Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang di ujung tanduk. Jika Presiden Joko Widodo mengeluarkan mengeluarkan surat presiden (Surpres) yang berisikan mendukung DPR dalam merevisi UU KPK akan memperlemah KPK sebagai lembaga yang dipercaya publik. Ini tentu bertentangan dengan visi pemberantasan korupsi Joko Widodo yang ingin ‘memperkuat institusi KPK’, yang diutarakan pada kampanye pemilu Presiden 2019 lalu.
RUU tentang perubahan kedua atas undang-undang no 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagai insiatif DPR telah diketok palu untuk dibahas di rapat parlemen. Ini membuat publik berang sebab di akhir masa periodenya DPR sama saja mencoreng lembaganya.
Ada beberapa poin yang menjadi kekhawatiran publik jika revisi UU ini telah disetujui berdasarkan Draft RUU yang sudah beredar. Pertama, terkait dengan Ketidakwajiban LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) yang diperiksa oleh KPK sebagai kepatuhan atas pejabat Negara. Kedua, terkait dengan penghapusan kewenangan, penyelidikan internal KPK tidak diperbolehkan lagi dan hanya penyelidikan dari kepolisian yang diperbolehkan. Ketiga, terkait dengan penghapusan pegawai KPK yang tidak lagi tetap dan digantikan dengan kategori PNS atau pegawai pemerintahan dengan perjanjian kerja (PPPK). keempat, terkait dengan dibentuknya dewan pengawasan KPK sebagai upaya pemerintah mengawasi kinerja penindakan KPK dengan meminta izin dewan pengawas dalam melakukan penyadapan maupun penyitaan dan pengeledahan. Keenam Tidak ada lagi penyidik Independent dan hanya diperbolehkan berasal dari Kepolisian dan kejaksaan. Ketujuh, penuntutan KPK tidak lagi independen dan harus berkoordinasi dengan kejaksaan agung. Kedelapan kasus suap akan sulit ditangani oleh KPK dikarenakan KPK hanya diperboleh untuk mengani perkara atas kerugian negara sebatas Rp1 miliar.
Masalah tersebut mengerucut kepada penghapusan KPK sebagai lembaga Ad hoc dan lembaga KPK akan beralih di bawah Lembaga Pengawasan Pemerintahan. Artinya KPK sudah tidak diharapkan lagi dan secara berlahan akan mati di tangan wakil rakyat dan pemerintah. Poin tersebut tercantum dalam UU 30 Tahun 2002 yang akan direvisi terkait dengan kewenangan KPK, pada Pasal: Pasal 1 angka 7, pasal 24 ayat 2 dan 3, pasal 12 a,dan 12 b,12 c, pasal 37 b,dan 37 e, pasal 43 dan 43 a, pasal 45, dan pasal 45 a , pasal 11, dan pasal 40.
Wakil Rakyat Bukan Wakil Koruptor
Jika dilihat dari trend korupsi tahun 2014-2019 berdasarkan data tracking website Fitra Riau bahwasannya dari 560 anggota DPR RI sebanyak 22 orang terjaring kasus tindakan korupsi berdasarkan studi OTT sampai kepada perkembangan kasus, Begitu pula dengan DPRD di daerah provinsi maupun kabupaten sekitar 232 harus berurusan kepada penegak hukum karena korupsi.
Jika kita lihat dari persolaan yang terjadi dan mencoba untuk menganalisa bahwasannya KPK sengaja untuk diberendel dengan kekuatan UU yang akan direvisi oleh wakil rakyat yang terlihat buru-buru dan tidak melewati mekanime UU no 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan Perundang-undangan dugaanya adalah siasat yang tidak baik demi melancarkan aksi wakil rakyat untuk merampok Uang Negara dan bukan semata mata ingin lembaga KPK ini makin kuat dan membenah KPK. Secara logika setiap peraturan berupa undang-undang memang boleh saja dan tidak ada ketentuan untuk merubah atau merevisi agar lebih baik tetapi bukan untuk UU KPK saat ini.
Berdasarkan hasil Survey kepuasan publik tahun 2019 yang dilakukan oleh LSI menujukan bahwa kepercayaan publik atas lembaga KPK lebih kuat dengan persentase 84 persen dibadingkan dengan lembaga DPR dan partai politik dengan tingkat kepercayaan publik atas kinerja presiden sebanyak 79 persen dan, 61 persen percaya dengan DPR dan untuk kepercayaan publik terhadap partai politik 53 persen dengan total sampel responden 1.220 yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain itu juga anggota DPR RI periode ini juga minim prestasi, Jika kita lihat tingkat kepatuhannya dan sebagai bentuk pertanggung-jawasban kepada publik terhadap pengawasan harta kekayaannya bahwa berdasarkan tingkat kepatuhan melaporkan LHKPN sebanyak 552 orang wajib lapor yang telah lapor hanya 362 orang dan belum lapor 190 orang dengan persentase 65,58% per 11 April 2019. Hal serupa juga menjadi sosrotan publik juga pada anggota DPRD di daerah dari 17.810 orang wajib lapor hanya 12.850 orang yang sudah lapor dan sisanya 4.960 orang dinyatakan belum lapor LHKPN dengan persentase 72,13 persen dan tidak sebanding dengan anggota DPD 131 orang yang wajib lapor, 101 orang yang sudah lapor dan belum lapor sebanyak 30 orang dengan persentase 77,10 persen.
