DR. drh. H. Chaidir. MM
|
LUPAKAN kabut asap. Dinamika politik pemerintahan di tanah air sebulan terakhir ini menyadarkan kita terhadap banyak hal. Kita seperti berkawan dengan musuh dalam selimut, tak berwujud, sebuah pola pikir aneh yang membuat siapa saja bisa terkecoh di siang bolong.
Negara memiliki kepala negara dan alat negara, tapi mereka berada nun di sana tak terbaca apa maunya oleh rakyat. Mereka juga seperti tak cukup memiliki literasi untuk membaca apa mau rakyatnya. Parlemen pula, beranggota wakil rakyat dipilih oleh rakyat, tapi tak mendengar suara rakyat. Negara dan parlemen mengakal-akali rakyatnya, mengecoh rakyatnya.
Betapa tidak. Lima buah RUU dipaksakan oleh DPR untuk disahkan di bulan September, di akhir masa jabatan. Di sisi lain, Presiden pula yang punya pedang kekuasaan, kali ini tak jelas sikapnya, dalam geleng ada angguk, dalam angguk ada gelengnya, tak terbaca.
Terkecoh
Presiden Jokowi minta DPR untuk menunda pengesahan empat RUU karena beberapa klausulnya kontroversial, yakni RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan (PAS). Permintaan Presiden direspon oleh DPR. Pengesahan RUU itu ditunda. Kita bisa tarik nafas untuk mendalami pasal-pasal yang dinilai bermasalah itu.
Namun sayangnya, Presiden tidak keberatan RUU revisi UU KPK disahkan dengan alasan RUU revisi UU KPK ini merupakan inisiatif DPR. Sebuah alasan yang sebenarnya bukan alasan substantive. Maka, RUU revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau populer dengan UU KPK, telah diketok palu pengesahannya oleh DPR dalam Rapat Paripurna tanggal 17 September 2019.
Masyarakat dibuat sibuk oleh pasal-pasal RUU KUHP yang mengatur ayam, bebek, kambing, kumpul kebo, dan ketawa-ketiwi jengkel membaca meme di grup WA. Tanpa disadari, diam-diam RUU revisi UU KPK ketok palu. Terkecoh. Dalam bahasa gaulnya, kecian dech lu.. Apa boleh buat, dalam tempo 30 hari sejak pengesahan, revisi UU KPK tersebut otomatis berlaku, diteken atau tidak diteken oleh Presiden, nggak ngaruh.
DPR dan Pemerintah sepakat menyebut revisi UU KPK itu untuk penguatan KPK, padahal sebenarnya memperlemah KPK. Terkecoh lagi. RUU revisi UU KPK ini oleh DPR dibahas diam-diam dalam tempo 15 hari, dan dibahas kilat bersama Pemerintah dalam tiga kali rapat sahaja. Bahkan, anehnya, lembaga KPK itu sendiri yang katanya akan diberi “penguatan”, sama sekali tidak pernah dihadirkan oleh DPR untuk didengar pendapatnya.
Pengesahan secepat kilat itu tentu saja menimbulkan pertanyaan dan memancarkan aroma bau sangit menyengat hidung, ada agenda tersembunyi. Ada apa? Aspirasi rakyat mana yang diagregasi dan diartikulasikan oleh DPR? Konstitusi mana yang dipakai sebagai landasan? Gerangan kebutuhan mendesak seperti apakah sehingga perlu “penguatan KPK”? Sebab, UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan beberapa kewenangan KPK yang melekat terkait penyidikan, penuntutan dan juga penyadapan sudah membuat lembaga superbody itu kuat. Tak perlu ada penguatan baru. Tapi sekarang justru kewenangan itu dilucuti.
Dendam Lama
Untuk mengintip agenda tersembunyi dibalik pengesahan RUU revisi UU KPK itu, eloklah sejenak kita lihat lintasan perjalanan KPK. Suka atau tidak suka, kita mencatat perseteruan KPK dan Polri pertama kali terjadi pada 2009. Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Polisi Susno Duadji, menyebut “cicak vs buaya”, setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi. Komjen Susno Duadji menyebut KPK sebagai cicak melawan Polri yang diumpamakan sebagai buaya (Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2009).
Pada Juli 2012, perseteruan KPK vs Polri kembali terbuka, setelah KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi di proyeksi mulator ujian SIM. Kasus ini terkenal dengan “cicak vs buaya jilid 2”. Pada Januari 2015 perseteruan kembali terjadi (jilid 3) ketika KPK menetapkan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi. Dramatisnya, Komisi III DPR secara aklamasi menerima Budi Gunawan sebagai calon kepala kepolisian RI setelah dinyatakan lolos dalam uji kelayakan dan kepatutan. Bila cicak vs buaya jilid 1 dan 2, Presiden SBY menjadi wasit, dalam jilid 3 Presiden Jokowi tidak bisa jadi wasit karena Budi Gunawan adalah calon Kapolri yang diusulkannya.
Front pertempuran lain yang tak kalah serunya adalah antara KPK vs DPR. Di era pemerintahan Presiden Jokowi, DPR tercatat empat kali mengusulkan revisi UU KPK. Pada 2015 dan 2016 DPR berupaya memasukkan revisi ini dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas. Namun, Presiden Jokowi dan pimpinan DPR saat itu sepakat menunda revisi.
Pada tahun 2017 DPR dan KPK terlibat perseteruan sangat seru ketika DPR menggunakan Hak Angket terhadap KPK. Tapi Hak Angket ini gagal setelah fraksi-fraksi di DPR tidak satu suara. Kesempatan yang keempat, DPR diam-diam berhasil menyetujui RUU revisi UU KPK. Sebagaimana diberitakan berbagai media, 23 Anggota DPR periode 2014-2019 yang tersangkut kasus korupsi menjadi motor penggerak usul revisi tersebut.
Kehilangan Taji
UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang terkenal dengan UU KPK itu, dibentuk bersama oleh DPR dan Pemerintah. Sesungguhnya UU KPK ini bermula dari sebuah keinsyafan politik yang mendalam bahwa korupsi di negeri kita sudah sangat akut dan parah. Kejahatan korupsi tidak bisa lagi dikategorikan sebagai kejahatan biasa tapi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Lembaga penegakan hukum biasa yang bersifat umum, tak mampu mengatasinya. Aturan-aturan yang bersifat umum sudah tidak mempan. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu lembaga superbody yang dilengkapi dengan “senjata-senjata khusus” yang mangkus berupa aturan-aturan khusus. Itulah alasan mengapa UU KPK dibentuk. Sekarang apa hendak dikata, revisi UU KPK itu sudah disetujui DPR, senjata-senjata khusus bagi sebuah lembaga superbody telah dilucuti. KPK dikerdilkan dan kehilangan taji.
Presiden Jokowi mungkin bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dan Anggota DPR RI 2019-2024 menyetujui Perppu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. Bila skenario ini tidak jalan, masih ada peluang uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan pasal-pasal yang melemahkan KPK.
Amankah bila skenario Perppu atau judicial review ini jalan? Belum Tuan dan Puan. Sebab berita sudah bendang ke langit, proses pemilihan pimpinan KPK di Komisi III DPR RI sarat dengan kepentingan sempit kelompok. Pimpinan KPK baru yang terpilih diprediksi tak akan punya nyali. Negeri ini tersandera oleh ulahnya sendiri. Sayonara KPK.***
Penulis | : | DR. drh. H. Chaidir. MM |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |
01
02
03
04
05
Indeks Berita