai konsekuensi adalah diikuti dengan penempatan pejabat baru yang akan mengisi di berbagai lintas eselon yang tersedia. KPK telah memberikan imbauan melalui media, untuk mengingkatkan agar tidak ada praktik suka atau tidak suka (like and dislike) dalam pengangkatan pejabat apalagi sampai praktik suap.
Penulis memandang, praktik korupsi dalam penempatan jabatan tentu tidak hanya dengan modus suap (transaksi) di awal saja untuk memuluskan dalam proses seleksi penempatannya. Praktik korupsi juga dalam bentuk janji–janji yang tidak menyangkut hasil kinerja yang akan diberikan pada saat pejabat kepada atasannya untuk ditempatkan pada posisi tertentu diberbagai level jabatan.
Seperti berjanji untuk memberikan peluang bagi penyedia barang jasa yang notabenenya titipan dari atasannya atau pihak lainnya yang relevan. Berjanji untuk menyiapkan dana – dana taktis yang diperlukan atasannya untuk kebutuhan tertentu, sementara dana tersebut diambil dari praktik mark-up, atau dari hasil korupsi pengadaan barang dan jasa, penempatan pejabat dengan melihat hubungan keluarga meskipun tidak layak sesuai standar kompetensi dan masih banyak praktik lainnya yang berpotensi dapat dilakukan.
Dalam peristiwa proses pengangkatan atau penempatan pejabat perlu diwasdai munculnya praktik korupsi itu. Memang, praktik korupsi ini belum pernah ada pengungkapan kasus dalam praktik jual beli jabatan di Riau oleh instansi penegak hukum. Dua kemungkinannya, proses yang dilakukan memang benar-benar bersih tanpa praktik korupsi atau sulitnya mengungkap kasus praktik korupsi dari proses peristiwa tersebut. Berkaca dari pengungkapan kasus korupsi dalam proses ini baik di tingkat pusat maupun daerah, menunjukkan praktik korupsi ini nyata adanya dan dapat terjadi dimanapun dan patut untuk diwaspadai.
“Riau lebih baik” adalah jargon Gubenur Riau baru tentu harus dilakukan pada semua lini. Jargon itu akan dapat terwujud jika didukung dengan sistem dan sumberdaya manusia yang baik dan berintegritas. Gubenur Riau mencegah dan menghindari praktik korupsi sejak awal, mulai dari perencanaan termasuk salah satu menutup ruang korupsi berupa transaksi dalam proses penyusunan peraturan daerah di DPRD seperti yang sebelumnya terjadi. Untuk mencapai Riau yang lebih baik harus didukung dengan sumberdaya manusia yang baik dan berintegritas. Untuk itu penyeleksian secara profesional tanpa praktik jual beli menjadi kunci lahirnya SDM yang berkualitas mampu bekerja dengan baik untuk mencapai target kinerja. Tanpa itu mustahil Riau Lebih Baik akan terwujud.***
Penulis | : | Triono Hadi, Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Provinsi Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Riau, Cakap Rakyat |