Melihat dari indeks kepercayaan publik terhadap wakil rakyat dan partai politik yang bisa publik kategorikan kurang baik, seharusnya wakil rakyat yang duduk merupakan ekspektasi yang lahir dari rahim suara publik bukan suara sponsor dan seharusnya di akhir periodenya harus bisa memperbaiki citra baiknya di depan konstituante dan tidak menjadikan wakil rakyat yang duduk saat ini jadi bualan cibiran rakyat karena ulahnya yang dicab sebagai pembunuh KPK.
Parpol dan Anti Korupsi Simbolik
Politik seyognya merupakan cara-cara yang baik untuk memperjuangkan kepentingan secara terhormat melalui perbincangan publik, pengambilan keputusan sesuai dengan pertimbangan masalah, dan penghimpunan aspirasi masyarakat. Namun sangat disayangkan bahwa dalam kenyataannya politik lebih banyak tampil pada ajak adu kekuatan dan adu kepentingan sehingga apa yang terjadi pada politik di Indonesia sangat berdampak kepada wadah politik itu sendiri yaitu partai politik yang seharusnya melakukan perekrutan dengan baik sesuai amanat UU partai politik sehingga prodak UU yang dikeluarkan oleh DPR adalah atas dasar aspirasi masyarakat bukan dasar dari kelompok yang disebut penumpang gelap.
Partai Politik pada perhelatan pemilu tahun 2019 kemarin telah menayangkan tontonan kampanye anti korupsi pada ajang kontestasi pemilu 2019 tetapi faktanya partai politik telah berhasil merebut hati masyarakat sebagai pemilihnya dan akibat dari itu rakyat sebagai pemilih kembali diboncengi rasa kekecewaan kesekian kalinya dengan adanya isu pelemahan atas revisi yang dilakukan oleh parlemen dan aneh bin nyata ketua partai sebagai komandan perahu tidak turut adil menghentikan gejolak parlement yang ingin merevisi UU tersebut diakhir masa jabatannya DPR justru ini sangat berbanding lurus dengan komitmen yang disampaikan dalam Kampanye Parpol Anti Korupsi tersebut.
Jika ditelusurin dari data ICW yang dikutip penulis dari tracking website bahwasanya Partai politik yeng memiliki rekam jejak buruk terhadap perilaku koruptif Hampir semua partai politik berurusan di lembaga KPK dan Peneggakan hukum. Berdasarkan data Tracing yang bersumber dari Data ICW bahwasanya Golkar, Demokrat PAN, PDIP, Hanura, Nasdem, PKB, PKS dan PPP menjadi cacatan hitam buruknya internal partai dalam perekrutan dan pendidikan anti korupsi yang menumbang kader di senayan yang harus berurusan dengan lembaga anti rasuah dan makin parahnya ada keterlibatan ketua partai disana. Berdasarkan hal tersebut timbul dugaan bahwa ketua partai politik juga menjadi pintu masuk pelemahan KPK saat ini.
Janji Sang Presiden
Menangih janji sang presiden, Hal ini yang bisa dilakukan oleh Masyarakat Indonesia untuk menyelamatkan KPK karena apa yang disampaikan oleh Joko Widodo dalam Nawacita dan perhelatan Pemilu 2019 kemarin menujukan sikap yang positif bagi perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia. Tetapi seiring berjalannya waktu di akhir periode Joko Widodo justru timbul polemik ras kepercayaan publik yang mulai pudar karena presiden belum bersikap dan seolah-olah mendiamkan diri melihat kegonjangan yang terjadi terkait isu pansel dan capim yang bermasalah dan sampai kepada DPR yang mennginkan revisi UU KPK.
Sikap presiden sangat diperlukan dalam hal ini, melihat bahwasanya program stranas Pencegahan korupsi yang digemborkan Presiden yang berada dibawah kesekretaraiatan KPK merupakan wujud komitemen presiden ingin memperbaiki tata kelola pemerintahan dengan 3 misi utama, perizinan tata niaga, keuangan Negara dan penegakan hukum tetapi nyatanya ini berbalik Stranas yang digemborkan oleh Presiden hanya bentuk hiburan angin segar bukan bentuk keseriusan presiden untuk membenah jika peran KPK dilumpuhkan seperti ini. Presiden selaku kepala negara harus bersikap untuk tidak mengeluarkan surpres yang menguatkan parlemen dalam melancarkan aksinya untuk merevisi UU KPK dan presiden harus segera mengevalausi kinerja pansel dengan mencoret nama nama bermasalah jika presiden tidak menginginkan rakyat untuk meminta presiden Mundur dari kursi kepala Negara dan pemerintahan karena ras ketidakpercayaan tersebut.
Penulis | : | Taufik S.ip Manager Advokasi FITRA Riau dan calon kadidat Magister Ilmu Pemerintahan Pasca Sarjana UIR |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |