Mahkamah Agung Republik Indonesia. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
|
(CAKAPLAH) - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai ada kejanggalan pada putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan KPU yang menjadi dasar Pergantian Antar Waktu (PAW) caleg PDIP Harun Masiku. Hal ini terkait dugaan suap kepada komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait kepentingan untuk menjadikan Harun sebagai anggota DPR 2019-2024.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, putusan MA itu bertentangan dengan UU Pemilu yang mengatur keterpilihan calon tetap didasarkan pada urutan suara terbanyak.
"Yang menjadi pertanyaan, putusan MA itu tidak bisa dieksekusi KPU karena bertentangan dengan Pasal 422 dan 426 UU Pemilu yang menyatakan keterpilihan calon berdasar suara terbanyak," ujar Titi di gedung MK, Jakarta, Senin (13/1).
Sementara dalam putusannya, MA menyatakan penetapan caleg yang meninggal dunia kewenangannya diserahkan pada pimpinan parpol. Titi juga menilai janggal pada fatwa MA yang menjelaskan bahwa suara caleg meninggal bisa dialihkan ke calon yang dianggap kader terbaik.
"Uniknya ketika MA sampai harus menjelaskan keputusannya bahwa suara itu bisa dialihkan ke calon yang dianggap kader terbaik," ucapnya.
Selain itu, lanjut Titi, kejanggalan lain adalah gugatan PDIP ke MA yang melewati tenggat 30 hari dari batas waktu boleh diajukan. Merujuk Pasal 76 ayat (3) UU Pemilu, uji materi atas PKPU dilakukan paling lambat 30 hari setelah ditetapkan.
"Tapi MA mengatakan 30 hari itu dimaknai lain, terkait implementasi ketika PKPU itu diterapkan. Padahal kan tidak begitu bahasa di UU-nya," kata Titi.
Kendati demikian, ia enggan berspekulasi lebih lanjut terkait kejanggalan-kejanggalan tersebut. Titi menyerahkan penanganan kasus itu sepenuhnya kepada proses hukum.
"Kita serahkan pada proses hukum, karena kalau berandai-andai jadi spekulatif," tuturnya.
Sebelumnya, KPU telah menjelaskan alasan menolak keinginan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai pengganti anggota DPR terpilih yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas.
Mengacu pada Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu menyebutkan caleg yang meninggal diganti dengan caleg dan dapil yang sama dengan perolehan suara di urutan berikutnya, dalam hal ini adalah Rezky Aprilia.
Namun PDIP berkukuh untuk mengajukan Harun karena merujuk pada putusan MA yang menyatakan perolehan suara caleg yang meninggal menjadi kewenangan partai.
Belakangan, MA mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa penetapan suara caleg yang meninggal kewenangannya tetap pada pimpinan parpol dan diberikan kepada caleg yang dinilai terbaik.
MA juga menegaskan bahwa dalam memberikan pendapat hukumnya ini, MA tak boleh menempatkan diri dengan 'duduk di kursi pemerintahan' kecuali hanya memutus dari segi hukumnya.