HARI ini kita masih diberi kesempatan mengembara mengelilingi matahari bersama planet bumi yang tak pernah letih dan mengeluh barang sesejak, kendati katanya planet ini sudah renta. Bila malam tiba rembulan pula ikut menemani tak pernah ingkar janji sembari membelai segenap makhluk tak pilih kasih tak pandang bulu dengan sinarnya yang penuh kelembutan.
Kita memahami fenomena alam itu. Sejak filsuf Copernicus dihukum gantung, kita akhirnya tahu bahwa matahari berada di sana di pusat tata surya, sedangkan bumi dan planet lainnya beredar pada orbitnya mengelilingi sang matahari, bukan matahari yang mengelilingi bumi. Dan bumi ditemani oleh bulan, ikut beredar pada jarak yang teratur dengan bumi. Eloknya, planet bumi berputar pula pada sumbunya, sehingga kita mengenal siang dan malam.
Semua planet, masing-masing dengan bulannya, berada dalam komitmen yang hebat untuk tidak saling ganggu. Semuanya beredar dan berputar dalam kecepatan yang tinggi tapi tak saling benturan satu sama lain. Planet-planet tak saling memotong lintasan yang memungkinkan terjadinya tabrakan beruntun dan menghancurkan jagad raya.
Kemudian manusia, melalui risalah agama, secara transcendental disadarkan bahwa segenap planet di tata surya itu diciptakan dan dikendalikan oleh Yang Maha Pencipta. Mustahil tidak ada yang pegang remote control atau joy stick ibarat dalam permainan game elektronik. Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur itulah yang memegang rule of the game, tak pernah tidur dan tak pernah meleset sedetik pun.
Konon dulu, orang superjadul di kampung penulis, di Pemandang di kaki Bukit Barisan Rokan Hulu nun jauh di sana, mengatakan matahari memang satu, tapi bulan banyak; mereka mengatakan sebuah kampung sebuah bulan. Ketika mereka mulai mengenal ada kampung lain, beramai-ramai mereka berjalan di malam kelam di tengah belantara sambil memandang ke atas, ke bulan yang mengikuti; mereka membuktikan bulan yang mereka lihat di Pemandang, rupanya bulan itu jugalah yang terlihat di Tanjung Medan, atau di Lubuk Bendahara, kampung tetangga. Orang sekampung kemudian mengakui, seperti halnya matahari, bulan ternyata hanya satu…ha..ha..ha... Ahai cik abang…
Kini orang kampung penulis sudah paham, bahwa Tahun Masehi itu dihitung berdasarkan peredaran matahari; ada duabelas bulan dalam setahun mulai dari Januari sampai Desember; kecuali bulan Februari yang berumur 28 hari (sekali empat tahun berumur 29 hari, disebut tahun kabisat), sebelas bulan lainnya berumur selang-seling tetap (permanen) 30 dan 31 hari. Satu tahun adalah 365 hari. Tahun barunya jatuh pada 1 Januari.
Sementara Tahun Hijriyah dihitung berdasarkan peredaran bulan. Satu tahun Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan mulai Muharam sampai Zulhijjah. Bedanya, umur bulan dalam hitungan tahun Hijriyah selang-seling antara 29 dan 30 hari (tidak tetap). Satu Tahun Hijriyah berumur 354 hari (persisnya, 12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari). Hal ini menjelaskan, satu tahun Kalender Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan satu tahun Kalender Masehi.
Kalifah Umar Ibnu Khattab, memilih, tahun pertama kalender ini adalah tahun di mana terjadi peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M. Sedangkan tahun pertama dalam kelender Masehi dimulai sejak kelahiran Nabi Isa. Bila dalam penanggalan Masehi setiap tanggal dihitung sejak jam 00.00, dalam penanggalan Hijriyah tanggal dihitung sejak matahari terbenam. Pemahaman seperti itu sudah lama ada dalam masyarakat kita yang berbilang kaum.
Sesungguhnya, almanak Hijriyah, almanak Masehi, almanak Tionghoa, almanak Jawa dalam kehidupan manusia, semuanya adalah kesepakatan manusia yang dianugerahi akal budi dan kemampuan berpikir oleh Sang Khalik, termasuk juga anugerah akal budi untuk mempelajari dan memahami isi alam semesta, membaca bintang, matahari, bumi, bulan, dan berbagai planet lainnya; termasuk juga mempelajari selembar daun yang jatuh atau kemesraan sepasang nyamuk yang terlibat asmara.
Para nakhoda diberi kemampuan melayari samudra di tengah malam kelam dengan berpedoman pada bintang di langit. Semuanya merupakan nikmat ciptaan Allah Subhanahuwataala, termasuk juga nikmat perbedaan dalam persaudaraan atau persaudaraan dalam perbedaan. Betapa indahnya.
Penulis | : | DR. drh. H. Chaidir. MM |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |