Anggota Bawaslu Rahmat Bagja meminta KPU memperjelas paramater zina dalam PKPU. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
|
(CAKAPLAH) - Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menolak aturan yang melarang narapidana kasus zina mencalonkan diri di Pilkada Serentak 2020 selama ukurannya tidak jelas.
Aturan itu tercantum dalam draf revisi Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang pencalonan kepala daerah.
"Kalau parameternya tidak jelas, jangan diatur. Nanti jadi masalah lagi," kata Bagja saat ditemui di kantor Indonesian Legal Roundtable, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Bagja menyayangkan tak ada definisi jelas soal zina di dalam aturan tersebut seperti di KUHP. Di KUHP, kata Bagja, zina diatur sebagai hubungan seks yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah dengan bukan pasangan sahnya.
Hal ini berpotensi untuk disalahpahami oleh jajaran penyelenggara Pemilu di daerah. Ia khawatir pasal di PKPU ini nantinya bisa dibuat pelaporan hanya dengan dasar pengakuan seseorang.
Selain itu, ada potensi ketidakadilan. Sebab di bagian lain PKPU tersebut diatur mantan narapidana boleh mencalonkan diri, kecuali napi narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
"Kalau ada yang tobat bagaimana? Misalnya ada yang enggak mau mabok lagi, enggak mau zina lagi, itu bagaimana? Wong mantan narapidana saja bisa nyalon. Saya bilang ke teman-teman KPU, tolong buat parameter yang jelas," ujar dia.
Sebelumnya, KPU melarang orang yang pernah melakukan perbuatan tercela mencalonkan diri di Pilkada 2020. Dalam Pasal 4 poin j angka 1 hingga 5 perbuatan tercela dirincikan sebagai judi, mabuk, pemakai atau pengedar narkoba, zina, dan perbuatan kesusilaan lainnya.
Dalam Pasal 42 ayat (1) huruf h, calon kepala daerah harus membuktikan diri mereka tak melakukan hal-hal itu dengan SKCK dari polisi. Calon gubernur dan wakil gubernur harus meminta SKCK ke Polda. Sementara calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota harus mendapat SKCK dari polres.
01
02
03
04
05
Indeks Berita