Ilustrasi
|
MERANTI (CAKAPLAH) - Pelaksanaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Mekong Lestari di Desa Mekong Kecamatan Tebingtinggi Barat, Kepulauan Meranti, Riau, mengangkangi aturan pemerintah. Mulai dari direktur berstatus honorer, sampai dengan pembentukan unit usaha tidak melalui musyawarah.
Hingga saat ini, Direktur BUMDes Mekong Lestari, Indra Safrizal, masih berstatus honorer di Humas dan Protokol Setdakab Kepulauan Meranti. Padahal, jelas-jelas dalam Peraturan Bupati Kepulauan Meranti nomor 33 tahun 2017 tentang petunjuk pelaksanaan badan usaha milik desa/kelurahan, honorer dilarang menjabat sebagai direktur maupun kepala unit usaha.
Larangan ini tertuang dalam BAB IV Pengangkatan, masa bakti dan struktur BUM Desa huruf B syarat sebagai direktur dan kepala unit usaha, poin 10 berbunyi tidak memangku jabatan atau terikat kerja dengan pihak lain seperti; (c) PNS/honorer.
"Harusnya Direktur BUMDes Mekong Lestari, Indra Safrizal, tidak lagi menjabat setelah Perbup itu diundangkan tanggal 10 Mei 2017," ujar Fitri Ardi SH, salah seorang warga Desa Mekong, Selasa (7/1/2019).
Disampaikan Fitri Ardi lagi, selain direktur melanggar aturan, pelaksanaan BUMDes Mekong Lestari juga tidak memenuhi prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan desentralisasi sebagaimana yang diatur dalam Perbup 33/2017.
Transparansi dimaksudkan adalah seluruh operasional kegiatan BUM Desa/Kelurahan harus dilakukan secara transparan (terbuka) dan diketahui oleh masyarakat luas. Dengan transparansi atau keterbukaan maka segala sesuatu yang dilakukan akan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (accountable). Partisipasi, adanya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap kegiatan BUM Desa/Kelurahan mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pelestarian dan pengembangan kegiatan.
Sedangkan desentralisasi bermakna sebagai pemberian kewenangan kepada masyarakat atau lebih mendasar adalah sejauh mana masyarakat memperoleh kembali hak-haknya yang otonom untuk mengelola pembangunan secara mandiri dan parisipatif.
"Prinsip-prinsip ini yang sama sekali tidak ada di BUMDes Mekong Lestari," kata Alumni UIR 2010 ini lagi.
Tudingan itu bukan tanpa alasan. Diakui Fitri Ardi, akhir 2019 yang lalu, BUMDes Mekong Lestari menambah dua unit usaha yaitu Ponsel dan Kempang. Penambahan dua unit usaha ini sama sekali tidak melalui musyawarah, padahal jelas-jelas di aturan mengharuskan musyawarah sebagaimana tertuang dalam BAB II pembentukan badan usaha milik desa/kelurahan, (3) yang berbunyi setiap penambahan unit usaha dilakukan melalui musyawarah setelah dilakukan analisa tentang kelayakan usaha dan mendapat rekomendasi dari fasilitator dan diputuskan dengan keputusan Kepala Desa.
Masing-masing unit usaha ini mendapat dana segar yang bersumber dari Bankeu Provinsi Riau tahun 2019. Unit usaha kempang sebesar Rp70.000.000,00, Ponsel lebih kurang Rp59,7 juta, dari total dana Benkeu Provinsi Riau tahun 2019 sebesar Rp200.000.000,00.
"Aneh, kok bisa unit usaha dibentuk tidak sesuai aturan mendapat dana besar," ujar Fitri Ardi.
Fitri Ardi mengaku sudah menyampaikan persoalan ini ke pendamping BUMDes Kecamatan Tebingtinggi Barat. Meski jelas-jelas tak sesuai aturan pemerintah, unit usaha terus berjalan dan pendamping terkesan tak bisa berbuat banyak.
"Kita tak bisa terlalu berharap pada pendamping BUMDes, persoalan sudah disampaikan namun tak terlihat ada upaya memperbaiki kesalahan. Kita minta dinas terkait mengevaluasi pendamping agar bisa bekerja sesuai aturan. Kita tak ingin persoalan seperti di Mekong terjadi di desa-desa lainnya," kata Fitri Ardi.
Ketika ditanya alasan mengapa dua unit usaha BUMDes Mekong Lestari (Ponsel dan Kempang) ditolak, kata Fitri Ardi, selain melanggar aturan juga bukan merupakan usulan dari masyarakat. Kempang yang katanya untuk mengangkut mobil tujuan Buton itu dinilai tak akan memberikan dampak positif baik ke peningkatan ekonomi masyarakat maupun PADes. Begitu juga Ponsel.
"Buat apa BUMDes beli kempang, kita sama-sama tahu di Desa Insit telah dibangun pelabuhan roro. Kalau itu sudah beroperasi, saya yakin pengguna mobil lebih memilih roro dari pada kempang, kan jadi mubazir. Selain itu, pantauan kami selama ini, sangat jarang ada mobil yang dibawa ke Buton menggunakan Kempang," ujarnya.
Atas persoalan ini, Fitri Ardi berharap pihak internal dan eksternal ikut memeriksa dugaan permainan di dalam tubuh BUMDes Mekong Lestari. Ini harus dilakukan, supaya penerima bantuan keuangan dari pemerintah betul-betul sesuai aturan. Sehingga tujuan pemberian dana bisa tercapai dan masyarakat banyak menerima manfaatnya.
"Kita berharap pihak kepolisian maupun kejaksaan ikut memeriksa pengelola BUMDes Mekong Lestari karena sudah jelas pelanggarannya," harap Fitri Ardi.
Direktur BUMDes Mekong Lestari, Indra Safrizal mengatakan, penambahan unit usaha ponsel dinilai sangat penting. Sebab, di Mekong belum ada ponsel. "Masyarakat sebagaian membutuhkan, soalnya jauh ke Alai untuk membeli listrik dan pulsa hp (handphone, red). Namun salah juga di mata masayrakat," keluh Indra.
Padahal, untuk di Desa Mekong, telah lama ada yang menjual pulsa telepon genggam maupun token listrik. Hanya saja belum dilengkapi dengan kios khusus.
Penulis | : | Rizal |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Ekonomi, Pemerintahan, Kabupaten Kepulauan Meranti |