PEKANBARU (CAKAPLAH) - Pemerintah telah menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) mengenai perlindungan gambut atau PP Nomor 57/2016 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 71/2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.
Revisi PP tersebut mengatur secara permanen moratorium pemanfaatan lahan gambut. PP nomor 57 /2016 menyatakan bahwa setiap orang dilarang membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut untuk tanaman tertentu.
Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) sudah menjalankan aksi dengan melakukan 'penertiban' tanaman industri milik perusahaan pemegang izin konsesi HTI yang dianggap menyalahi ketentuan di beberapa daerah di Indonesia termasuk di Riau.
Kondisi ini tentu sedikit banyaknya membuat perusahaan HTI yang ada di Indonesia terutama di Riau mulai gelisah, karena sebagian besar area konsesi mereka berada diatas lahan yang konon adalah gambut, bahkan ada yang berada dikawasan kubah gambut, bakal terancam .
Para pelaku usaha juga menilai PP ini kontroversial, khususnya mengenai kriteria gambut rusak yang ditetapkan hanya berdasarkan muka air gambut paling rendah 0,4 meter.
Penetapan 30 persen dari kawasan hidrologis gambut (KHG) sebagai fungsi lindung juga dinilai akan mematikan ekonomi rakyat dan menghambat investasi.
Termasuk juga kebijakan menyetop izin yang diberikan untuk pemanfaatan lahan gambut dan pengambilalihan lahan yang terbakar oleh pemerintah dinilai diskriminatif bagi pelaku usaha di lahan gambut.
Tak hanya perusahaan HTI, kebijakan baru ini diprediksi juga bakal menyasar kepada perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan dampak sosial, karena pelaku usaha khususnya perusahaan HTI dan perkebunan tentu akan mengambil langkah penyelamatan perusahaan dengan kebijakan ekstrim, untuk mengurangi dampak 'krisis' akibat berkurangnya jumlah produksi.
Ahmad Zazali dari Jaringan Mediator Indonesia menilai, penerapan PP Nomor 57/2016 seharusnya berlaku adil bagi semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan pelaku usaha. Ia menilai, sebagai investor, pelaku usaha tentu merasa dirugikan. Disisi lainnya, pemerintah harus menyelamatkan gambut dari kerusakan parah.
Mantan aktivis lingkungan ini menyebut, jika kebijakan ini tetap dilanjutkan pemerintah sementara para pelaku usaha merasa dirugikan, bisa saja akan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Sebab itu, Ia menyarankan agar ada upaya pembicaraan antara pemerintah dan pelaku usaha di Indonesia untuk mendudukan persoalan ini.
"Pemerintah dan pelaku usaha harus kembali berdialog. Perusahaan-perusahaan HTI seharusnya kompak dan memanfaatkan asosiasi untuk menyuarakan agar ada pembicaaran masalah ini dengan pemerintah. Jangan ada perusahaan yang jalan sendiri-sendiri. Harus satu sikap," saran Ahmad Zazali.
Ia menilai, jikapun pemerintah mengambil alih lahan konsesi yang menyalahi aturan, belum menjamin pengelolaannya akan efektif. Seharusnya, Pemerintah dan Pelaku usaha mengedepankan skema pengelolaan area gambut ini, sehingga adanya keputusan ini nantinya tidak ada yang merasa dirugikan.
"Kami siap untuk memfasilitasi adanya forum dan dialog antara asosiasi perusahaan HTI dengan Pemerintah ini. Agar pelaku usaha tidak merasa dirugikan, dan pemerintah punya solusi lain untuk penyelamatan gambut ini,"tuturnya.
Penulis | : | HSA |
Editor | : | Hadi |
Kategori | : | Riau, Lingkungan |