DR. drh Chaidir MM
|
KEJUTAN Menteri kabinet dari Riau? “Tah iya tah indak” “What ever will be will be” “Que sera sera.” “Ape yang terjadi terjadilah.” Keberanian Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU KPK, itulah yang dinanti harap-harap cemas oleh masyarakat Indonesia yang pro-pemberantasan korupsi. Presiden memang tidak memberi janji, tapi beberapa kalangan berspekulasi, Presiden akan buat kejutan dengan menerbitkan Perppu UU KPK pada kesempatan pertama beberapa hari setelah dikukuhkan.
Seperti diketahui UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang populer dengan sebutan UU KPK telah direvisi alias diubah. Undang-undang KPK yang baru itu mulai berlaku tanggal 17 Oktober 2019 dan diberi nomor, yakni Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK. (Nomor cantik pulak, dipesan spesial agaknye..he..he..)
Tuntutan pegiat antikorupsi dan mahasiswa yang berkorban darah dan nyawa, agar revisi UU KPK itu dibatalkan karena memperlemah KPK dan pemberantasan korupsi, kandas berkeping-keping. Memang belum kiamat. Masih ada secercah harapan. Pertama, Presiden Jokowi tetap menerbitkan Perppu (peluang itu masih ada). Kedua, pegiat anti korupsi mengajukan permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah beberapa pasal yang dianggap memperlemah KPK dalam pemberantasan korupsi.
Memandai-mandai
Terbitnya UU No 19/2019 tentang Perubahan UU KPK tersebut, yang dibahas secara kilat oleh DPR bersama pemerintah sebelum berakhirnya masa jabatan DPR periode 2014-2019 dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah ceroboh (blunder), dan sarat kepentingan politik. Gerangan aspirasi rakyat manakah yang diagregasi dan diartikulasikan oleh DPR sebagai dasar aspiratif untuk melakukan revisi terhadap UU KPK No 30 Tahun 2002?
Di mata rakyat, UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik-baik saja, berjalan efektif. Mari kita cermati survei yang dilakukan LSI (Lembaga Survei Indonesia) bersama ICW (Indonesian Corruption Watch) pada tanggal 8-24 Oktober 2018 yang melibatkan 2 ribu responden dari seluruh Indonesia. Survei dengan tingkat kesalahan (margin of error) 2,2 persen tersebut, menyebut bahwa tindakan KPK yang banyak melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan tindakan pencegahan lainnya berpengaruh kepada turunnya persepsi korupsi di Indonesia. Menurut Peneliti Senior LSI Burhanuddin Muhtadi yang mengekspos hasil survei tersebut, “KPK dinilai sebagai lembaga yang paling banyak melakukan langkah pemberantasan korupsi yaitu 81 persen dan masyarakat menilai efektivitasnya mencapai 85 persen.” (Tribunnews.com, Jakarta, 10/12/2018).
Kita cermati pula Harian Kompas, 7/10/2019. Pada halaman Politik & Hukum, di bawah judul “Publik Dukung Perppu KPK” ditulis, “Dukungan publik terhadap Presiden Jokowi untuk segera menerbitkan Perppu KPK menguat. Berdasarkan hasil survei LSI terhadap 1010 orang di 34 provinsi secara stratified random dengan toleransi kesalahan 3,2 persen, sebanyak 76,3 persen responden yang tahu revisi UU KPK, sepakat Presiden mengeluarkan Perppu. Sebanyak 12,9 persen responden berpendapat sebaliknya, sedangkan 10,8 persen lainnya mengaku tak tahu revisi UU KPK.” Maknanya jelas terbaca, 76,3 persen dari responden tidak setuju UU KPK direvisi. Hanya 12,9 persen saja yang setuju revisi UU KPK.
Dari data tersebut DPR (2014-2019) dan pemerintah terkesan memandai-mandai telah
melakukan revisi UU KPK. Atau karena revisi UU KPK tersebut menyangkut kepentingan elit politik yang bermasalah? Kurnia Ramadhan, peniliti ICW mengatakan catatan lima tahun terakhir setidaknya ada 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK (sumber https://tirto.id/einD). Siapa dan apa kejahatan korupsi mereka, dengan mudah diperoleh infonya dari mesin pencari google.
Adanya sikap sejumlah partai politik yang mendukung revisi UU KPK tersebut dengan
mengancam Presiden bisa terkena pemakzulan (impeachment) alias dijatuhkan bila menerbitkan perppu (sumber Harian Riau Pos, 4/10/2019), semakin memperkuat kecurigaan, ada kepentingan sempit politik di balik pengesahan revisi UU KPK. Politisi yang mengancam ini barangkali lupa, atau tidak baca konstitusi kita (UUD 1945) bahwa penerbitan Perppu itu hak Presiden. Presiden hanya bisa terkena impeachment bila ada pelanggaran hukum dan konstitusi. Pelanggaran itu pun harus diuji oleh MK.
Dukungan Politik
UU Nomor 19/2019 tentang Perubahan UU KPK yang merupakan revisi UU KPK No 30 Tahun 2002 jelas membawa cacat lahir. Asas salus populi suprema lex, yang berarti keselamatan rakyat (Negara) adalah hukum yang tertinggi, telah diabaikan oleh DPR demi kepentingan sempit kelompok dan kepentingan sempit politik, serta agenda tersembunyi para koruptor.
Para politisi kita mungkin lupa, bahwa kehadiran KPK (melalui UU Nomor 30 Tahun 2002) dapat dipandang sebagai upaya yang dibuat untuk menyelamatkan bangsa dari praktik korupsi yang menggurita dan merajalela. Bangsa kita darurat korupsi. Korupsi sudah sangat akut, sudah luar biasa terstruktur. Kejahatan korupsi itu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Aturan-aturan yang bersifat umum sudah tidak mempan lagi, baik disebabkan oleh faktor produk hukum yang tidak mampu mengikuti perkembangan kejahatan, atau faktor internal dari lembaga penegak hukum itu sendiri yang sering diintervensi kekuasaan.
Jadi sesungguhnya, sudah benar komitmen DPR dan pemerintah tahun 2002 silam, yang membentuk sebuah lembaga superbody melalui UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 guna memberantas kejahatan korupsi di negeri ini. Tuntutan kebutuhan yang sangat mendesak (termasuk agenda reformasi anti KKN) dan amanat konstitusi, telah direspon dengan bijak kala itu oleh DPR dan pemerintah. Dukungan politik kita dulu sangat kuat terhadap pemberantasan korupsi.
Kemana komitmen anti korupsi itu sekarang? Faktanya, pemberantasan korupsi hampir selalu diganggu sejumlah kepentingan politik. Padahal, seperti disebut Jon ST Quah (2013) Profesor Ilmu Politik di National University of Singapore, dukungan politik itu sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Tanpa dukungan politik, jangan pernah berpikir untuk mempercepat pemberantasan korupsi.
Maka menurut Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril, sekaranglah momentum yang sangat baik bagi Presiden untuk membalikkan keadaan. "Kita tahu sekarang popularitas Jokowi dalam hal pemberantasan korupsi itu sudah sangat hancur, sudah berada di titik nadir. Nah ini kesempatan untuk memperbaiki itu, mengambil peluang menerbitkan Perppu," ujar Oce seperti dimuat KOMPAS.com (24/9/2019). Suai suai.
Kita nantilah kejutan Presiden Jokowi. Jangan takut ancaman parpol, Anda didukung rakyat.***
Penulis | : | DR. drh Chaidir MM, Mantan Ketua DPRD Provinsi Riau |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |