(CAKAPLAH) – Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menilai keberadaan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya bersifat politis. Sifat politis itu kata dia nampak jelas pada Undang Undang KPK yang baru hasil revisi.
"Karena ada pengaturan di tahun pertama ada berbeda dengan pemilihan berikutnya," ujar Asfinawati di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jalan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Ahad (3/11/2019).
Dia menjelaskan, perbedaan yang dimaksud yaitu ada pada periode pertama di mana Dewas ditunjuk secara langsung oleh Presiden Joko Widodo. Lalu pada kepemimpinan presiden berikutnya proses pemilihan Dewas akan dilanjutkan melalui proses panitia seleksi yang tertuang dalam Pasal 69 A ayat (1) UU KPK yang baru hasil revisi.
Di sana dikatakan ketua dan anggota Dewan Pengawas untuk pertama kalinya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia. Kemudian pada Pasal 37E yang disebut intinya menyebut kalau dalam mengangkat ketua dan anggota Dewas, Presiden Republik Indonesia membentuk panitia seleksi terdiri atas unsur pemerintah pusat dan unsur masyarakat.
"Semua orang yang mengerti bahwa pengawas itu ya namanya mengawasi bukan menjalankan," ujar dia.
Maka dari itu, dirinya merasa ada ketidaksesuaian nama dan fungsi Dewas tersebut yang dinilai secara bersamaan melakukan fungsi keduanya. Terbentuknya Dewas disebut menandakan adanya relasi kekuasaan antara presiden dan Dewas itu sendiri. Pasalnya anggota Dewas yang dipilih presiden nantinya secara tidak langsung akan memiliki tanggung jawab kepada yang memilihnya.
"Jadi sebetulnya KPK ini sedang di tangan presiden. Presiden bisa mengendalikan KPK dan siapa pun yang bisa masuk ke presiden juga bisa menikmati relasi kekuasaan itu dengan KPK, termasuk partai pendukung," kata dia lagi.